The Value of Certificates

Pimpinan perusahaan di mana saya bekerja di Indonesia dulu tidak mengijinkan ketika secara terus terang mohon ijin cuti untuk mengikuti sebuah training pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri. 

Keterus-terangan ini menurut saya lebih baik ketimbang mencari-cari alasan lain. Saya katakan bahwa tidak ada jaminan diterima. Tapi apa salahnya mencoba?

Semula saya berpendapat bahwa pimpinan yang baik adalah seorang yang tidak pernah menghalangi perjalanan karier bawahannya. Dugaan saya meleset!

Hemat saya perlakuan ini sudah ke luar dari ‘jalur’, mengabaikan hak-hak karyawan. Waktu itu sudah lebih dari 4 tahun saya kerja di perusahaan yang sama. Saya berpikir kerjaan tidak ada yang amat mendesak. Jadi, tidak ada alasan bahwa saya tidak bisa mengambil cuti tahunan. Yang menggaji saya adalah perusahaan, meski beliau adalah pimpinan.

Maka, sesudah menimbang konsekuensinya, esoknya, saya temui lagi beliau. Saya sampaikan niat untuk mengundurkan diri (emergency resignation). Bahkan seandainya, ‘menganggur-pun’, akan saya lakukan, daripada kerja di bawah kepemimpinan seseorang yang kurang memperhatikan perbaikan masa depan karyawannya.

Saya yang-tentu saja dengan seijin Allah SWT-menentukan masa depan, bukan pimpinan. Saya yakin, Allah memberikan kemerdekaan kepada kepada setiap hambaNya untuk meraih status ini. Bahwa masa depan, bukannya tidak bisa di-design.

Dengan muka sedikit kecut, pimpinan kami terpaksa merelakan permohonan saya. Tapi akibatnya, bukan hanya beliau tidak mau ketemu biar sekedar pamitan. Saya juga tidak mendapatkan hak-hak saya sebagai karyawan.

Mulai dari end of service benefit hingga yang namanya surat pengalaman kerja. Dua hal yang sangat dinantikan oleh seorang karyawan apabila memutuskan hubungan/diputuskan hubungan kerjanya. Tapi, program saya tak bergeming!

Pembaca yang dirakhmati Allah SWT….

Saya pindah-pindah kerja delapan kali. Dari delapan kali tersebut, seingat saya, surat pengalaman kerja yang ada di tangan saya hanya ada 3 buah. Selebihnya saya tidak pedulikan. Saya lebih mengutamakan realitas dari pada sekedar surat-surat semacam itu.

Kertas adalah buatan manusia. Surat ada dalam kendali manusia. Para pimpinan perusahaan atau manager boleh mengendalikan karyawannya. Memberikan tugas ini dan itu. Menerapkan aturan ini dan itu. Melarang begini dan begitu. Tapi mereka tidak akan mampu mengendalikan jalan pikiran, ide-ide karyawannya.

Barangkali beliau lupa, bahwa karyawan memiliki hak-hak yang harus dihargai. Bahwa betapapun rendahnya posisi seorang karyawan, mereka pasti punya rencana yang sepanjang tidak merugikan perusahaan, layak mendapatkan perlakuan yang pas dari pimpinan.

Tapi sudahlah……! Bukan itu tujuan pembicaran kita kali ini.

Di negeri ini, kita sudah terbiasa dijejali dengan racun yang namanya birokrasi. Segala sesuatu harus ada suratnya. Bahkan, huruf saja, misalnya nama saya ‘Syaifoel’, jika tertulis ‘Saiful’ dipersoalkan. Padahal saya yang memiliki nama, tidak mempersoalan. Lucu!

Tujuh belas tahun saya di sejumlah negeri Arab, seringkali ejaan terhadap nama saya berubah-ubah. Sepanjang ‘sama’, ok-ok saja. Di surat-surat penting padahal, termasuk KTP. Tapi tidak pernah yang namanya petugas imigrasi, bank, PLN dll mempersoalkan. Toh, urusan mulus saja!

Tiga tempat kerja terakhir tidak pernah menanyakan mana itu surat-surat pengalaman kerja. Bahkan dokumen yang asli juga tidak ditanyakan. Meski selalu saya bawa. Foto kopinya juga tidak ditanyakan apakah ada stempel legalisir yang kita umumnya minta kampus sampai 10 lembar jumlahnya! Saya kirimkan daftar riwayat hidup saja. Toh urusan juga lancar!

Di negeri kita, sebelum dapat kerja saja, yang namanya urusan kertas-kertas ini, terlalu sulit dan cenderung amat memberatkan pelamar kerja. Mulai dari legalisasi dokumen, surat keterangan dokter, kelakuan baik dll. Emangnya dari mana mereka dapat duit guna mengurus semua ini?

Di luar kerja, sebagai guru part time di sejumlah kampus juga saya lakukan. Merekapun, sekolah-sekolah ini, tidak pernah menanyakan surat-surat yang asli dan pengalaman kerja. Cukup curriculum vitae. Mereka percaya! Tambahan kegiatan di luar kerja bikin saya kadang kuwalahan menerimanya. Toh mulus saja!

Di negeri kita, sudah ada CV, dokumen yang dilegalisir, surat kelakuan baik dari kepolisian, SIM, surat nikah, kartu keluarga, dll. eh……..masih juga banyak yang tidak percaya! Aneh!

Semalam, ketika seseorang menanyakan kepada saya tentang sertifikat hasil workshop yang akan direncanakan, saya tanyakan balik kepadanya, apakah dia mengedepankan sertifikat yang hanya berupa selembar kertas atau hasil akhir berupa pengkayaan ilmu pengetahuan dan atau ketrampilan? Dia pada akhirnya setuju, bahwa kualitas manusia tidak diukur dengan selembar kertas.

Masih ingatkah kita dampak gelombang Tsunami beberapa tahun lalu? Ratusan ribu orang bukan hanya kehilangan sertifikat. Rumah hingga nyawa pun melayang. Sesudah bencana alam redah, lantas apakah hanya karena sebuah sertifikat, mereka, para korban ini tidak dapat berkarya atau bekerja lagi atau tidak bakalan memiliki hak-hak lainnya?

Padahal mereka nyata-nyata asset bagi negara. Atau dalam skala kecil, bagi sebuah perusahaan. Karena, misalnya surat nikah, kartu keluarga, buku tabungan yang lenyap ditelan gelombang, apakah kita tidak bakal mengakui eksistensi orang-orang ini?

Pembaca yang dirakhmati Allah SWT….

Di Bulan Suci Ramadan ini, Allah SWT tidak pernah menghadiahkan sertifikat tertulis betapapun kita sudah menyelesaikan proses puasa dengan baik selama sebulan penuh. Begitu banyak tantangan, cobaan selama ibadah siang malam yang kita lakukan. Dan itu semua, menuai pahala yang besar di sisiNya sebagaimana yang dijanjikan olehNya.

Dalam sejarahnya, pada Nabi, Rasul, cendekiawan Muslim, ulama-ulama besar, ratusan tahun lalu, mereka tidak juga mengantongi lembaran kertas yang namanya sertifikat ini. Apalagi fotokopiannya.

Pembaca yang dirahmati Allah……

Jaman sudah berubah. Kita ternyata juga banyak berubah. Ironisnya, perubahan yang mestinya kearah kebaikan, justru yang kita dapatkan seringkali adalah kebalikannya. Bukannya mempermudah urusan seperti yang acapkali digembar-gemnorkan dalam policy & procedure perusahaan-perusahaan ternama. Apalagi dalam katergori adminsitrasi negara!

Pelajaran yang saya mengajak kita semua petik dari uaraian di atas adalah, marilah kita ajarkan kepada diri, anak, keluarga, teman-teman juga orang lain, untuk tidak terlalu memfokuskan kepada peran sertifikat yang bisa dikopi atau palsukan dalam kehidupan ini. Sekalipun dalam hidup ini kita tidak menolak, butuh yang namanya ijazah, KTP, surat nikah, sertifikat rumah, kartu tabungan, kartu ATM. Dan lain sebagainya.

Jangan hendaknya lantaran sebuah sertifikat, membuat kita malah lebih sulit atau mempersulit hidup orang lain, sebagaimana yang banyak kita alami selama ini. Orang yang dalam kesulitan, biasanya doanya didengar oleh Allah. Jadi, jangan menjadikan mereka menjadi sulit sekali mencari kerja hanya karena ejaan yang ada di ijazahnya. Jangan karena selembar kertas, lantas urusan jadi berat.

Sebaliknya, marilah kita tanamkan kepercayaan, keyakinan pada diri sendiri dan orang lain bahwa tanpa sertifikat, kita adalah sosok yang sama dengan yang kita omongkan. Memang baik sekali apabila kita lengkapi kompetensi kita dengan sertifikat yang boleh jadi berharga.

Hanya saja, tanpa sertifikat, jangan sampai membuat kita jadi kehilangan predikat. Predikat kejujuran, bahwa apa-apa yang kita sampaikan secara verbal, adalah kebenaran. Predikat, bahwa apa yang terungkap lewat lisan ini, bukan sekedar bualan! Wallahu a’lam!

Doha, 30 July 2011

[email protected]