Bin Omron, begitu nama pemukiman di salah satu sudut kota Doha-Qatar, tergolong cukup banyak jumlah masjidnya, meski kecil daerahnya. Tidak lebih dari 1 km panjang dan 500 meter lebarnya. Jumlah masjidnya sekitar 10 buah.
Di situ, boleh dikata padat akan masjid-masjid kecil. Tempat saya tinggal tidak terkecuali. Jika mau ke arah barat, timur, utara atau selatan, nyaris sama jaraknya, masjid dengan mudah di dapat, hanya dengan jalan kaki. Tidak seperti di Dubai di mana masjid rata-rata terpelihara dengan baik, di Bin Omron ini tidaklah demikian. Meski begitu, memiliki keunikan tersendiri. Yang saya maksudkan adalah jamaah masjidnya.
Suatu hari, saya pergi ke masjid sebelah selatan gedung kami. Pertama kali saya Salat Maghrib di sana, beberapa saat usai salam, terdengar acapan ‘Salam’ cukup keras. Berasal dari salah satu jamaah: ”Assalamu’alaikum”. Yang kemudian dijawab oleh sebagian orang: “wa’alaikum salam…”
Saya mencoba mencari dari mana suara tadi bermuara. Gagal. Hal tersebut berulang kali terjadi. Saya memang tidak selalu mengerjakan salat di masjid tersebut. Rasa ingin tahu siapa pemilik suara salam tadi pun berlalu.
Di kali lain, di dalam masjid yang sama, saya berada di baris kedua. Kembali, sesudah selesai mengucap salam, selang beberapa saat, terdengar ‘Salam’ dari orang yang sama, yang bukan asing, karena pernah mendengarnya. Saat itulah saya mengetahui siapa pemilik sejatinya, meski belum jelas sekali wajah pemiliknya. Yang pasti, orang tua. Hal ini saya ketahui lewat postur tubuhnya.
Sesudah itu, saya penasaran ingin mengetahu lebih lanjut……hingga…
Sore tadi, bapak tua, sang Pengucap Salam, yang saya percaya asli Qatar, bangkit dari tempat duduknya. Beliau selalu menempati baris pertama setiap salat. Subhanallah…ternyata orangnya tidak dapat melihat..alias buta. Saya ketahui, bukan hanya karena tongkat yang digenggamnya saja. Tetapi ketika saya tatap kedua mata beliau, memang cacat.
Jarak dari tempat duduknya ke pintu tidak lebih dari empat-lima langkah. Sepertinya beliau hapal benar liku-liku masjid ini. Namun segera, sesudah mendekati pintu ke luar masjid, secepat itu pula seorang anak muda, berkebangsaan India, menjemput tangan kiri orang tua ini. Membantu membimbingnya, guna mencari sandalnya.
Saya posisikan tubuh saya persis selangkah berada di belakang bapak tua ini. “Assalamu’alaikum ya Hajj….” Sapa saya. “Wa’alaikum salam…!” Jawabnya, disertai senyuman yang tersungging di bibirnya. Menunjukkan kegembiraan.
“Ada apa?” Katanya dalam Bahasa Arab. “Tidak ada apa-apa!” Jawab saya. “Hanya ingin menanyakan kabar anda saja!” Tegas saya.
“Siapa nama baik Bapak?” Kata saya lagi, meneruskan. “Jassim…” Jawabnya sambil berjalan dituntun pemuda India tadi. “Selamat jalan….” Saya menutup pembicaraan. “Terimakasih!” Dia pun pergi.
***
Pemandangan yang saya temui di atas tentu acapkali terjadi di banyak tempat dan di berbagai keadaan. Di mana seorang pemuda membantu orang tua yang buta, cacat, lumpuh dll. Saya yakin, pemuda tersebut dibayar untuk itu. Dia hanya lakukan pekerjaannya. Selesai.
Bisa saja rutinitas ini berlangsung sudah lama sekali. Bisa jadi pula, si pemuda ini tidak lagi merasakan apa-apa, tidak sebagaimana yang saya rasakan apabila saya menjadi pemuda tadi, yang harus menuntun bapak tua setiap saat. Pekerjaan yang dilakukan guna membantu Pak Tua ini, saya pula yakin, bukan hanya ke masjid. Bisa juga kala ke kamar mandi, makan, mengenakan pakaian, dan lain lain keperluan hidup. Beragam kegiatan, berbagai kemungkinan.
Satu hal yang saya pasti: pemuda tadi, memilki sesuatu yang tidak semua orang punya. Sesuatu yang saya maksudkan di sini adalah kemampuan untuk ‘memahami’ sesama, mengerti kebutuhan orang lain. Sesuatu yang nilainya sungguh tinggi dan amat mulia dari sisi kemanusiaan dan agama.
Kenapa saya katakan tidak semua orang memiliki kemampuan ini? Karena tanpa dibekali kemampuan memahami sesama, barangkali sudah dari dulu dia keluar dari pekerjaan ini. Atau, melarikan diri, lantaran betapa tersiksanya melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.
Kalaupun dia terpaksa melakukannya, pasti bakal berdampak buruk. Bukan hanya pada diri orang lain, juga pada dirinya sendiri. Jika demikian, apa gunanya dia membimbing Pak Tua ini ke masjid setiap hari untuk ibadah yang dia pula bersujud dihadapanNya?
Kejadian ini menyisipkan sebuah pelajaran, bahwa agar bisa memahami sesama, kalaupun diniatkan sebagai lahan kerja, dibutuhkan ketegaran, tekad dan iman. Jika sekedar keinginan untuk mendapatkan imbalan semata, tentu akan menderita!
Doha, 6 February 2011