Berbekal sudah lama tinggal di negara-negara Teluk, di mana komunitas India mendominasi populasi di sejumlah negeri Arab, saya pede saja berangkat ke sana, meski tanpa seorang teman dalam perjalanan. Saya urus visa ke Indian Embassy di Qatar juga tidak perlu teman. Selama di Embassy juga lancar-lancar saja. Bahkan esok harinya, visa sudah siap.
Sengaja naik Indian Airlines bukannya tanpa alasan. Selain murah, ingin menyicipi bagaimana rasanya berada di pesawat milik India ini. Memang tidak lagi terkejut karena jauh sebelum berangkat, sudah banyak informasi masuk tentang apa dan bagaimana perjalanan ke negerinya Mahatma Gandhi ini.
Kunjungan saya kali ini bertepatan dengan Ramadan. Lebih tepatnya lagi, menjelang Idul Fitri. Hanya beberapa hari saja. Saya sangat berharap banyak mendapatkan pengalaman selama Ramadan di negara besar terpadat kedua penduduknya di dunia, sesudah China, yang terletak di bagian selatan Asia ini.
Sebagaimana yang saya duga, sebagai negeri sekuler, pasti pesawat yang kami tumpangi juga sama sistemnya. Barangkali yang berbeda hanya Saudi Airlines saja, bila Ramadan tiba. Artinya, boleh makan atau minum!
Makanan yang disajikan juga ala India. Idhli namanya. Seperti apem tapi agak besar dan tebal. Tiga buah, ditemani kare atau semacam bumbu ayam. Sengaja saya simpan siang itu, untuk bekal Maghrib nanti, 2 jam lagi. Perjalanan membutuhkan waktu tiga setengah jam dari Doha ke Mangalore.
Maghrib tiba ketika kami masih berada di udara. Idhli saya lalap habis sebelum pesawat mendarat. Alhamdulillah lidah saya tidak terlalu banyak mendiskrimasi makanan. Lidah saya hanya mengenal dua jenis makanan: enak atau enak sekali.
Jangan pernah berharap anda datang di India meski pada Bulan Ramadan, seperti di negeri kita. Jadi, tiba di bandara International Bajpe tidak sama dengan bumi pertiwi, di mana-mana terdapat poster, placard atau umbul-umbul ‘Selama Berpuasa’ atau ‘Selamat Datang Ramadan’, dll. Waktu itu tahun 2009.
Pembaca….
Muslim India, suka mengawali berbuka puasa dengan buah-buahan, kurma, sedikit manisan dan serbat manis. Tradisi ini biasa kami temui di Teluk yang ternyata tidak beda dengan di negeri asalnya. Bagi ukuran kita, memang berlebihan.
Asal tahu saja, porsi makanan mereka memang lebih banyak ketimbang orang kita. Apalagi yang namanya pekerja atau buruh. Maklum, tubuh mereka juga lebih besar dan tinggi, ketimbang rata-rata kita! Selain itu, orang India sepertinya menyukai variasi makanan. Tidak jarang, dalam keseharian mereka masak dua kali dalam sehari.
Ba’da Salat Maghrib, biasanya mereka tidak makan langsung seperti kebanyakan masyarakat Muslim kita. Mereka makan makanan ringan, samosa, pakola (semacam Weci), spring rolls, pisang goreng , atau melanjutkan makan buah-buahan saat berbuka tadi.
Makan utama dilakukan sesudah tarawih. Sebagaimana yang saya ceritakan di atas, makanan utama mereka pun beragam. Nasi, roti atau Chapati, Paratha mereka menyebutnya. Dan selalu ada Kare nya. Tidak sama dengan menu kita yang kadang, nasi dengan sayur lalap saja sudah puas. Tidak demikian mereka. Bagi yang belum familiar, tidak biasa, mungkin saja tidak mau makan. Kecuali lapar sekali. Karena masakan India memang beda. Yang berbeda tentu saja bumbu-bumbunya.
Meski orang India suka aneka masakan, warung-warung (restaurant) di sana, kecuali restaurant besar, jangan samakan dengan warung di Indonesia yang menyediakan aneka masakan. Di sebuah daerah yang namanya Udupi, Karnataka, ketika berada di restaurant, saya mengira banyak pilihan makanan. Betapa ‘terkejut’ ketika tahu yang tersedia hanya ada satu macam makanan: idhli! Dan tentu saja minuman, teh.
Pesan teh di sana, ada dua macam. Tanpa atau dengan susu. ‘Dudh chay’ mereka menyebutnya jika kita ingin teh dicampur susu. ‘Suleimani’ jika hanya teh yang umum di negeri kita. Yang paling menyolok adalah porsinya. Minuman ini di Karnataka serta banyak daerah lain di India, tidak disajikan seperti di warung-warung kita yang ada dalam kemasan gelas besar. Sebaliknya, dalam porsi yang menurut ukuran kita, mainan anak-anak. Memang kecil sekali dan murah. Sekitar seribu perak lah. Seorang rekan saya, orang India, yang sempat berkunjung ke Indonesia beberapa bulan lalu terkejut, ketika melihat minum teh di gelas kita, katanya ukuran ‘raksasa’ dan kayak minum juice saja!
Jika makan nasi di warung, ini juga yang membedakan dengan warung-warung kita. Di India (juga warung-warung India di Timur Tengah), jika si penjual melihat nasi atau kare atau sayuran yang kita santap sudah mulai habis, mereka tidak segan menawarkan perlu tambah atau tidak. Anehnya, sekali lagi, tidak sama dengan warung kita, harganya tetap sama. Jadi, bisa makan sampai kenyang! Menariknya lagi, warung-warung ini tergolong murah.
Sayangnya, lidah orang kita banyak yang ‘manja’. Sebagian besar rekan-rekan Indonesia, kurang menyukai masakan India. Padahal, Indian cuisine amat terkenal di seantero jagat!
Tradisi makan orang India menggunakan tangan. Bukan sendok seperti kebanyakan orang kita yang ‘ketularan’ Barat. Padahal, Inggrisnya orang India lebih ‘ngewes’! Tapi mereka sangat menyintai tradisi ini.
Ketika di masjid, saat Salat Fardhu atau Tarawih, rata-rata mereka mengenakan pakaian tradisional (shalwar gamis atau dothi atau sarung yang mereka sebut lungi). Tapi jarang sekali yang mengenakan sarung seperti kita, kecuali di bagian selatan India (Tamil atau Kerala).
Mereka sangat menyukai pakaian tradisionalnya, warna polos. Putih, kekuningan atau kecoklatan yang acapkali mendominasi. Mengenakan kopiah haji adalah kebiasaan umum. Bukan kopiah hitam! Sebagian besar bermazab Hambali, bukan Syafii.
Belajar Al Quran atau mengaji, bagi keluarga muslim, membuat saya jadi iri. Hampir setiap keluarga muslim mengirimkan anak-anaknya di dua jenis sekolah. Pagi hari, ke madarasah dulu sebelum berangkat ke sekolah umum. Sekolah formal umunya dimulai jam 9 pagi. Anak-anak ini, rata-rata kuat sekali basic baca Al Quran nya. Itu berlangsung mulai dari umur 7 sampai 12 tahun.
Anak-anak muslim ini, kala Ramadan tiba, tidak lagi menenteng Lunch Box sebagaimana hari-hari biasa. Jika berangkat ke sekolah, senang menggunakan backpack buat buku-bukunya yang tidak jarang mencapai 5 kg beratnya. Saking begitu banyaknya. Muslimin kecil ini, ditengah-tengah mayoritas teman-temannya yang Hindu, tetap berenergi dan semangat kala Ramadan tiba.
Pemadangan yang saya lihat selama hanya tiga hari Ramadan menjelang Lebaran, barangkali belum cukup mewakili bagaimana kondisi Ramadan di India yang amat besar. Luasnya sekitar 3,29 juta kilometer persegi. Indonesia sekitar 1,91 juta kilometer persegi. Nyaris dua kali Indonesia. Apalagi waktu itu hanya dua negara bagian saja yang saya kunjungi: Karnataka dan Kerala, di mana cukup banyak penduduk muslimnya, meski tergolong minoritas.
Populasi muslim di India cukup mengagetkan! Selama ini kita tidak mengira bahwa jumlah kaum muslimin di India mencapai 177 juta lebih. Diharapkan pada tahun 2030, lebih dari 10% penduduk muslim di dunia tinggal di dunia. Jumlah penduduk India saat ini sekitar 1,2 milyar. Seorang rekan saya yang aktif di organisasi Islam di India menyampaikan, bahwa yang kita lihat di statistik resmi, jauh di bawah angka yang sesungguhnya! Subhanallah!
Pembaca yang dirahmati Allah….
Ringkasan perjalanan selama Ramadan di India, saya bisa katakan secara umum, kaum muslimin India,dihadapkan pada banyak tantangan. Baik dari segi sosial, ekonomi, budaya serta politik. Sayangnya, kurang relevan jika saya uraikan pada tulisan ini.
Dan terakhir, yang membuat saya tidak akan lupa insyaallah tentang suasana Ramadan di India adalah, Islamnya kuat. Barangkali itulah salah satu penyebab mengapa banyak cendekiawan muslim asal India di belahan bumi ini, seperti mendiang Ahmad Deedat atau Dr. Zakir Naik. Penduduknya, subhanallah, ramah-ramah. Hingga saya kuwalahan meladeni undangan berbuka puasa. Lantaran banyak yang menawarkan. Variasi menu dan aroma masakan India, jangan tanya! Superb!
Pendeknya, Ramadan di India, tidak sekedar Kuch Kuch Hota Hai!
Doha, 4 August 2011.
[email protected]