Ketika Anak Betawi Ada di Rusia

Hari lebaran sudah usai, orang-orang sudah balik dari kampungnya masing-masing ek Jakarta atau ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, nah cerita tentang anak Betawi yang di Jakarta tak kemana-mana, tak pulang kampung, karena kampungnya ya Jakarta itu. Namun ketika anak Betawi juga ikut merantau dan merantaunya tak tanggung-tanggung ke seberang benua, yang jaraknya ribuan kilo meter dari tanah kelahirannya, tepatnya di Moskow, Rusia, negara beruang merah!

Ada yang menggugah rasa ini, ketika ada berapa pembaca yang bertanya, setelah membaca tulisan-tulisan saya tentang Rusia, pertanyaan seperti pertanyaan rasialis, mungkin maksudnya untuk meyakinkan diri, ini orang benar ada di Rusia atau seperti penulis novel Bumi Cinta, tak ada di Rusia, tapi mampu menulis tentang Rusia dengan kemampuan imajinasinya dan referensi yang dimiliki lewat internet atau buku-buku, makanya jadilah novel, walaupun tidak semuanya seperti apa yang digambarkan.

Nah ketika saya menulis di web pribadi saya tentang Rusia dan menampilkan foto-foto actual tentang Rusia, khususnya Moskow, mereka bertanya:” Benarkah anda di Moskow? Sejak kapan anda di Moskow? Anda bekerja di KBRI Moskow? Sedang apa di Moskow? ” Dan berbagai pertanyaan lainnya. Pertanyaan tersebut kadang saya jawab, kadang saya diamkan. Lagi pula kalau saya berada di luar negeri, kenapa ? Kalau di dalam negeri, ada apa?

Mengapa? Ya itu tadi, pertanyaan nadanya rasialis, sepertinya orang seperti saya tak boleh ada di luar negeri, atau kalau mau sukunya di bawa orang Betawi itu tak boleh ada di luar negeri! Aneh… hari gini orang masih dilihat dari sukunya, dari keturunannya, dari mana asalnya dan lain sebagainya. Memang memprihatinkan bila orang berada dalam situasi minoritas yang berhadapan dengan mayoritas, sehingga munculnya rasa egois yang tinggi, dan munculah “tembok” yang menghalangi pembauran atau kebersamaan.

Oya dalam tulisan-tulisan saya memang sengaja atau jarang menampilkan diri dalam foto-foto, bukankah yang mau dibaca adalah tulisan saya, bukan sang penulisnya, bukankah para wartawan juga dikenal karena tulisannya, bukan wajahnya. Nah mungkin karena tak melihat foto saya dalam tulisan-tulisan saya, maka mereka bertanya-tanya, ini orang di Rusia atau ngarang-ngarang seakan-akan berada di Rusia, agar dianggap berada di luar negeri. Ah aneh-aneh aja, orang berada di luar negeri kok ditanya-tanya, memang kenapa?

Makanya saya langsung teringat dengan tulisan kawan berjudul:” Kalau gua Cina lu mau apa ? ” itu kira-kira isinya, nah kalau orang dilahirkan dari Betawi dan lalu melanglang buana ke luar negeri, apa tidak boleh? Apa tidak pantas? Apa orang Betawi harus menjadi obyek saja, bukan menjadi subyek dalam kancah Nasional maupun internasional? Atau memang orang Betawi harus terus menerus” ke pinggir” dan “dipinggirkan” dalam panggung sejarah Nasional?

Saya teringat ingat film” Si Doel Anak Betawi ” dan Sinetron” Si Doel Anak Sekolahan ” Kedua film inilah yang banyak menginpirasi anak-anak Betawi untuk bangkit dan meraih kemajuan di berbagai bidang, sama dengan suku-suku lainnya di Indonesia, yang mendambakan kehidupan yang lebih baik. Ingat, anak Betawi selama ini dibuatkan citra yang negatif, hanya bisa mengaji! Dan nama orang Betawi yang memang banyak diambil dari ajaran agama Islam, seperti Syamsudin, Komarudin, Sholahudin. Syaefudin, Syaripudin dan lain sebagainya yang berakhiran ” din ” yang artinya agama, jadi ada nama anak Betawi yang punya arti matahari agama. bulan agama. agama yang bijak dan sebagainya, namun entah dari mana awalnya bila orang yang dipanggi” udin ” dikonotasikan kampungan, minder, rendah diri dsb!

Benar-benar menyakitkan! Hari gini … masih ada orang dipermalukan karena nama yang dibawa dari orang tuanya! Karena citra nama yang beredar negatif sedemikian rupa, orang tua Betawi sekarang jarang memberi nama-nama seperti atas, namanya diganti yang “berbau” Barat! Ya tidak apa-apa sih, itu hak semua orang, tapi jangan orang dipermalukan karena namanya, karena asalnya, karena keturunannya, karena sukunya, karena agamanya dan lain sebagainya, bila itu dilakukan itu yang disebut rasialis, pinter tapi keblinger!

Apa salahnya orang lahir di Betawi dan menjadi anak Betawi ? Yang memang riilnya adalah masyarakat yang menjadi korban penggusuran, dengan kemajuan Ibu Kota Jakarta, penduduk asli Betawi banyak yang tersingkir dan disingkirkan, makin ke pingir, di pinggir dan nyaris “dipinggirkan!” Edan, anak Betawi “mati” di tanah kelahiranya sendiri, ibarat anak ayam mati dilumbung padi! Ya di tengah gemerlap Ibu kota Jakarta, sekarang banyak anak Betawi yang tadinya punya kontrakan, sekarang tinggal di kotrakan! Astagfirullah.

Wah kalau begini jadinya, Rano Karno yang sekarang jadi wakil Bupati di Tanggerang punya tugas baru yang harus diselesaikan, membuat kelanjutan pembuatan film atau sinetron, judulnya saya usulkan adalah ” Si Doel Anak Moskow ” Iya, agar misinya mengangkat harkat dan martabat anak Betawi semakin nyata, maka akan jadi Trilogi yang insya Allah menarik, pertama, Si Doel Anak Betawi, masa ketika Doel kecil, kedua, Si Doel Anak Sekolahan, masa ketika Doel remaja, kuliah dan menjadi Insinyur dan ketiga, Si Doel Anak Moskow, masa Doel dewasa, berkeluarga dan mengamalkan ilmunya di luar negeri, di Moskow! Mimpi kali, ya kali aja ada yang tergerak, atau jangan-jangan pak Gubernur DKI yang sekarang, yang anak Betawi, berencana membuat kelanjutan film tersebut.

Ini bukan membangun sentimen kesukuan, namun untuk membangkitkan semangat anak manusia yang sering terpinggirkan karena menjadi “korban” pembangunan, anak Betawi seperti suku Indian yang tersingkir ke daerah pedalaman oleh bangsa kulit putih dari Eropa, atau seperti suku Aborogin yang tersingkir ke padalaman oleh bangsa Inggris! Ya memang tidak semuanya, tapi itulah yang terjadi!
Jadi sekali lagi kalau hari gini masih saja orang membedakan orang lain dan bersikap beda karena ketidaksamaan, amat memprihatikan. Karena jelas-jelas Allah tidak melihat dari mana asal, keturunan, suku, warna kulit dan lain sebagainya, yang dilihat Allah adalah siapa yang paling bertaqwa kepadaNya.

Kembali ke pokok persoalan, mari kita kembali menghargai orang lain, oya saya jadi teringat, ketika suatu saat ingin memakai gelar disandingkan dengan nama, karena bahagianya lulus kuliah, eh emangnya sudah lulus? Ada kaka tingkat yang bertanya demikian, yang melecehkan! Begitu juga ketika sudah selasai kuliah dan berkenalan dengan seseorang dan saya berkata saya asli Betawi, ada ungkapan yang terus terngiang-ngiang sampai sekarang” Saya tak menyangka anda Betawi “

Ya ampun… ini nadanya sama dengan pertanyaan di atas, benarkah anda di Moskow? Loh memang kenapa kalau ada orang Betawi tinggal dan hidup di luar negeri? Apa ada UU yang melarang orang Betawi tinggal dan hidup di luar negeri? Hari gini… masih ada pertanyaan yang saya anggap rasialis? Loh memang kenapa kalau orang Betawi ada di Luar Negeri? Mungkin andapun jengkel bila ditanya demikian, apa lagi orang yang dari sebrang laut Jawa, lalu urbanisasi ke kota-kota di Pulau jawa, kemudian ditanya, anda dari mana? Kok bisa ada di sini?

Itukan sama juga merendahkan anda, apa tidak boleh orang dari Sumatera, Kalimantan, Maluku atau Papua, kemudian hijrah ke Jakarta dan berhasil dalam kehidupan anda di Jakarta, kemudian anda berkenalan dengan seseorang, dan ditanya asal anda, lalu anda berkata seadanya, sejujurnya,
” saya berasal dari daerah X “
Dan yang bertanya berkata ” Oh …. yang di ujung desa itu ya, yang belum ada aspalnya?
Apa tanggapan anda? Saya berani berkata, anda pasti jengkel, iya kan?

Bayangkan hari gini, masih ada aja orang yang” memponis ” orang lain hanya karena orang tersebut berasal dari desa atau dari kampung tempat” jin buang anak”, Apa yang salah kalau orang lahir di desa atau di kampung? Apa yang salah kalau orang kampung tadi lahir dan berhasil menaklukan ibu kota Jakarta? Apa yang salah kalau orang kampun tadi kemudian juga berhasil keliling dunia dan tinggal dan hidup menetap di Luar Negeri ? Bukankah dimanapun kita melangkah tetap bumi Allah!

Dan Allah tidak akan merubah nasib seseorang kalau orang itu tidak merubah nasib diri mereka sendiri. Apa yang salah kalau orang Betawi juga ingin merubah hidupnya, sama dengan suku-suku lainnya di tanah air?saya jadi ingat dengan dengan novel atau film ” Sang Pemimpi ” dimana sang tokoh yaitu Ikal, anak Pulau Balitung yang jauh di pelosok sana, tapi punya cita-cita ke Perancis dan akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya bertahun-tahun kemudian.

Nah begitu juga dengan anak Betawi juga punya mimpi, masa hanya menjadi korba gusuran yang di gusur ke sana ke mari, pindah ke sana di gusur lagi, pindah ke sini di gusur juga, Ya sudah pindah sekalian ke bumi Allah yang lainnya, bukankah bumi Allah luas. Dan bila Allah menutup satu pintu, Allah akan membuka pintu yang lainnya, bila Allah menutup pintu rezeki yang satu, niscya Allah akan membuka pintu rezeki yang lain. Dan jika anda beriman dan bertqawa kepadaNya, Allah akan memberikan rezeki tanpa di duga-duga. Begitu juga nasib anak Betawi yang tergusur, Allah akan membukakan pintu-pintunya yang lain! Insya Allah.

Nah apa yang kita ambil hikmah dari tulisan ini, paling tidak kita tidak meremehkan orang lain karena sukunya, warna kulitnya, namanya, keturunannya dan sebagainya, kalau juga masih iya, itu sombong, karena kesombongan adalah merasa lebih dari orang lain atau meremehkan orang lain dan tidak mau menerima kebenaran!