Pocket Money
Bagi sementara orang, apa yang dikatakan oleh seorang teman saya tentang bagaimana dia memperlakukan anaknya, mungkin mengherankan. Anaknya menangis keras karena tidak dikabulkan permintaannya untuk melihat televisi. “Biar saja. Anak-anak bisa apa? Menangis adalah senjatanya. Toh mereka tidak bakalan mati hanya karena menangis!”
Saya setuju dengan pendapatnya. Kalau capek sesudah menangis, toh akan berhenti sendiri. Sayang anak memang tidak harus diterjemahkan dengan mengabulkan segala tuntutannya. Apalagi di era modern ini. Banyak orangtua yang memiliki pola pandang yang berbeda dalam mendidik anak. Mayoritas, mereka tidak mau repot. Utamanya saat melihat anaknya rewel.
Jalan pintas yang ditempuh guna ‘menggembirakan’ anak-anak adalah, penuhi permintaan mereka. Tanpa berpikir jauh, bahwa dipenuhinya tuntutan anak-anak, kemudian diamnya sesudah mendapatkan apa yang diinginkan, bisa menimbulkan dampak psikologis, sosial serta perkembangan moral yang beragam. Yang kita tidak pernah sangka.
Well…..
Saya bukan seorang ahli pendidikan anak atau ahli jiwa. Hanya saja, menalarkan suatu kejadian seperti di atas, tidak perlu harus menjadi ahlinya. Saya hanya berprasangka (kalau disebut ‘berteori’ terlalu muluk: Red!), bahwa jika anak-anak biasa terpenuhi apa yang diinginkan, diberikan semua tuntutan kebutuhan sewaktu kecil, jika besar cenderung tidak bakalan berusaha untuk mencari atau berusaha sendiri. Manja! Siapa yang repot? Rasanya tidak perlu saya jawab!
Kita andaikan saja yang terjadi di kantor. Lantaran terbiasa ada Tea Boy misalnya, yang selalu siap menerima panggilan kita untuk membuatkan dan menyajikan teh di meja kantor. Begitu dia absen, pasti banyak yang ‘kalang kabut’.
Hal tersebut pernah saya alami di tempat kerja. Sesudah peristiwa itu, rekan-rekan kantor menyadari, bahwa betapa pentingnya peran seorang pembantu yang tugasnya di kantor meski hanya menyiapkan minuman kopi atau teh saja. Teman-teman dibuat repot, karena tidak tahu di mana harus mengambil teh, gula, hingga gelas disposable nya. Biasa manja!
Nah, tidak terkecuali anak-anak. Begitu mereka mulai diajari bahwa televisi-seperti yang diterapkan dalam ‘kurikulum keluarga’ rekan saya-hanya dinyalakan akhir pekan saja, saat ini, sesudah mereka sedikit besar, subhanallah, tidak ada yang ‘gila’ layar kaca ini. Coba bandingkan dengan pengalaman anda!
Demikian pula dengan peran uang saku. Saya sempat dibuat heran pengakuan seorang anak, dari keluarga yang sedang, ketika ditanya berapa uang saku harian sebelum berangkat ke sekolah. Dia bilang: "One month around Rupees 150.” Jika dirupiahkan, tidak lebih dari Rp 30 ribu. Berarti, sehari Rp 1000. Tapi itu terjadi di India. Buat apa duit segitu di Tanah Air ini?
Tentu tidak semua orang punya duit. Juga tidak semua keluarga kita memberikan duit saku ke anak-anaknya yang sekolah. Tanpa bermaksud mengambil kesimpulan umum, yang saya lihat memang anak-anak yang biasa dimanjakan, cenderung tidak mau repot.
Di desa kami saat ini, hampir tidak ada anak-anak yang berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya 2 km. Semuanya naik angkutan kota. Alasan rata-rata orangtua hampir sama: kasihan kalau mereka berjalan jauh. Jika tidak punya kendaraan sendiri, apakah mobil atau speda motor, mereka akan berlangganan. Pengeluaran jadi banyak, polusi juga meningkat. Selain, tentu saja kepadatan lalu lintas tak terhindar.
Padahal, belum tentu dari keluarga punya. Bisa jadi, latar belakang sosial ekonominya amat sederhana. Sebuah pemandangan yang amat bertolak-belakang dengan apa yang saya alami dulu.
Jangankan uang saku, sarapan saja belum tentu bisa makan nasi. Apalagi tontonan macam TV, DVD, internet, dll. Alhamdulillah, kami tetap bersemangat. Nilai rapor juga tidak pernah di bawah rata-rata. Bagaimana jika lapar? Kan kami biasa puasa? Baik itu Ramadhan ataupun sunnah, seperti pada bulan Rajab.
Jadi, hanya karena tidak punya uang saku, bukan berarti kami harus kelaparan, tidak bergairah di sekolah, kurang motivasi, hingga yang namanya tujuan belajar tidak tercapai.
Biasanya, orangtua sekarang juga tidak senang membanding-bandingkan dengan zaman ‘dulu’. Mereka selalu berargument bahwa zaman sudah berubah.
Mereka lupa sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang berhasil dan maju, latar-belakang kehidupan mereka biasanya bukan karena dimanjakan. Sebaliknya, mereka sukses, apakah itu dalam dunia politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dsb karena perjuangan dan kerja keras. Tidak terkecuali lewat proses pembelajaran saat anak-anak.
Kesimpulannya, memberikan banyak fasilitas, termasuk uang saku, terhadap setiap kebutuhan anak-anak sekaligus permintaanya, tidak selalu bisa diartikan sebagai bukti cinta sejati orangtua kepada anak-anaknya. Pembatasan uang saku (baca: minimal), atau jika perlu tanpa uang saku sama sekali, sepanjang snack misalnya, disediakan, malah lebih baik. Peneliti membuktikan, bahwa ‘stress’ kadang malah bisa menjadi pemicu bagi anak untuk memacu motivasi, ide, hingga kecermerlangan dalam berpikir. Bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa perjuangan. Termasuk perolehan surga yang tidak gampang.
Lagi pula, mana ada sejarah yang menyebutkan pembesar-pembesar Islam mengedepankan uang saku dalam proses belajar mereka memperoleh ilmu hingga meraih predikat ahli?
Wallahu a’lam!
Doha, 24 June, 2011