Sekitar beberapa bulan sebelum keberangkatanku tugas belajar ke Sydney, aku sempatkan pulang ke kampung halaman di Tanjung, Banjarmasin, untuk menjenguk keluarga. Tujuan utama tentu untuk meminta restu supaya kepergian ku kali ini dimudahkan dan membawa manfaat. Salah satu momen yang aku sukai kalau pulang kampung ialah berbincang-bincang dengan Nini. Walaupun salah satu telinga Nini ku sudah tidak dapat mendengar dengan baik, tapi alhamdulillah komunikasi kita lancar.
Hari itu kami membicarakan banyak hal. Di sela-sela pembicaraan kami, Nini ku meraih telapak tangan ku dan melihatnya secara seksama. Bak seorang peramal ulung dia menyampaikan penerawangannya dan dengan mimik serius Nini ku berkata " Garis tangan ampun Ika bagus, kena hidup Ika nyaman*", lalu Nini ku memperlihatkan telapak tangannya dan mengatakan "Ampun Nini kada bagus"*. Aku tertegun mendengarnya, bukan karena garis tangan ku yang dikatakan bagus tapi karena Nini tanpa sengaja mungkin sudah menyuarakan penilaian pribadi atas kehidupannya selama ini.
Satu hal yang pasti aku tahu Nini bukan bermaksud untuk mempercayai ramalan garis tangan ataupun tidak bersyukur. Insya Allah Nini bukan termasuk orang-orang yang kufur nikmat. Shalat lima waktu tidak pernah lalai dia lakukan, belum lagi shalat sunnah rawatib yang rutin dia lalukan, dan satu hal yang aku kagumi, meskipun matanya sudah tidak awas lagi, membaca Al Quran dan buku-buku agama adalah kegiatan yang selalu dia lakukan.
Aku berkesimpulan bahwa yang Nini maksudkan mungkin sejarah masa lalu yang dia telah jalani. Nini sebenarnya mencintai pendidikan dan ingin terus bersekolah, tapi karena keadaan, Nini harus menjalani pendidikan di "Sekolah Rumah Tangga" di usia belia. Dulu, Nini menikah dengan almarhum Kai* di usia yang sangat muda, bahkan saat itu Nini belum mendapatkan haid pertama. Tapi bukan berarti seketika itu juga Nini harus menjalankan kewajibannya sebagai istri. Mereka hidup satu rumah setelah Nini dinilai mampu untuk menjalankan tugas-tugasnya.
Ternyata di masa perkawinan mereka, Kai memilih menikah lagi. Hidup dimadu hanya untuk perempuan-perempuan terpilih yang sabar menjalaninya. Nini ku adalah salah satu dari perempuan-perempuan itu. Ketabahannya diuji lagi ketika masa keberjayaan Kai sebagai pedagang berakhir. Saat itu ekonomi keluarga pun menjadi sulit. Tidak tinggal diam, dengan terampil Nini membuat "pundut*" dan menjualnya untuk membantu asap dapur tetap mengepul. Dengan hasil yang tak seberapa, dia mampu berbuat sesuatu untuk keluarganya.
Sampai sekarang, rasanya aku tidak pernah mendengar Nini mengeluh. Dalam diamnya dia pasti sudah merenda keluh dan menyampaikannya pada Sang Khalik. Dan mungkin pada saat peristiwa "membaca garis tangan" itu Nini tanpa sengaja telah menyuarakan diamnya.
Kami, anak-anak dan cucunya ingin membahagiakannya. Kami sadar bahwa Nini pasti ingin menunaikan ibadah haji untuk melengkapi rukun Islam yang kelima. Nini memang tidak pernah menyampaikan keinginannya tapi kami dapat membacanya. Sekitar beberapa tahun lalu, ketika almarhumah kakak Nini mengadakan acara syukuran sebelum berangkat haji, kami tahu bahwa Nini juga ingin merasakan nikmat itu. Dan ketika anak pertama Nini berangkat haji bersama suaminya tahun kemarin, kami tahu Nini juga ingin seperti mereka.
Tapi apa daya kami, kami belum termasuk orang yang mampu. Masing-masing anaknya harus membagi hidupnya dengan menyeimbangkan kewajiban antara keluarga dan orang tua. Keenam anaknya tidak bermaksud untuk tidak berbakti. Mereka berkeinginan mempersembahkan bakti mereka dengan memberangkatkan Nini naik haji. Dengan keinginan itu, alhamdulillah mereka sudah membuka tabungan haji buat Nini. Kami tidak tahu kapan pundi-pundi rupiah itu mencukupi, tapi kami tidak akan berputus asa akan rahmat Allah. Dialah si Pemberi Rizki, yang Maha Kaya. Yang kami bisa lakukan sekarang adalah meluruskan niat untuk menaikhajikan Nini demi Allah, disertai dengan ikhtiar dan tentunya diiringi dengan bertawakkal.
Bersyukurlah bagi yang sudah diberikan kelapangan harta dan waktu untuk menunaikan haji. Mungkin salah satu dari kalian telah mampu memberikan kebahagiaan itu untuk orang-orang terkasih kalian. Pada bulan haji tahun ini, kami masih belum mampu mengumpulkan uang yang cukup. Tapi kami tetap berusaha, insya Allah waktu itu akan datang. Doakan agar kami dapat mempersembahkan kebahagiaan itu untuk ibu dari Paman*,Acil* dan Mama-ku, seorang Nini yang cucu-cucunya sayangi.
Marsfield
17 November 2008
——————————————-
* Nini = sebutan Nenek pada Suku Banjar (Kalimantan Selatan)
*"Garis tangan ampun Ika bagus, kaina hidup Ika nyaman" = Garis tangan Ika bagus (ampun= punya/kata penanda kepemilikan dalam bahasa Banjar), nanti (kaina/bahasa Banjar) hidup Ika enak (nyaman/bahasa Banjar)
* "Ampun Nini kada bagus"= Punya (ampun) Nenek (Nini) tidak (kada/bahasa Banjar) bagus
*Kai = sebutan Kakek pada Suku Banjar (Kalimantan Selatan)
*Pundut = Makanan khas Banjarmasin terbuat dari beras dan santan yang dibungkus dengan daun pisang lalu dikukus. Disajikan dengan "sambal habang" (sambal dari cabe merah kering)
* Paman= Orang Banjar terbiasa memanggil kakak/adik lelaki dari ayah/ibu dengan sebutan ini. Biasanya juga dipakai untuk memanggil lelaki yang dituakan
*Acil= sebutan kakak/adik perempuan dari ayah/ibu. Biasanya juga dipakai untuk memanggil perempuan yang dituakan