Curhat adalah hal yang sangat biasa dalam kehidupan kita. Tidak memandang umur, status sosial, serta ada hubungan keluarga atau tidak. Yang namanya curhat biasanya menyangkut hal-hal yang ‘kurang nyaman’ atau tidak mengenakkan. Singkatnya, sama dengan keluhan. Tidak harus dicari penyelesaian. Yang penting sudah disampaikan terkadang membuat orang jadi lega.
Salah seorang keponakan saya mengeluh tentang kondisi tubuhnya yang beberapa bulan terakhir ini ini selalu lemas dan tidak bergairah kerja. Badan juga semakin kurus. Sejumlah dokter spesialis juga sudah didekati. Kesimpulan mereka hampir sama: tidak ada kelainan jasmani pada dia.
Yang dikeluhkan lain adalah dalam kondisi yang demikian ini, dia memang berharap pasangan hidupnya (Baca: suami, Red!) mengerti. Mau membantu beberapa pekerjaan di rumah, seperti menyuci pakaian, seterika bahkan bersih-bersih. Saya tidak bermaksud menjeneralisasi para suami di Indonesia. Tetapi begitulah kebanyakan. Cuci pakaian, seterika, bersih-bersih rumah, memasak, adalah pekerjaan ibu-ibu. Ironisnya, di dunia industry perhotelan, semua pekerjaan yang saya sebutkan di atas, rata-rata dilakukan oleh laki-laki.
Apakah berarti laki-laki di negeri ini boleh dibilang ‘malas’?
Malas memang sangat relative. Orang per orang memiliki definisi yang berbeda. Orang bisa jadi malas main tennis lapangan, tapi dia rajin main catur. Orang malas makan nasi, tapi doyan sekali ngemil makanan ringan. Orang malas mengerjakan pekerjaan rumah, bersih-bersih atau menyuci, tetapi rajin sekali di kantor.
Manusia memang tidak bisa diduga. Dan repot sekali mendefinisikan persoalan sosial seperti malas ini. Malas memang merupakan satu penyakit kronis yang diderita manusia sejak manusia itu ada. Bayangkan jika semua umat ini rajin, apalagi berbuat baik, pasti yang namanya syetan amat kerepotan juga kehilangan kerjaan.
Malas, yang berarti tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu, bisa pula berarti segan, tidak suka atau tidak bernafsu. Semuanya di bawah satu payung pengertian. Konotasinya mesti dari positif ke negatif.
Kita tidak bisa menganggap, apalagi mencap seseorang dengan mengatakan bahwa dia ‘malas’. Kecuali sudah jelas apa yang dimaksudkannya. Misalnya, jika topic pembicaraannya adalah masalah belajar untuk urusan sekolah, diarahkan kepada mahasiswa atau peserta didik yang tidak memiliki gairah atau semangat belajar. Mereka ini, sah-sah saja kita katakan malas. Tapi , defisini serupa tidak berlaku bagi orang yang sama dalam hal kegiatan olahraga yang amat dia gandrungi. Hal ini ternyata sangat bertentangan.
Hanya saja, memang ada orang-orang yang dalam hidupnya ini memang malas sekali. Sudah nggak mau sekolah, apalagi mau belajar mandiri. Membantu kerja orangtua di rumah juga tidak, apalagi ibadah. Memiliki mimpi mau dikemanakan roda kehidupan ini, apalagi cita-cita hidup di masa depan. Pendeknya, benar-benar malas!
Cara mengatasinya, sebenarnya amat mudah. Melibatkan diri dalam kegiatan yang memberikan keuntungan adalah cara pertama mengatasi malas. Sayangnya, tidak semua orang tergeming dengan iming-iming ini.
Kedua, usahakan meningkatkan motivasi. Memang tidak gampang, karena butuh waktu. Namun saya yakin, bahwa setiap manusia itu ada masa-masa naik turun, termasuk yang namanya rajin-malas ini. Saya juga yakin bahwa setiap kemalasan selalu datang dari syetan, dan kebaikan adalah bisikan hati nurani terdalam, yang jika digerakkan, akan diikuti oleh berbonding-bondongnya malaikat yang turut mendoakan.
Yang ketiga, bergaulah bersama orang yang rajin. Pasti, cepat atau lambat, anda bakal ketularan!
Jika ketiga metode tadi sudah dicoba, namun tidak memperlihatkan hasil yang nyata, barangkali memang benar ungkapan di atas, bahwa anda sedang terserang penyakit kronis yang berat: Malas! Kalau sudah pada tahap ini, bisa jadi butuh konsultasi psikologis! Wallahu a’lam!
Doha, 23 June 2011