Banyak dalam pergaulan sehari-hari kita temukan berbagai macam watak orang, berbagai macam sifat, ada yang baik ada yang buruk, ada yang tenang ada yang suka resah, ada yang mudah senyum tapi tak sedikit yang mudah marah, ada yang mudah bergaul dan tabah menghadapi berbagai macam hinaan atau caci maki orang lain, ada juga yang tak kuat menghadapinya.
Ada yang senyum walau disakiti, tapi banyak juga yang membalas di tempat yang sama hingga terjadi keributan. Namun ada juga yang diam di depan orang yang menyakitinya, tapi di belakangnya persis “kompor kebakaran”, bicara ke sana ke mari, hingga orang yang jahat malah terbebas, karena dosanya sudah diambil pada penyebar keburukannya.
“Aduh jengkel sama itu orang!”
“Wah kalau boleh menghajar, tak hajar kepalanya biar kapok!”
“Habis kesel sih, sudah minta maaf, kok tak dimaafin!”
“Brengsek memang tuh orang, mentang-mentang dia menjadi atasan semaunya aja marahin orang”
“Wah kalau bisa balas, tak bales nanti sekuat-kuatnya!”
“Kok orang begitu hidup ya?”
“Kurang ajar, awas nanti tak hajar beneran!”
“Bener-benar sakit, masa cuma kesalahan kecil aja, dimaki habis-habisan!”
“Semoga ditabrak mobil tuh orang!”
Wah… wah banyak sekali kalau mau ditulis sumpah serapah semacam itu, sumpah orang-orang yang teraniaya, karena tak dapat membalas orang yang telah menyakiti hatinya dan membuat nelangsa keluarga dan orang-orang disekitarnya.
Sepertinya apapun yang dilakukan orang lain itu salah semua, dikerjakan yang ini salah, dikerjakan yang itu salah, tak dikerjakan salah, diam dan menjadi penoton salah, loh yang benar yang mana?
Lingkungan menjadi tak ada aman dan tidak nyaman, suasana menjadi tegang! Bila ketemu bukan malah senyum, malah marah-marah. Ya mending menghindar saja kalau gitu, cari aman, cari selamat dan mengumpat sekuat-kuatnya di padang pasir yang tandus, agar tak terdengar orang lain. Karena bila terdengar, umpatannya akan sampai ke orang itu dan suasana akan semakin berdarah-darah.
Aha… padahal hidup di dunia hanya sekali, ujung-ujungnya kuburan juga. Repot memang kalau segala sesuatu dihadapi dengan rasa marah, rasa tak suka, rasa merasa paling benar, paling hebat, paling berkuasa dan seterusnya.
Padahal sifat yang merasa lebih dari orang lain adalah salah satu ciri kesombongan dan itu yang bila sang junjungan nabi besar Muhammad SAW, jadi bukan main-main! Sombong adalah meremehkan orang lain.Lebih karena kecerdasan, kekayaan, keturunan, kegantengan atau kecantikan, pangkat, jabatan, kedudukan dan lain sebagainya.
Selain itu ciri yang kedua dari sifat sombong adalah tidak menerima kebenaran. Kebenaran dimonopoli oleh dirinya sendiri, tak menerima kebenaran orang lain! Padahal lagi-lagi apapun kebenaran yang disampaikan manusia relative adanya, alias tidak mutlak! Kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT!
Makanya bila ada masalah di antaramu, bermusyawarahlah, setelah itu bertawaklah kepadaNya. Kebenaran bukan hanya milik orang-orang yang di atas angin! Tapi juga dapat miliki rakyat jelata yang tak pernah “makan” bangku kuliah dan tak punya ijazah selembarpun!
Dan jangan lupa kecerdasan menurut nabi bukan orang makan bangku kuliah begitu banyak dengan title akademi berderet di depan atau di belakang namanya, bukan, bukan itu. Orang yang cerdas adalah orang yang sering mengingat kematian! Iya, orang yang cerdas adalah orang yang sering ingat mati atau Dzikrul maut!
Mengapa? Anda bisa bayangkan kenapa para koruptor itu begitu beraninya mengambil uang rakyat dalam jumlah milyaran, triyunan, ibaratnya hasil korupsinya tak habis dimakan tujuh turunanya!
Mengapa mereka berani korupsi? Karena para koruptor itu tak ingat mati, tak ingat bahwa harta kekayaannya akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat! Dan hasil korupsinya akan menambah bara api untuk membakar dirinya di alam akhirat nanti!
Lalu bagaimana menghadapi suasana dalam lingkungan yang tak nyaman dan tak aman? Suasana lingkungan yang seperti itu memang membuat stres bagi orang-orang yang merasa yakin bahwa dirinya mampu menghadapinya, tanpa mohon perlindungan dariNya. Obatnya atau solusinya sudah ada dalam Al Qur’an. Sholatlah dan bersabarlah!
“Enak aja bersabar?”
“Saya sudah sabar sejak lama, sampai kapan sabarnya?
“Masa disakitin terus menerus sabar?”
“Aduh capek untuk terus sabar!”
“Gimana mau sabar, satu masalah belum selesai timbul masalah lainnya”
Banyak lagi keluhan semacam itu untuk kata sabar, dan keluhannya bisa diperpanjang sepanjang-panjangnya, karena memang manusia bersipat keluh kesah dan sedikit sekali yang bersyukur. Buktinya? Anda bisa lihat dari kurang lebih 6 milyar manusia di di bumi ini, yang mengaku Islam kurang lebih 1,3 milyar dan diantara 1,3 milyar baru pengakuannya beriman, belum menjalankan keislaman yang baik.
Di antara yang yang sudah menjalankan paling-paling kurang dari 500 juta dan di antara yang 500 juta paling paling yang bersukur benar setengahnya dan di antara yang setengahnya bersukur tadi baru diimbangi dengan sholat, itupun masih “bolong-bolong”. Dan di antara yang “bolong-bolong” ada yang full sholatnya, full sabarnya, tapi masih belum Ikhlas, di antara yang ikhlas itu masih diperas lagi dengan sifat Ihsan dan dan seterusnya, sehingga semakin mengkurucut, semakin kecil dan semakin sedikit. Nah semoga kita ada di antara yang sedikit itu. Aamiin.
Jadi apapun kekurangannya, kita sebagai manusia harus tetap berbuat baik dan “jangan bosen berbuat baik” seperti yang dipesankan pimpinan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur, Dr. KH. Syukri Zarkasyi, saat berkunjung ke Moskow Awal Juni 2011 yang lalu, tepatnya Rabu 8 Juni 2011, disampaikan saat pengajian bulanan pada HPII (Himpunan Pengajian Islam Indonesia) Moskow, Rusia.
“Aduh gimana nih, kan kita-kita masih muda!”
“Jangan lurus-lurus aja, bolehlah sekali-sekali ‘bengkok’ dikit”
“Apa lagi di Moskow, di musim panas, godaannya banyak nih”
“Aduh giman solusinya ya, kan jauah dengan orang sanak dan saudara”
“Iya, kitanya sudah baik-baik menjaga diri, tapi disekelilingnya ya ampun…!”
Keluhan semacam itu juga banyak, bahkan ada yang sudah begitu gemes pada orang-orang yang menyakitinya, tetapi karena disuruh sabar… ya ditahan sedemikian rupa agar tidak marah, tida pecah, tidak bubaran, tidak bermusuhan dan lain sebagainya. Susah memang menjadi orang baik, tapi seperti yang dipesankan Kiayi Zarkasyi di atas, “Jangan bosen berbuat baik” atau lihat di bawah ini:
“Berbuat baik kepada yang berbuat baik pada kita, itu mudah. Namun, mampukah kita tetap berbuat baik pada orang yang menghina kita, mencaci dan memaki kita?"
"Mampukah kita tetap tersenyum pada orang yang menyakiti kita? Ini tantangan yang perlu dihadapi, jangan mundur dan menyerah bersandar dan bertaqwalah kepada Allah".
Katakanlah : Aku berlindung kepada Allah, Allah temptku bertawaqal, berharap dan berserah diri".
Ayo tetap berbuat baik, ayo jangan bosen berbuat baik. Lihat nabi Kita sejak kecil sudah mendapat julukan “Al Amin” yang dipercaya, jujur. “Ah Beliaukan nabi?” Apa nabi bukan manusia, yang tidak merasakan sakit, sehat-sehat terus selamanya, apa nabi tak pernah disakiti manusia? Bahkan nabi yang begitu mulia, begitu baik, malahan sering kali mendapat hinaan, caci maki, fitnah dan bahkan menjadi sasaran pembunuhan bagi orang-orang kapir. Seandainya punya musuh, kita sih belum apa-apa, belum di apa-apakan oleh musuh-musuh kita.
Dan seandainya juga disakiti orang lain, mari kita hitung, sering mana antara disakiti dengan kebaikan orang itu? Jarang ada orang yang hampir setiap hari atau setiap saat disakiti orang terus menerus, mari berlaku adil, benarkah anda terus-terusan disakiti orang lain? Saya yakin tidak, jika adapun relatif kecil atau jarang. Dengan demikian tersenyumlah dan bahagialah, karena memang dunia ini indah, gimana bosen berbuat baik?
Kalau begitu solusi terakhir adalah ketika Anda dicaci atau dimarahi orang, jadilah penonton yang baik. Ya mari menonton orang marah, insya Allah Anda malah tersenyum melihat orang marah, karena orang yang sedang marah menjadi bahan totonan untuk Anda, asikan?