Tidak gampang meyakinkan kebenaran kepada orang-orang selain Islam. Kita yang dibesarkan dalam keluarga Islam terkadang harus menyadari hal ini. Makanya, berat sekali tugas seorang da’i, yang mengajarkan tentang misi kebenaran Islam.
Jika pada zaman sekarang saja, kita sudah bisa rasakan betapa beratnya tugas mulia mengajarkan Islam ini. Apalagi pada zamannya Rasulullah SAW yang mendapatkan tantangan serta perlawanan begitu sengit!
Tugas kita hanya menyampaikan. Selebihnya, kita serahkan kepada Allah SWT Yang Maha Membuka hati hambaNya. Persoalan hidayah, kita serahkan kepadaNya. Hanya saja, tidak ada salahnya kita berkewajiban untuk membantu ‘menjemput’ hidayah ini. Guna melakukan semua tugas itu, saya berpendapat, tidak perlu harus menjadi seorang da’I besar sekelas Hamka, ataupun kiyai sekaliber KH Ahmad Dahlan. Apalagi imam masjid terkenal di Al Azhar-Cairo sana!
Sejumlah kiat yang saya lakukan adalah berdiskusi informal. Ketika berjalan bersama. Dalam kendaraan, dan lain-lain kesempatan. Lewat diskusi tidak resmi ini, kita akan berinteraksi. Cuman, guna melakukan hal yang satu ini, tidak bisa sembarangan. Perlu strategi. Ini dilakukan agar jangan sampai yang diajak diskusi merasa tersakiti, tersinggung, apalagi kemudian berubah menjadi musuh! Apabila yang terakhir ini terjadi, jangankan simpati, didekati saja tidak bakalan oleh orang-orang yang semula adalah teman, sahabat atau rekan kerja kita.
Saya senang mulai diskusi dengan mengangkat tema-tema umum. Misalnya, menyejajarkan pembicaraan tentang agama setingkat dengan diskusi tentang ilmu pengetahuan lainnya. Kalau kita bisa berbicara dan tarik-menarik pendapat tentang berbagai teori fisika atau kimia, kenapa prinsip yang sama tidak dilakukan dengan agama? Mengapa kita meski bias?
Langkah kedua, saya masuk ke pandangan umum soal kebenaran yang diajarkan oleh agama. Tanpa menyebutkan spesifik agama tertentu. Ini semua, sekali lagi dilakukan, agar yang diajak diskusi tidak merasa disudutkan, seolah-olah agamanya yang diserang. Apalagi bagi kami yang berada di negara Arab seperti Qatar temapt saya tinggal saat ini.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah, reaksi lawan bicara kita. Harus kita perhatikan apakah dia tertarik atau tidak dengan pokok pembicaraan. Jika tidak, maka percuma. Lebih baik drop saja atau switch topic pembicaraan ke arah lain yang lebih diminati olehnya.
Kalaupun dia menanggapi sejumlah subtopic pembicaraan, jangan terlalu tergesa-gesa. Pemahaman butuh waktu. Harus pula bertahap. Saya mengalami hal ini agak sulit. Apalagi bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan (komunis). Terus terang alot!
Lain dari semua itu, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap kita. Tunjukkan bahwa kita bersikap sebagaimana Islam mengajarkan kita. Dalam hal kasih sayang misalnya. Kita tunjukkan bahwa kita mampu bersikap adil, tanpa memandang latar belakang agama, suku, budaya, jenis kelamin, rupawan tidaknya, apalagi kekayaan. Jika kita atasan, perlakukan bawahan dengan bijak dan tidak ada pilih kasih. Siapa yang salah ditindak. Sebaliknya, yang benar harus dibela. Inilah basic ajaran yang amat penting. Perlakukan mereka sebagaimana kita sendiri. Karena, mereka juga manusia seperti kita, yang memiliki pikiran dan perasaan. Memiliki kepekaan juga rasa sakit.
Berdakwah tidak harus di atas mimbar kuliah ataupun di dalam masjid atau di rumah-rumah pengajian rutin. Berdakwah yang nyata bisa dikerjakan dengan praktis, lewat komunikasi dan aplikasi sehari-hari. Di rumah, pasar, jalanan hingga tempat kerja.
Saya percaya, jika ini yang kita kerjakan, dalam skala akbar, Islam tidak sekedar agama yang digembar-gemborkan besar serta pernah jaya pada zamannya. Sebaliknya, tanpa ba-bi-bu di sana sini, semua umat akan melihat dan merasakan, bahwa agama ini benar-benar memberikan rahmat bagi semua alam! Wallahu a’lam!
Doha, 15 June 2011