Oleh : Muhammad Hidayat Ingat dengan program Tahan Tawa yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional? Terlepas dari sisi kurang baiknya, program ini menuntut pesertanya untuk sama sekali tidak tertawa saat apapun aktivitas lucu sedang berlangsung. Terkesan acara ini sebagai kontra dari kebanyakan acara lawakan yang tayang di berbagai televisi, yang menyuruh penontonnya banyak tawa.
Kini banyak diantara kita menjadikan tawa sebagai “bumbu penyedap” obrolan. Mulai dari tertawa sekedarnya, hingga terbahak-bahak.
Mengapa tertawa? Banyak orang tertawa sekedar mengungkapkan kesenangannya terhadap sesuatu, kadang secara berlebihan. Namun berlebihan dalam tawa justru menimbulkan hal yang sangat mengkhawatirkan; yakni matinya hati.
Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: Wa la tuktsir addhahik fa inna katsrata addhahik tumitu alqulub. Dan janganlah engkau banyak tertawa, sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (Sunan Tirmidzi, dari Abu Hurairah)
“Mati” satu kata yang menggambarkan tidak bergeraknya suatu makhluk, dicabut ruh-nya, diambil nilai pentingnya dari jasad sehingga ia tidak bisa lagi beraktivitas, merespon, berbuat kebaikan, mendengar dan menyimak kebaikan, dan semua hal yang biasanya dengan leluasa dilakukan saat masih hidup.
Kita tentu tidak ingin hati ini menjadi mati, yang bisa berdampak pada sulit atau tidak bisanya menerima kebaikan, kebenaran, nasihat, serta ingatnya diri akan pengawasan Allah. Matinya hati juga sebagai indikasi dicabutnya nikmat iman, yang apabila tidak segera di “cas” khawatir ia semakin menipis atau bahkan hilang dari diri, na’udzubillah.
Maka, kita mesti memiliki kontrol diri serta hati-hati dalam tertawa atau membuat orang lain tertawa, dikhawatirkan ia menjadi kebiasaan yang sulit hilang, dan lama kelamaan bisa menjadi sebab hilangnya marwah diri dan kematian hati.
Bicara tentang tawa, maka ia terkait pada candaan. Rasulullah telah mencontohkan bagaimana candaan yang menghibur namun tetap tidak melanggar syariat, ulasan lebih rinci dapat disimak pada buku atau artikel yang membahas tentang candaan Rasulullah. Ini juga sebagai bukti bahwa Islam sesuai dengan fitrah manusia, yakni menyukai sesuatu yang menyenangkan serta meresponnya.
Kepada Allah kita berlindung dari kurang baiknya tingkah laku serta akhlak dalam diri.
Wallahu a’lam bishshawab.
Pekanbaru, 08 Syawal 1433 H/26 Agustus 2012