Pesta ulang tahun, biar kecil-kecilan; khitan, betapapun sederhana; pernikahan, meskipun masal; sampai dengan selamatan kelahiran bayi, di banyak negeri, termasuk negeri tercinta kita ini,……identik dengan hadiah. Hadiah terkait dengan pengeluaran. Pengeluaran, selalutidak ubahnya, serupa denganuang. Yang terakhir saya sebut ini, paling diminati dan disukai orang.
Sayangnya, meski disukai, belum tentu selalu adadi saku dada. Guna mendapatkannya, tidak gampang. Bagi mereka yang punya hajat, biasanya sudah mempersiapkan diri, jauh sebelumnya. Akan tetapi bukan bagi mereka yang diundang untuk datang. Apalagi jika undangannya dadakan. Menghadiri undangan, sering malah menjadi dilema.
*****
Sudah menjadi tradisi di negeri ini, setiap kita diundang untuk menghadiri aneka selamatan yang saya sebut di atas, diharapkan, meski tidak semua suka, kita membawa ‘sesuatu’. Apakah itu dalam bentuk hadiah, bingkisan atau uang. Di rumah atau aula, tidak peduli tempatnya.
Ada petugas yang bersolek cantik, berseragam batik. Ada pula yang asal asalan, hanya beralaskan sandal. Apapun pakaian yang dikenakan, petugas ini, siap menerima tamu, yang umumnya memangdiundang. Kartu undanganpun, terkadang bukan main rumit pemesanannya. Ada yang artistic. Ada pula yang berbau politis.
Berbekal buku registrasi, layaknya petugas rumah sakit, siapapun yang hadir diharapkan tidak lepas dari ‘sorotan matanya’.Apakah menyodorkan langsung, atau memasukkan amplop dalam kotak atau keranjang yang tersedia, bukanlah persoalan.
Betapa cantik lakonan ini!
Namun siapa tahu, di balik semua ini, ternyata sejumlah tamu-tamu yang semula diundang, ternyata tidak sebahagia yang kita duga. Mereka memang tersenyum. Namun bisa saja ranum. Mereka barangkali datang sepasang.Tapi belum tentusatupemikiran. Mereka bisa pulanampak bahagia, padahal belum tentu tidak sengsara.
*****
“Ngapain sore ini?” Tanya saya kepada seorang kakak yang segera menjawabbahwa dia sedangsibuk mencari pakaian yang cocok untuk menghadiri acara perkawinan esok hari. Pesta yang akan berlangsung di sebuah gedung Krida Kencana Palapa…apalah namanya….saya nggak ingat pasti sebutan gedung yang menggunakan istilah Sansekerta itu.
“Siapa yang punya hajat?” Saya ingin tahu. “Itu…kenalan lama!” jawabnya mencoba mengingatkan saya. Pembicaraan kami sampai pada topikyang menurut saya cukup menggelitik.
Sang punya hajat adalah seorang pengusaha. Tentunya cukup kaya di lingkungan kecamatan kami. Dia memiliki sejumlah rumah. Sederetan mobil. Dan berbagai usaha, bisnis. Kalau dihitung jumlah penghasilannya, saya nggak punya urusan. Yang jelas, untuk mengeluarkan biaya perkawinan anaknya yang konon sebesar ‘hanya’ Rp 600 juta, bukanlah apa-apa.
Pada hari perkawinan yang dilaksanakan malam itu…meriah sekali. Ucapan ‘Selamat Datang’ nya saja, terpampang di layar LCD ukuran raksasa. Tamu-tamu undangannya, berjubel. Mobil yang berderet di sepanjang jalan menuju gedung tersebut, tidak terhitung banyaknya. Rangkaian bunga segar dan plastikdi dalam dan di luar gedung, bikin kita geleng-geleng kepala. Begitu semaraknya.
Bagi orang seperti saya, bakalberpikir seribu kali untuk membeli bunga-bunga yang akhirnya toh masuk tong sampah esok harinya. Membeli bunga atau kertas undangan mewah, adalah perbuatan sia-sia. Pemborosan yang tidak pernah diajarkan oleh orang-orang besar dalam sejarah dunia. Apalagi di dalam agama.“Ngapain buang duit percuma?” Itu pemikiran orang melarat kayak saya. Bagi yang kaya raya,memangbukan masalah. Layaknya air ludah, dibuang begitu saja.
Penerima tamu dan semua petugas pesta tersebut berdandan pakaian rapinanmenarik. Tentunya tidak sedikit biaya sewanya. Belum lagi hiasan di dalam gedung, kerlap-kerlip lampu hias, dekorasi panggung, kursi tamu serta alasnya. Hingga tempat duduk singga sana sang mempelai. Ah…jadipusing jika harusmemikirkannya.
Pendeknya, ratusan undangan berjubel pada malam hari itu. Mereka yang tidak datang dengan membawa kendaraan roda empat, akan kelihatan jelas, amat kentara, jauh dari kelas seorang pengusaha. Jika tidak kuat-kuat mental, jangan harap bisa leluasa berjabat tangan erat dengan si empunya hajat.
Sampai-sampai, kotak sumbangan yang ukurannya tergolong besar buat ukuran masyarakat desa,dalam waktu yang amat singkat,penuh sesak. “Nggak tahu duit segitu banyaknya akan ditempatkan di mana.” Kata kakak saya yang sempat mengikuti acara perkawinan itu.
*****
Tidak jauh dari rumah kakak, terdapat sepasang suami istri yang konon juga turut mendapatkan surat undangannya.Mereka kenal dekat dengan sang pengusaha. Betapapun dekat, yang namanya sumbangan pada saat hajat….ya..sumbangan…yang harus diserahkan. Apakah dalam bentuk hadiah, ataukah Rupiah.
Saat sayatanya kepada kakak apakah mereka akan berangkat bersama, kakak saya bilang belum tentu. Lanjutnya, sang istri masih tengah berusaha untuk mencari pinjaman uang buat ‘Buwuh’ (Bhs Jawa: menyumbang).Orang tersebut sedang mencari Rp 150 ribuyang mereka butuhkan.
Pembaca……
Siapa sih orang yang tidak senang jika melihat hadiah dan uangdi tengahberbagai bentuk pestakita? Pada saat akan melaksanakan berbagai hajat kepentingan pesta, seperti yang saya ulas di atas, bisa jadi kita siap. Namun apakah kita sempat mengingat,bahwa dengan mengundang orang lain untuk datang ke tempat hajatan kita dengan mengantongi bingkisan, hadiah atau uang, mereka tidak dalam kondisi yang sama dengan kita?
Mestinya sadar, bahwa sementara kita punya uang, orang lain belum tentu. Sementara kita punya rencana hajat, siapa tahu barangkalitetangga kitatengah ditempamusibah. Sementara kita bisa menabung uang, orang lainyang tinggal di seberang sanabisa saja sedang mengambil sebagian tabungannyagunakepentingan yang tak terduga. Sementara kita mampu membeli hadiah, boleh jadikenalan terdekat kita justruberbaring di atas meja bedah.
Mempertahankan tradisi adakalanya baik.Akan tetapi tidak sedikit tradisi yang sebenarnya sama sekali tidak mendidik. Bahkan, justru merusak tatanan masyarakat,lantaranbudayayang kita pelihara nyatanya membuat banyak orang jadi lebih menderita.
Bagaimana tidak menderita apabila untuk mendatangi sebuah pesta pernikahansaja ternyata terpaksa harus mencari utangan? Bagaimana tidak sengsara,karena untuk mendatangi sebuah hajatan,nyatanyatetangga kitaharus berjuang keras dalam gelisah?
Makanya, saya begitutersentuh, ketika seorang sahabat lama, saat punya hajat, dia tulis dalam sebuah lembaran HVSwarna putih yang memang murah, kemudian disebarkan. Bunyinya:
‘Undangan…Mengharapkan kehadiran Bapak/Ibu/Saudara pada tanggal……..dan seterusnya. Catatan:Dimohon tidak membawa hadiah atau sumbangan. Kami hanya berharap do’a.’
Begitulah! Singkat dansangatsederhana. Namun sarat makna.
Doha, 7 February 2011