You Are Small Before My Eyes

Tepatnya kapan, saya tidak ingat. Namun peristiwa itu tidak pernah saya lupakan. Nyaris terus segar di pikiran dan hati ini.

Pulang dari rumah sakit, tempat saya praktik sewaktu masih sekolah dulu, belum juga lima puluh meter melangkahkan kaki, sesudah menyeberang jalan, sejenak saya terkejut. Tiba-tiba menempel di pipi kiri, yang saya rasakan basah. Agak kental. Pasti bukan air hujan, Karena mendung pun tidak. Jam menunjukkan sekitar setengah dua siang.

Spontan tangan ini tidak sabar ingin meraba. Lebih terkejut lagi, ternyata ludah. Ya! Ludah seseorang yang membuangnya tanpa menengok ke kiri dan ke kanan. Puihh……melayang terlempar ke muka saya.

Sejenak, rasanya ingin marah sekali. Tapi untuk apa dan siapa. Sebab si empunya sudah berlalu dengan kendaraannya.

Ludah, di manapun di dunia ini identik dengan penghinaan, jika itu ditimpakan kepada orang lain. Ludah yang begini ini tidak lebih dari niat merendahkan harga diri dan martabat orang lain. Sebuah ungkapan yang tidak salah. Lantaran ludah memang tempatnya yang pas adalah di tong sampah atau toilet. Ludah sepantasnya dibuang. Jika tidak memungkinkan, (maaf!) ditelan sendiri oleh sang empunya.

Entah, kapan ungkapan dengan menggunakan kata ’ludah’ ini mulai digunakan oleh manusia. Berapa ratus tahun sudah perbendaraan ini digunakan. Yang pasti, kita semua sepakat bahwa bila kita diludahi selalu sama artinya dengan dihina. Meskipun semua sadar, bahwa bukan salah ludah itu sendiri. Setidak-salahnya binatang-binatang yang sering kita sebutkan namanya, dipersonalisasikan. Seperti kata anjing, kera, buaya, tikus, nyamuk. Semua binatang-binatang ini, begitu seenaknya kita sebut bila kita marah terkadang kepada seseorang.

Ketika saya diludahi, saya merasakan sama seperti semua orang rasakan. Terlepas dari unsur sengaja atau tidak. Saya merasa dihina, dianggap sepele, tidak berharga atau dianggap kecil di hadapan orang yang meludahi saya.

Menganggap orang lain kecil atau tidak berharga merupakan sikap yang kurang baik. Bahkan dilarang dalam agama. Hanya saja manusia terkadang lupa. Memperlakukan manusia lain sebagai orang yang tidak berguna, tidak bermanfaat dan sejenisnya adalah perbuatan tercela. Kita lupa, ungkapan ‘semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak’.

Pengalaman mengajarkan kita, ada beberapa faktor penyebab mengapa satu manusia menganggap manusia lainnya kecil di depan matanya.

Yang pertama, harta. Orang yang memiliki harta dan uang banyak, cenderung berada dalam posisi menang. Berkuasa dan berkedudukan di atas. Uang dianggap mampu membungkam atau berbicara. Uang dan harta mampu memberikan kekuatan. Kekuatan ini dimanfaatkan sebagai sarana paling ampuh untuk mempengaruhi orang lain. Dengan uang atau harta orang bisa disuruh, diperintah, diajak, diundang, didukung, dipengaruhi hingga dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Uang tidak jarang dituhankan.

Ebaliknya, orang yang tidak memiliki uang diidentikan dengan manusia lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan, pengaruh, malas, serta berbagai sebutan negatif lainnya. Makanya, kita tidak heran, mereka yang miskin harta dan uang dianggap ‘kecil’ dan bukan apa-apa.

Kita yang memiliki banyak harta dan uang lupa, bahwa berapapun uang yang kita punya, hanya beberapa lembar saja yang mampu kita kantongi di saku atau dompet. Selebihnya di bank. Kalaupun ditatruh di almari kamar atau di bawah bantal, bikin tidur tidak nyenyak dan hidup bahkan tidak aman.

Kita lupa bahwa masih banyak orang lain yang jauh lebih kaya dan kekayaan atau harta kita bisa jadi bukan apa-apa di hadapan mereka. Belum lagi di hadapan Nya. Kita pandang orang miskin kecil, sementara kita lupa bahwa harta dan kekayaan kita juga dipandang kecil sekali bahkan tidak ada apa-apanya di hadapan orang-orang kaya lainnya. Bandingkan kekayaan kita dengan Nabi Sulaiman A.S, yang kerna kekayaannya, jin pun jadi pesuruhnya. Subhanallah!! Apalagi jika dibandingkan dengan kuasaNya!

Yang kedua, penampilan. Kita sering memandang orang lain yang kurang cantik, tidak tampan, dan berpakaian kumuh, kecil di depan mata kita. Sementara kita tidak mensyukuri nikmat, betapa penampilan kita, baju yang bagus, perhiasan yang menarik, sepatu sandal yang baik, adalah karya orang lain yang bisa jadi kita pandang kecil tadi. Namun kita begitu sombong di hadapannya.

Kita juga lupa, bahwa kita bisa dipandang menarik lantaran ada orang yang berdandan kurang menarik atau kurang rupawan. Jadi,tidak mungkin ada istilah cantik atau tampan jika semua orang di dunia ini cantik atau tampan. Pasti karena ada yang kurang menawan kan?

Kita juga lupa, bahwa masih banyak orang lain yang jauh lebih tampan seperti Nabi Yusuf dan Rasulullah SAW yang amat rupawan, yang ‘bersinar’ kala berjalan. Keduanya berhati amat mulia dan memperlakukan manusia, bahkan musuh-musuh beliau SAW dengan amat bijaksana. Bukan seperti kita yang menganggap kecil orang lain hanya karena parasnya.

Yang ketiga, gelar. Gelar kependidikan kadang membuat kita besar hati dan kepala. Kepandaian yang kita miliki menggoda hati dan pikiran kita, untuk menganggap orang lain yang tidak sekolah atau tidak berpendidikan, ‘kecil’. Kita sering tidak menghiraukan pendapat mereka meskipun baik dan bermanfaat. Hanya karena mereka tidak memiliki gelar.

Sebalikinya, kita sangat menghargai orang lain yang gelar di depan serta belakang namanya berderet, meskipun ide-idenya biasa-biasa saja. Kita tidak pernah merasakan, bahwa sederetan gelar pendidikan kita ini bukan apa-apanya bila dibandingkan dengan gelar Rasulullah SAW, Utusan Allah, yang dijamin suci, mulia serta surga tempatnya! Subhanallah! Padahal beliau tidak mengenyam sekolah serta buta huruf!

Yang keempat, jabatan. Kita sering memandang bawahan kita kecil hanya karena jabatan yang diberikan perusahaan kepada kita. Kita tidak sadar bahwa kita jadi manager karena ada bawahan (staff). Kita jadi supervisor karena adanya anak buah. Kita jadi direktur karena ada buruh. Anehnya, bukannya mensyukuri, malahan kita sering menganggap bahwa kita duduki jabatan ini karena kerja keras kita, bukan karena sumbangsih bawahan kita.

Kita tidak menyadari bahwa kadang kita besar, justru lantaran mereka. Kita juga jarang mau mengakui, betapapun kita besar di hadapan mereka, kita pun bisa juga bisa dipandang kecil dalam pandangan mereka di kejauhan. Kita sering tidak menyadari, bahwa akhir dari semua jabatan ini adalah pensiun. Betapapun seorang presiden!

Ringkasnya, jika tidak ingin dianggap kecil orang lain, jangan anggap orang lain kecil di mata, hati dan pikiran kita.

Semoga harta dan kekayaan yang kita miliki, wajah rupawan serta pakaian indah yang melekat di tubuh ini, gelar pendidikan yang kita sandang di depan dan belakang nama ini, serta jabatan sementara yang kita emban ini, tidak membuat diri lupa. Lupa sehingga memandang orang lain kecil di mata kita. Membuat orang lain tidak lebih berharga dari diri kita. Tidak membuat kita menghargai pendapat orang lain.

Tidak lain, hanya kepada Nya lah kita memohon ampun dan pertolongan. Semoga Allah SWT melindungi kita dari semua godaan dunia yang semu ini. Amen!

Doha, 14 June 2011

[email protected]