Baru kali ini diri merasakan tahun baru di Swedia. Pukul 22.00 kami beranjak menuju pusat kota di Goteborg, kota terbesar kedua setelah ibukota Swedia, Stockholm. Dinginnya malam, dengan suhu -2 C tak urung mengerdilkan nyali warga untuk menghabiskan malam tahun baru dengan berpesta dan berkumpul.
Sempat hati tak ingin ikut menikmati malam pergantian tahun ini, tapi momen ini menjadi hikmah tersendiri untuk mengukur nikmat Allah kepada hambaNya. Malam itu dipenuhi pesta dan hura-hura. Diskotik, pub, club, dan sarana hiburan lainnya ramai pengunjung bahkan hingga antrian panjang memenuhi lorong-lorong di pusat keramaian. Di jalan-jalan ratusan pemuda pemudi bermabuk ria. Miras yang dibeli sejak sore, dihabiskan untuk malam tahun baru, padahal dari sisi harganya sangat mahal karena kebijakan pajak tinggi untuk miras dari pemerintah Swedia.
Berbagai hiburan ditawarkan, pesta khusus pun direncanakan. Detik-detik pergantian tahun selalu diiringi letusan dan kemilau kembang api. Dari segenap penjuru kota Gotenborg penuh dihiasi cahaya warna warni tanda tahun sudah berganti. Entah, berapa uang yang keluar pada malam ini. Andai 1 set kembang api dengan harga 100 SEK (1 SEK sekitar Rp.1400) untuk ukuran standar, berapa yang terbuang pada malam itu. Ditambah berkaleng-kaleng minuman keras dihamburkan, hanya untuk pesta pergantian tahun 2008 menuju 2009.
Pikiranku melayang, membayangkan kondisi di salah satu negeri yang saat itu mengalami hal yang sebaliknya. Negeri para nabi digempur dari darat, laut, dan udara. Dentuman keras bukan suara kembang api, tapi bom asli. Kilauan cahaya bukan warna-warni kembang api, tapi kilauan bom dari pesawat tempur dan tank tempur. Disaat manusia berpesta pora, mereka di blokade dari berbagai sisi bahkan negara tetangga bersekongkol menutup perbatasan sebagai jalur bantuan. Disaat uang dan makanan dihambur-hamburkan pada malam ini, mereka tak berdaya hingga rumah sakit kehabisan stok obat, anak-anak dan keluarga kelaparan.
Sungguh tak adil. Orang yang menyerang dianggap pahlawan, orang yang bertahan dianggap teroris. Persekongkolan busuk yang nyata didepan mata. Sekitar 400 syahid dipanggil Allah, beberapa keluarga musnah tanpa generasi, bangunan porak poranda, bahkan rumah Allah pun diluluh lantakkan dengan berbagai dalih. Tangisan duka menyelimuti ibu-ibu yang kehilangan anaknya, tangisan luka menghiasi tiap jengkal tanah Gaza. Kekecaman ini kian menunjukkan arogansi umat yang terlaknat, umat yang selalu membuat ulah disaat Allah mengirimkan nabi dan rasul pilihan.
Darah dan air mata dari pelosok Gaza. Tangis dan luka itu takkan menyurutkan perjuangan merebut hak rakyat Palestina. Sekecil apapun bantuan kita, baik doa dan finansial. Semoga Allah memberi balasan yang setimpal dan memberikan kekuatan kepada saudara-saudara kita di Palestina. Untuk saudaraku di Gaza, Allahlah tujuan akhir kita.