The Hidden Beauty of Pakistan

Jika anda pernah berkunjung ke Abu Dhabi (United Arab Emirates-UAE), nyaris seratus persen sopir taksi di kota indah, hijau serta terletak di tengah gurun itu, adalah Pakistan. Sopir taksi ini didominasi oleh orang-orang suku Pathan. Sebuah suku yang terletak di wilayah Barat Laut, berbatasan dengan Afghanistan.

Orang-orang Pathan ini, bagi yang kurang mengenalnya, terkenal dengan sikapnya yang (barangkali bagi sementara orang) tidak terpelajar, sulit diajak kerjasama serta seenaknya sendiri. Satu lagi, (konon) orang-orang Pathan ini susah jika diajak kompromi untuk masalah kebersihan. Orang-orang Pathan (katanya) juga jarang mandi.

Jika demikian, mengapa Pemerintah UAE, getol merekrut mereka sebagai sopir taksi dalam skala besar? Padahal, jika banyak orang mengeluh masalah hygiene mereka yang kurang, tentunya, negeri UAE yang amat memperhatikan kesehatan warga serta pendatang, tidak rela reputasinya dicoreng oleh pendatang lain, seperti halnya orang-orang Pathan tersebut. Pasti, di balik semua ini ada nilai positif yang disumbangkan oleh orang-orang Pathan.

Meski sering ‘tengkar’ dengan orang Pathan di Dubai, saya sendiri kurang percaya akan pendapat umum ini. Apalagi, opini jika Pakistan diidentikan dengan negara tempat para teroris berbenah dan tersebar.

Setidaknya, orang Pathan yang pernah tinggal di apartemen di mana saya sewa, selama tidak kurang dari satu tahun, sebagai sebuah bukti. Pathan yang satu ini, memang bukan sopir taksi. Dia seorang insinyur IT. Selain terpelajar, sikapnya juga baik serta peduli terhadap kebersihan serta kesehatan. Makanya, seharusnya kita tidak mencap ‘semua’ orang Pathan, dengan predikat negatif.

Bukan berarti lantaran latar belakang orang-orang Pathan ini yang mendorong saya untuk membuktikan kebenarannya. Saya percaya, Pakistan tidak sebesar ukuran televisi. Apalagi selebar daun kelor!

Oleh sebab itu, beberapa larangan rekan-rekan saya untuk mengunjunginya, tidak mengurungkan niat saya berangkat. Saya ‘nekat’ ke sana. Saya ingin tahu, apa benar Pakistan, negeri yang dilanda konflik berkepanjangan dengan India ini, sudah tidak ada lagi sisa yang membawa hikmah?

Disambut

Mengajukan perolehan visa di Kedutaan Besar Pakistan untuk Kuwait (waktu itu saya di Kuwait), nyatanya mudah sekali. Sehari jadi. Saya hanya ditanya apa tujuan serta di mana bakal tinggal. Rencananya saya akan mengunjungi tiga negara bagian dari 5 yang ada di Pakistan. Yakni, Punjab, Sindh serta Northwest Province. Di Kedutaan juga terkesan tidak dipersulit. Datang ke kedutaan juga tidak perlu ditemani seorang warga Pakistan. Sepekan sesudah dapat visa, saya ‘terbang’.

Tiba di Bandara Internasional Karachi, memang tidak seindah Juanda atau Cengkareng. Urusan juga lancar. Segala sesuatunya memang sudah saya siapkan. Kontak ada di mana-mana. Jujur, saya punya banyak kenalan orang Pakistan, yang bersedia membantu selama perjalanan di sana nanti. Tidak terkecuali saat mendarat di Karachi. Rekan-rekan saya yang terbanyak tentu saja yang se ‘aliran’ (baca: profesi kesehatan).

Setelah masuk barisan antrian imigrasi, saya kaget. Ternyata dari sorong pengeras suara di Bandara, nama saya dipanggil. “Ini pasti bukan suatu kebetulan!” Pikir saya. Mana ada nama orang Pakistan yang seperti saya? Begitu lanjut pikiran ini, ‘bangga’. Nama mereka biasanya cukup ‘Saif’. Tidak diembel-embeli ‘UL’. Apalagi ada ‘Hardy’.

Orang Pakistan, kesan saya sebelum berangkat, sangat konservatif untuk masalah nama dan agama ini. Senang sekali rasanya. Diperlakukan ‘istimewa’.

Sebenarnya saya punya teman di Kuwait dulu, AzizurRehman namanya, yang bekerja di Central Blood Bank-Kuwait. Kakaknya, seorang Air Traffic Controller.

Dari bandara Karachi, waktu itu awal Bulan Ramadhan, kami langsung menuju ke rumah ayah Aziz, sekitar hanya 30 menit dari bandara. Sudah sore, hampir memasuki adzan Maghrib. Pas!

Tidak seperti di Indonesia, jika kita mertamu, umumnya dikenalkan kepada seluruh keluarga. Di keluarganya si Aziz ini tidak demikian. Hanya keluarga laki-laki saja yang keluar dan menemui saya. Saudaranya yang perempuan, tidak pernah kelihatan. Sesekali kedengaran suaranya. Atau, sesekali mereka mengintip saya dari kelambu yang membatasi antara ruang tamu dan ruang makan. Mereka ramah sekali.

Makanan Pakistan (tepatnya di Provinsi Sindh) begitu lezat. Apalagi saya yang waktu itu berpuasa. Nikmat sekali rasanya. Berbuka dibuka dengan kurma, sejumlah jenis manisan serta aneka buah-buahan yang dipotong kecil-kecil. Wah….dari makanan pembuka ini saja sudah kenyang. Tapi tidak demikian bagi mereka.

Ba’da Maghrib, kami makan lagi. Yang ini, luar biasa. Orang Pakistan memang postur tubuhnya besar-besar (masih ingat gambar-gambar Presiden Pakistan di TV?). Ya, begitulah rata-rata. Tinggi dan besar. Jadi, wajar kalaupun makanannya juga cukup banyak dibanding porsi kita. Lagi pula, favorit makanan mereka adalah susu atau daging bahan dasarnya. Di Karachi, susu dan daging ini (kayaknya) murah sekali. Lebih murah ketimbang di Indonesia. Buktinya, orang miskin pun, makan daging dan susu amat terjangkaua. Di sana juga banyak rumah yang memiliki sapi perah di halaman. Sehingga harga susu segar, selain murah, mudah di dapat. Saya cerita ini soalnya saya sempat ikut beli susu.

Punjab

Saya tidak bisa cerita panjang lebar tentang Karachi, termasuk menguraikan bagaimana keindahan taman kota, tempat di mana patungnya Ali Jinnah, Bapak Pendiri Pakistan, berdiri. Karena saya harus berangkat ke Punjab dua malam sesudah itu.

Naik kereta api sendirian dari Karachi menuju Sarghoda. Sebuah kota setingkat kabupaten, tempat di mana seorang rekan saya, Nawaz namanya, sedang menunggu. Perjalanannya cukup lama, sekitar 970 km dari rumah Aziz. Sebelum berangkat, saya diwanti-wanti…untuk tidak menerima tawaran makanan orang lain. Juga diingatkan, hati-hati. Pokoknya, macam-macamlah nasihat baiknya. Maklum, karena saya travel sendirian. Tapi saya tidak kuatir. Berbekal sedikit perbendaharaan Bahasa Urdu, bahasa nasional Pakistan, serta keyakinan bahwa banyak orang Pakistan yang tahu bahasa Inggris, saya jalan terus.

Saya mengenakan pakaian Shalwar-khamis, pakaian tradisi Pakistan, pemberian keluarga Aziz. Barangkali ‘lucu’ karena itu, di dalam kereta api, postur tubuh saya yang kecil dibanding kebanyakan mereka, serta ‘dibungkus’ dalam shalwar khamis, menjadi pusat perhatian. “Apa kelihatan aneh ya?” Tanya saya kepada diri sendiri. “Ah…biar aja!” Pikir saya, tak acuh!

Saya orangnya tidak biasa tinggal diam. Jadi, tidak bicara selama dua jam saja, rasanya mulut ini ‘capek’. Mau ngajak orang lain omong, masih kuatir. Nah, dalam kondisi begini, ada sepasang (saya pikir suami istri) yang saya ketahui memperhatian saya dari tadi. Mengetahui barangkali saya orang asing. Makanya, setelah beberapa setasiun berhenti, dan tinggal kami di gerbong, nekat bertanya: “Whe are you going Sir?” kepada salah seorang di antaranya. “Sargodha!” jawabnya, bikin saya gembira.

Sepanjang 12 jam perjalanan berikutnya, akhirnya saya dapat teman ngobrol. Pada akhir perjalanan sebelum ketemu rekan saya, Nawaz, yang sedang menunggu, saya ditawari mampir oleh Ziah, nama orang di kereta api tadi.

Saya nyaris tidak percaya ketika melihat Nawaz yang kini sudah ‘berubah’. Sesudah beberapa tahun tidak ketemu, lantaran resigned dari tempat kerjanya di Kuwait. Dia tidak lagi ‘cleaned shave’, alias berewokan. Sargodha sedang diguyur hujan deras. Dari stasiun, kami naik taksi, kemudian diteruskan dengan andong, khas Punjab. Indah sekali…..kayak pemandangan di film-film India saja! Habis, Pakistan kan budayanya juga berdekatan dengan India?

Sargodha terkenal dengan jeruknya. Kebetulan lagi musim jeruk. Nawaz, yang punya perkebunan jeruk, tinggal memetik di belakang rumahnya. Subhanallah…jeruk Pakistan muraahhh…sekali. Sekilo, tidak lebih dari Rp 2500. Percaya nggak? Makanya saya surprised, karena harga jeruk ini di Indonesia, bisa di atas dua puluh ribu. Sudah begitu, manis sekali…….dan..gratis lagi!

Lahore dan Islamabad

Dua hari di Sargodha, saya melanjutkan perjalanan ke Lahore, sebuah kota pusat budaya Pakistan. Indah serta banyak peninggalan. Saya suka taman-taman di Lahore, Menara Pakistan serta pasar-pasar tradisinya. Tidak ketinggalan makanannya yang lezat. Biryani adalah favorit saya. Semacam Nasi Uduk, diberi daging Ayam atau Kambing. Ada lagi minuman khas mereka yang saya juga menikmati sekali, Lassi namanya. Ekstra dari susu. Saya tinggal di pemukiman Madina Colony namanya.

Orang Pakistan begitu ramah terhadap tamunya. Itulah yang saya rasakan di tiga kota: Karachi, Sargodha dan Lahore. Sebelum saya lanjutkan ke Islamabad-Ibukota Pakistan, saya melihat Lahore university, museum, serta Lahore Hospital.

Di Islamabad, saya sempat berkunjung ke rumah kediaman Pak Dubes….wah…GR nih…kayak tamu besar saja. Ceritanya bermula dari staff KBRI di sana yang sering membaca artikel saya……jadilah saya dikenalkan dengan beliaunya. Alhamdulillah…

Islamabad tidak seperti Jakarta yang padat penduduknya. Boleh saya katakan sepi! Kayak kota yang baru dibuat saja. Memang Islamabad tergolong ‘baru’. Cantik dan indah, dikelilingi bukit. Begitulah kesannya. Saya juga sempat bertemu dengan sejumlah mahasiswa kita yang belajar di International Islamic University (IIU). Bahkan saya ketemu dengan salah seorang dosen saya yang sedang study di sana, Pak Munir, ketika saya belajar di Universitas Muhammadiyah Malang dulu.

Satu lagi yang saya nikmati adalah ketika berkunjung ke Faisal Masjid. Sebuah masjid terbesar di Asia Selatan serta salah satu yang terbesar di dunia. Selesai dibangun pada tahun 1986 oleh seorang arsitek asal Turki. Bentuknya seperti tenda orang Badui di gurun pasir Arab sana. Masjid ini memang merupakan usulan pendiriannya oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz pada tahun 1966. Makanya, namanya Faisal Masjid.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke bagian barat, saya menyempatkan diri ke Marri, sebuah kota kecil dingin, di puncak bukit, di mana kita bisa melihat Kashmir yang terletak di India, dari kejauhan, di tengah putihnya salju. Pertama kali saya….mandi salju. Berada di Marri ini, seperti di Eropa saja.

Parachinar

Selama perjalanan dari Islamabad ke Peshawar, ibukota North West Frontier Pakistan, menarik sekali. Sepanjang sekitar 740 km, alam yang keras, bikin mata belalak. Malam baru sampai di sana. Langsung ke penginapan. Perut lapar sesudah turun dari kereta. Saya makan roti Pathan yang besar-besar dank eras. Enaknya, roti yang harus dilahap saat panas ini, bisa tahan lama di perut. Dimakan dengan Beef Curry atau Mutton Curry. Rasanya? Luar biasa….anda dijamin kenyang dalam 6-8 jam ke depan.

Semalam di hotel, saya terus berangkat ke Parachinar. Sebuah kota dekat perbatasan Afghanistan. Subhanallah..indah sekali. Penuh salju dan batuan keramik. Lereng-lereng pegunungan yang mengelilingi kota Parachinar juga diselimuti salju putih. Memang masih musim dingin waktu itu.

Oleh rekan saya, Sharif namanya, seorang Kepala Perawatan sebuah RS di kota itu, saya diajak keliling. Baik ke sanak saudaranya, toko-toko, pasar, pusat penyembelihan hewan, juga RS tempat dia pekerja. Makanan orang-orang di sini, juga budayanya, sedikit berbeda dengan orang orang di propinsi Sindh atau Punjab, tempat saya travel sebelumnya.

Orangnya rata-rata berkulit putih kemerahan. Postur tubuh tinggi besar dan berhidung mancung. Seperti campuran orang Persia dan Arab. Pantas jika seorang penulis Barat (saya lupa namanya) dalam sebuah buku Guide to Pakistan pemberian Saifullah, rekan kerja saya, menyebutkan bahwa orang-orang Pathan ini: ‘The most beautiful people in the world!’.

Balik

Dalam perjalanan pulang, sebelum balik ke Karachi Airport, dari Islamabad, saya menyempatkan diri mampir ke rumah Ziah, orang yang saya temui saat di kereta api. Di sebuah kota Khanewal. Letaknya antara Islamabad dan Karachi.

Seperti saya duga, mereka menyambut saya dengan ‘meriah’. Seluruh keluarganya menyambut saya layaknya tamu istimewa saja. Padahal kami baru kenal. Itupun di kereta api. Saya tidak pernah mendapatkan perlakuan semacam ini di Tanah Air. Namun di negeri yang kebanyakan orang menganggap Pakistan sebagai negeri yang tak ramah ini, nyatanya manusianya, bikin saya geleng-geleng kepala. Betapa tidak? Cara mereka menyambut tamu begitu baiknya. Bagaimana saya harus membalas budi baik mereka?

Di Khanewal, saya diajak jalan-jalan ke sejumlah tempat peninggalan bersejarah. Ke pasar tradisional yang saya amat menyukainya. Makanannya terlebih lagi! Pendeknya, tidak ada satupun kejadian yang membuat saya menyesal. Rumah Ziah yang menurut saya sederhana, tapi penghuninya tidak sesederhana yang saya sangka. Hati, sikap dan pikiran mereka terhadap orang asing seperti saya, Subhanallah!

Penutup

Hampir sebulan di Pakistan. Begitu banyak pelajaran yang bisa saya petik. Tidak sekedar melancong. Mulai dari orang-orangnya, alam, budaya, bahasa, iklim, serta segudang lagi hal-hal yang tidak kuasa untuk saya tulis semuanya di atas kertas ini.

Benar, Pakistan memang tidak selebar layar televisi. Pakistan, dalam pandangan banyak orang memang bukan negara kaya. Kemiskinan terlihat di mana-mana. Kebersihan juga perlu mendapatkan perhatian utama. Kualitas pelayan public juga tidak terlewatkan penting memperoleh perbaikan.

Namun demikian, di tempat kami bekerja, banyak sekali orang yang berwajah Pakistan. Mereka Pakistani ber-passport Canada, Amerika Serikat hingga British. Mereka adalah orang-orang Pakistan yang terpelajar.

Begitulah yang bakal anda jumpai manakala melancong ke Eropa, Amerika, Australia hingga Jepang yang baru terkena gempa. Orang Pakistan ada di mana-mana.

Secara fisik, barangkali tidak secantik Indonesia. Tetapi melongok keberanian, kegigihan, ketekunan, kekuatan fisik serta kualitas manusia Pakistan yang mampu merambah dunia, bisa bikin kita bertanya-tanya: koq bisa ya?

Doha, 17 March 2011

[email protected]