Menimba Cinta di Lahan Seberang

Selembar kertas putih melekat di daun pintu keluar restaurant sudut jalan, di tikungan 100 meter menuju gedung tempat kami tinggal. Sebuah foto hitam putih, ukuran passport tertempel di pojok kertas itu, di antara tulisan-tulisan padat dalam huruf Malayalam yang sulit diterka maknanya oleh orang yang tidak mengerti bahasanya. Pasti si empunya informasi tersebut bukan dengan tanpa sengaja memasangnya di sana. Meski begitu, bagi kita yang pandai ‘membaca’ suasana, akan segera bisa menangkap apa maksudnya.

Rasa ingin tahu lebih jauh saya bergejolak, membuat tidak kuasa menahannya. Sambil mengulurkan uang pembayaran teh panas, sekedar penghamat di tengah suhu dingin yang mencapai 13 derajat celcius pagi itu, kepada sang kasir, saya mendapatkan jawaban singkat. Anak muda yang fotonya terpampang di lembaran kertas itu tengah membutuhkan uluran tangan bagi pembaca yang, siapa tahu, tergerak ingin membantunya. Mohideen, si empunya nama, pemilik identitas di lembaran kertas itu, memang sedang sakit.

*****

Sore harinya, sepulang dari kerja, sekitar jam 3.30 sore, saya menjumpai seorang laki-laki muda, yang akhir-akhir ini selalu ‘berjemur’ di depan gedung kami. Maklum, udara lagi dingin. Terpaan sinar matahari bisa digunakan sebagai tambahan penawar hawa dingin ini. Dari penampilan fisiknya, nampak seperti orang asal Bangladesh. Kali ini memang bukan yang pertama saya temui. Saya menangkap dari penampilannya, anak muda ini sedang tidak punya kerjaan alias ‘menganggur’. Makanya sambil berjemur, siapa tahu ada yang mau menawarkan jasa baik kepadanya, memberikan lowongan kerja.

Bagi saya, rasanya kurang sopan kalau pandangan ini lantas dipalingkan ke arah lain, setiap saat menjumpainya. Saya kuatir akan terkesan sombong olehnya, meskipun bisa saja dia kurang begitu pedulikan sikap para ekspatriat yang sudah terbiasa acuh terhadap lingkungan sosial. Tapi saya tidak kuasa melakukannya. Terpaksa atau tidak, terkadang pandangan kami berpapasan. Kembali lagi, kekuatiran dikatakan sombong jika tidak membalas ‘kenalan’ ini selalu menghantui. Saya pun senyum. Bukankah sekalipun hanya dengan senyuman, merupakan sebuah pertanda ‘menerima’. Makanya, saya katakan: “Hello…!” sekedar menyapa.

Begitu tahu mobil yang saya tumpangi mendekat mau parkir di depan gedung, dia dengan segera bergerak, mengalah. Menjauhkan diri, seolah-olah kuatir mengganggu sang pengendara mobil.

Beberapa kali pertemuan ini membuat saya yakin bahwa lelaki itu adalah salah seorang penghuni di villa depan gedung, yang barangkali sedang mencari kerja. Dia tidak sendirian di sana. Sekelompok buruh kasar ramai di dalamnya. Diagnose saya memastikan, dia salah seorang kerabat keperja bangunan, yang berupaya mengadu nasib di negeri seberang.

*****

Pembaca……

Hidup, bekerja, tinggal serta menjalani keseharian di luar negeri bukannya tanpa masalah. Penderitaan, kepedihan, kesengsaraan, kesakitan dan atau kemelaratan, bukan monopoli negara-negara di benua Afrika atau Asia saja. Dua contoh manusia di atas, berasal dari India dan Bangladesh, bukanlah manuasia langka. Warga dari negara-negara lain pula tidak kurang jumlahnya. Bedanya, mereka tidak ‘menampakkan’ diri. Apakah itu dari Filipina atau Indonesia.

Akhir-akhir ini juga sering berseliweran dalam email group sejumlah komunitas Indonesia, laporan sumbangan tentang beberapa anggota warga kita yang tertimpa musibah. Ada saja pokoknya. Ada yang akibat dipukulin majikan. Kecelakaan kerja. Kebakaran tempat tinggal di tengah-tengah camp. Penyakit menahun, kanker misalnya. Dipecat dan tidak punya sangu untuk pulang ke Indonesia, serta setumpuk permasalahan lain yang andai saja Bapak Presiden kita tahu, pasti tidak bakalan mencalonkan diri lagi. Lantaran betapa rumit persoalan ketenaga-kerjaan yang dihadapi oleh warga kita di negeri seberang.

Sementara itu, keluarga kita yang di Indonesia, biasanya menyangka bahwa yang terjadi di seberang sana, OK-OK saja. Mereka mengira bahwa hidup di luar negeri sarat dengan kenikmatan dan kesenangan dunia. Kantong tidak pernah kosong, duit selalu ada, serta siap setiap saat jika diminta. Makan enak plus kaya akan aneka fasilitas hiburan lainnya.

Memang benar, banyak orang-orang yang bergelimang dengan kenikmatan dan harta. Sebagaimana banyaknya masyarakat kita yang kaya serta bermandikan Rupiah di Indonesia, baik di kota maupun desa. Mereka tidak tahu, bahwa di antara kita, yang berbeda sebenarnya hanyalah tempatnya.

Mereka tidak bakalan percaya jika di negeri seberangpun, kita bukanlah makhluk yang kebal terhadap apa yang disebut sakit, kehabisan dana, pengangguran bahkan kadang harus hutang ke tetangga. Bukan tidak mungkin di antara kita ada yang bahkan tanpa makanan di kulkas bekas. Atau, sulit jika harus ditarik sumbangan atau membayar iuran lainnya, karena budget memang benar-benar mepet.

Pembaca……..

Sulit untuk menjelaskan bagi mereka yang belum pernah merasakan, bagaimana beratnya bekerja di luar negeri. Bagaimana susahnya membanting tulang dan berjuang untuk senantiasa bisa membangkitkan bara cinta. Bukan hanya kepada keluarga tersayang di tanah tumpa darah semata, tetapi di ranah seberang, kepada orang yang tidak pernah dikenal.

Betapa mereka, warga kita yang berada di luar sana, sebenarnya pula berjuang agar bisa selalu nampak prima baik dalam suka ataupun duka, meski tidak semua bisa. Betapa mereka, dalam apapun kondisinya, tak ubahnya menimba cinta, terhadap sesama. Mereka mencoba senantiasa mengekspresikan kepedihan dalam bentuk kesyukuran. Demi cintanya kepada keluarga. Meski di atas lempengan suasana yang berbeda.

Doha, 27 January 2011

[email protected]