Fajar dan sinar mentari yang cerah mengiringi datangnya hari baru di bulan Muharram, di tahun baru 1429 H. Fajar dan sinar mentari yang cerah itu seakan memberi sinyal akan kecerahan hari-hari mendatang, hari-hari yang penuh manuver-manuver perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih baik.
Matahari baru naik sepenggalah saat saya langkahkan kaki menuju acara santunan yatim yang dilangsungkan di Jl. Damai, Jatiwaringin-Pondok Gede oleh organisasi dakwah di lingkungan saya. Suatu ide yang patut dipuji, karena momentum 1 Muharram diisi dengan menghidupkan tradisi Nabi Saw yang banyak dilupakan orang, yaitu memberi peduli, cinta, dan kemuliaan kepada anak-anak yatim.
Saat saya datang, terlihat suasana meriah dan kedamaian memancar dari tempat dilangsungkan acara itu. Sangat terasa bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, yang senantiasa membawa manfaat bagi lingkungan sekitar. Secara khusus, acara itu juga menjadi bukti bahwa Islam adalah dien yang peduli terhadap anak yatim dan memuliakan hidupnya dengan keagungan ajaran Islam.
Di sela-sela acara pemberian santunan itu, saya melihat dua orang anak, laki-laki dan perempuan, duduk manis berdampingan menikmati makanan kecil selepas menerima santunan berupa bingkisan dan amplop berisi uang. Mereka berpakaian rapi dan terlihat manis-manis. Yang laki-laki berbaju koko bordir dan berpeci haji. Yang perempuan berbusana kaos muslimah pink —dengan variasi bahan kotak-kotak dibawahnya — dan berjilbab kaos warna pink juga. Dari wajahnya, mudah diduga bahwa mereka adalah sebagian dari anak-anak yatim itu. Wajah mereka nampak bahagia, namun masih mencerminkan suatu rona kepasrahan menerima takdir kehidupan yang mereka alami.
Saya mendekati mereka dan mengajaknya berbincang, hati saya tersentuh haru mendengar penuturannya. Hampir-hampir air mata ini tertumpah andaikan saya tidak segera menghilangkan perasaan haru yang menyelimuti diri. Kisah hidupnya barangkali biasa saja, namun cara penuturannya yang penuh perasaan, menjadikan jiwa ini tergetar. Kisah hidupnya menyadarkan diri saya bahwa begitu banyak jiwa yang membutuhkan sentuhan kasih sayang dan kepedulian.
Agus Priyono, sang yatim itu, adalah kelahiran kampung Bojong Tua yang kini duduk di kelas 1 sebuah STM di daerah Bekasi. Ketika ia lahir, ia tidak menemukan wajah teduh dan suara sejuk dari sang Ayah. Ayahnya meninggal ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, yang kemudian demi menghidupi sang buah hati, sang ibu rela bekerja membanting tulang menjadi buruh cuci keliling desa.
Ketika Agus menyadari bahwa seharusnya ia memiliki seorang ayah sebagaimana layaknya teman-teman lainnya, hatinya menjadi terguncang. Pijakan hidupnya menjadi goyang. Batinnya selalu bertanya-tanya dan inilah yang menjadi pertanyaan penting dalam hidupnya yang kemudian tercurahkan kepada ibunya. Ibunya yang bijaksana menjelaskan kepadanya hingga ia memahami bahwa Ayahnya adalah hanyalah seorang makhluk di sisi Allah Swt, yang hidup-matinya berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Ia telah dipanggil oleh Pemilik-Nya saat ia belum bisa menggunakan mata, pendengaran dan hati untuk menangkap isyarat-isyarat dari Allah yang Maha Mencipta, termasuk isyarat adanya kehidupan dan kematian yang merupakan ujian bagi manusia. Namun kini, seiring timbulnya kedewasaan di dalam diri, kenyataan yang cukup menyedihkan itu, sedikit demi sedikit bisa diterimanya dengan lapang dada.
Dalam kesempatan berbincang itu, saya bertanya,
“Gus, bagaimana perasaan kamu ketika kamu menyadari bahwa kamu tidak memiliki ayah sebagaimana anak yang lain?”
Dengan mata berkaca-kaca ia menjawab,
“Tentu saja saya sedih. Tetapi saya mencoba pasrah dengan takdir Allah itu. Saya tidak putus selalu berdoa, agar dihilangkan dari sifat dengki kepada orang lain. ”
Hati saya tersentuh. Alangkah bijak jawaban Agus itu dan alangkah benar kata-katanya. Sifat egois adalah sifat yang begitu kental menghinggapi jiwa anak-anak. Saya merasakan hal itu pada perilaku anak-anak saya saat ini. Misalnya dalam hal membeli mainan, jika yang kecil dibelikan mainan, yang besar tidak mau kalah ingin dibelikan mainan juga. Jika keinginannya tidak dipenuhi, timbullah sifat hasad (dengki) pada dirinya. Yang tidak dibelikan mainan tidak suka dengan adiknya yang dibelikan mainan dan akan berupaya sekuat daya menghancurkan kesenangan sang adik yang dibelikan mainan itu, baik dengan cara menyakiti fisiknya atau merusak mainannya. Begitu juga perilaku anak terhadap teman-temannya, jika ia merasa disakiti maka timbul sifat dendam dan dengki. Ia akan senang jika temannya mengalami kesusahan dan merasa senang karena dendamnya terbalaskan.
Sifat dendam dan dengki memang cukup mendominasi jiwa anak dan seharusnya hal ini menjadi tantangan bagi orang tua untuk menghilangkan bibit dari sifat tercela itu agar sang anak tumbuh dengan kepribadian yang bersih dan bisa menjadi anak yang sholeh.
Agus Piyono yang baru berusia belasan tahun itu rupanya sudah bisa memaknai kata “pasrah” dan “dengki”, yang boleh jadi banyak anak —bahkan mungkin orang dewasa—sulit menghayati dan mengendalikannya.
Ketika saya bertanya, “Ketika ibumu bekerja, kamu sama siapa di rumah dan apa yang kamu kerjakan?”
Ia menjawab,
“Pagi hari saya sekolah. Siang, ketika sampai di rumah, saya melakukan kerja bersih-bersih rumah sendirian. Ketika malam, sehabis mengaji dan belajar, saya suka menemani Hansip beronda hingga pukul 12. 00 malam. Paginya saya sekolah lagi. ”
Jawabannya cukup mengharukan. Karena boleh jadi, anak seusia dia pada umumnya, banyak yang tenggelam pada kehidupan yang manja tidak mau kerja, sering nonton siaran hiburan televisi, bermain play station, atau berkumpul-kumpul dalam kegiatan yang sia-sia. Apa yang dilakukan Agus sang yatim itu, adalah hal-hal positif yang seharusnya menjadi inspirasi bagi banyak orang tua agar mengupayakan sang anak pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Saya sendiri merasa diingatkan karena saya pun sering khilaf menjaga anak-anak untuk tetap pada kegiatan positif. Terkadang, anak berlebihan melihat acara TV atau bermain game di komputer. Sementara untuk mengajari ngaji atau membacakan buku-buku cerita, terkadang suka terlewat karena banyaknya kesibukan yang harus dilakukan.
Ketika saya bertanya,
“Kamu punya harapan apa, Gus? Apa kamu tidak ingin punya ayah baru?”
Ia menjawab,
“Saya ingin bisa cepat bekerja dan membahagiakan ibu saya. Makanya saya sekolah di STM. Saya ingin menjadi mekanik yang bekerja di bengkel. Ibu saya sebenarnya menawarkan saya untuk punya ayah baru, tetapi saya menolak. Saya khawatir ayah saya nanti bukanlah ayah yang baik yang hanya akan menyusahkan ibu saja dan saya bisa menderita karenanya. Ibu boleh nikah kalau saya sudah bisa membahagiakannya nanti”.
Saya berusaha memahami kata-katanya. Kenapa ia tidak menginginkan ayah baru? Boleh jadi ia merasa bahwa posisi seorang ayah adalah posisi yang tidak bisa digantikan oleh siapapun. Boleh jadi Ia membutuhkan cukup waktu untuk bisa menerima kehadiran ayah “baru”di sampingnya. Namun terlepas dari ketidaksiapannya tersebut, nuansa cinta dan bakti kepada ibunya begitu pekat, terbukti dengan keinginan kuatnya untuk membahagiakan ibunya yang selalu mengemuka.
Dalam hati saya bertanya, kenapa Agus bisa berpikiran matang jauh ke depan seperti itu? Satu sisi saya khawatir ia tidak banyak menikmati masa-masa bermainnya yang penuh daya imaginasi, namun pada sisi yang lain kematangan berpikirnya bermanfaat mengarahkan kehidupannya pada hal-hal positif.
Ketabahan ibunya juga memiliki kontribusi yang tidak kecil. Rezeki halal yang diperoleh sang ibu dari pekerjaan yang memayahkan, boleh jadi mendapatkan penilaian istimewa di mata Allah Swt sehingga Dia berkenan memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada mereka sehingga langkah-langkahnya terbimbing di dalam kebaikan.
Tahun baru bersama anak yatim membekaskan nuansa tersendiri dalam jiwa saya. Setidaknya saya tergugah untuk lebih memperhatikan mereka dan orang lemah atau tak berdaya lainnya. Terdapat suatu hikmah kenapa Allah Swt dan Rasulullah Saw begitu peduli dan memuliakan anak yatim, karena tidak lain kebersamaan dengan mereka adalah laksana kebersamaan dengan sumber kebaikan yang tidak pernah kering.
Rasulullah Saw bersabda barang siapa yang memuliakan anak yatim, maka ia akan berdampingan dengan beliau di surga, laksana berdampingannya dua jari dari tangan kita, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Suatu perlambang bahwa memuliakan anak yatim akan menjadikan pemulianya akan mendapatkan kemuliaan yang luar biasa di sisi Allah Swt dan Rasul-Nya.
Semoga Allah Swt memberi petunjuk kepada untuk senantiasa memuliakan anak yatim. Dan semoga ini menjadi semangat baru kita dalam mengisi tahun baru hijriah ini untuk berubah menuju kemuliaan diri. Karena hanya orang-orang mulialah yang mampu memuliakan anak yatim dan semua orang yang perlu dimuliakan. Waallahua’lam. (rizqon_ak@ eramuslim. Com)