Knock All Doors of Possibility

Tiga puluh tahun silam, lapangan kerja masih lapang. Saya merasa begitu gampang mendapatkan pekerjaan, tanpa report-repot amat. Dengan ijazah setingkat SLTA saja misalnya, banyak yang dapat kerja di sektor pemerintahan, dengan pangkat Golongan II/A. Apalagi yang mengambil sekolah kejuruan. Tidak mengalami kesulitan. Bahkan hanya dalam hitungan beberapa bulan sesudah lulus, waktu itu, saya dapat dengan mudah mengantongi predikat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Meski tahu, pada saat itu yang namanya KKN juga marak. Tapi perolehan kesempatan kerja, tidak sesulit sekarang ini. Banyak kalangan yang tidak mampu berharap, kecuali (pilih salah satu yang tepat!): punya kenalan, saudara atau uang. Jika satu dari pilihan ini tidak ada, jangan berharap dapat kerja.

Awal tahun 90-an saya berangkat ke luar negeri. Melanglang dari satu negara ke negara lain. Tidak lain tujuannya adalah, saya percaya bahwa rejeki Allah SWT itu, memang harus dijemput. Saya butuh uang! Saya yakin, bahwa nikmat Allah itu ada di mana-mana.

Tapi, apakah terbatas karena uang saya ke luar negeri? Tidak juga! Bagi saya, duit memang perlu, namun bukan yang nomor satu.

Saya ingin berubah. Perubahan itu tidak harus seperti orang-orang terkenal di dunia, seperti Albert Einstein atau Mahatma Gandhi. Apalagi politikus Hillary Clinton atau pengusaha kelas kakap, Bakri. Bagi saya, yang penting hari ini lebih baik dari hari kemarin serta masa lalu. itu sudah merupakan prestasi.

Di luar negeri, bergelut di antara manusia dari sejuta latar belakang sosial, budaya, ekonomi, politik, serta berjuta karakter, tidaklah gampang. Ada banyak orang yang serius sekali mempertimbangkan faktor-faktor ini, hingga bikin takut mau berangkat ke luar negeri. Jangankan ke luar, ke lain provinsi di Indonesia saja batal.

Di lain pihak, ada pula orang-orang yang terlampau menggampangkan segala urusan, yang bisa juga berakibat fatal. Misalnya, karena kurang matang persiapan dan pengambilan keputusannya, hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan kerja di luar negeri, harus balik ke kampung. Macam-macamlah alasannya. Ada yang tidak kerasan karena udara yang ekstrim. Kurang cocok karena berbeda bahasa. Lingkungan yang kurang kondusif. Hingga yang namanya faktor amat sepele: makanan. Kembali ke kampung, kita rugi besar!
Akhirnya, duit tidak, pengalaman apalagi!

Saudara…..
Menjelang bulan puasa tahun ini, tahun yang ke delapan belas saya di luar negeri. Sementara orang boleh berpikir bahwa duit saya sudah banyak. Tumpukannya boleh jadi susah dihitung. Jujur, bahwa saya tidak menumpuk duit hasil jerih payah kerja di luar negeri buat kepentingan perut atau saku sendiri. Ada orang-orang di sekeliling yang punya hak atas segala sesuatu yang saya miliki. Termasuk pengalaman yang ingin saya bagi lewat tulisan ini.

Berapa banyak kasus penderitaan buruh kita yang bekerja di luar negeri? Berapa banyak cerita tentang bagaimana nasib seorang dari negara asalnya yang dihabisi nyawanya oleh orang lain karena persoalan uang? Berapa kali anda baca artikel tentang konflik berkepanjangan karena uang di luar negeri? Saya tidak menutup kenyataan, banyak orang kita yang ‘sukses’ dalam perolehan uang juga di luar negeri.

Beberapa menit lalu saya juga menelepon seorang warga kita yang siap-siap pulang ke Tanah Air, berhubung kondisi kesehatannya yang tidak mengijinkan. Beliau harus balik ke daerah asalnya,lantaran tidak mungkin harus bekerja lagi, kecuali beristirahat. Beliau ini juga seorang karyawan senior sebuah perusahaan ternama, yang gajinya tentu saja tinggi di Qatar.

Banyak sekali contoh-contoh problematika kehidupan bagi saya yang sudah cukup memberikan gambaran bahwa duit bukan menjadi tolok ukur dalam kehidupan ini. Manakala mengedepankan duit, hidup kadang malah menjadi sulit.

Sebaliknya saya ingin mendudukkan kualitas karya hidup, jauh di atas peran duit. Saya percaya, duit bakal menyusul. Ketuk semua pintu kemungkinan dengan mengoptimalkan kemampuan anda dalam berkarya. Itu yang lebih utama dari pada sekedar uang!

Di tengah-tengah kesibukan kerja, jika akhir pekan atau liburan, atau bila sedang pulang cuti ke Indonesia, saya luangkan waktu buat sesama. Agar ‘kekayaan’ saya bertambah. Dan itu, tidak harus menghasilkan uang. Sebaliknya, kadang mengeluarkannya. Saya praktikkan prinsip seperti ini lebih dari sepuluh tahun silam.

Saya coba kembangan potensi diri. Saya orang yang senang bergaul, korespondensi, menulis, berbagi cerita, mengajar, semuanya saya gabungkan. Saya tidak peduli, apakah pintu-pintu yang saya ketuk bakal terbuka. Saya kurang pedulikan omongan orang bahwa saya terkesan sombong. Karena itu bukan urusan saya. Mereka boleh berkomentar apapun, sepanjang itu tidak mengganggu kegiatan posistif saya, ‘proyek’ jalan terus!

Saya tetap memiliki tekad, bahwa apa yang bisa saya kerjakan, akan saya kerjakan, sepanjang hal tersebut adalah sebuah kebaikan.

Hasilnya saya rasakan besar dan luar biasa. Kata ‘luar biasa’ tidak harus mengacu kepada arti sesungguhnya seperti yang tertuang dalam kamus. Luar biasa karena saya tidak pernah berharap bahwa sesudah berjalan bertahun-tahun, naik tangga pelan-pelan, saya bisa mencapai di ‘atas tangga’. Itu bukan berarti saya harus berada dalam kondisi ‘kaya uang’. Atau lebih tinggi dari Clinton, Einstein atau Gandhi. Subhanallah!

Perlahan saya yakini. Hal yang tadinya sederhana, sepele, bisa berdampak besar selagi ditekuni. Saya bisa ‘jualan’. Dan ini laku. Saya kunjungi banyak kampus, sekolah, akademi, agen perusahaan, di dalam dan luar negeri. Ribuan mahasiswa saya temui. Ratusan artikel saya tulis. Ribuan teman saya bisa berbagi. Ratusan saudara kini tersaji. Semua ini semula seperti mimpi. Semula saya pikir tidak ada yang peduli.

Saya berpendapat bahwa mengutamakan kualitas karya kehidupan lebih penting dari pada usaha hanya sekedar mencari uang. Kualitas jika dicari, uang akan ‘antri’, meski jumlahya bisa jadi kurang begitu berarti.

Memanfaatkan kualitas yang ada dalam diri tidak harus dalam bentuk proyek-proyek besar. Sekecil apapun, misalnya, kemampuan anda dalam mengedepankan etika dalam bergaul, bisa menjadi materi ampuh yang bisa anda ‘jual’ sebagai produk. Apalagi yang besar-besar dan bersifat teknik.

Sekali lagi, tunjukkan kepada manusia lain, bahwa anda mampu berkarya agar karya anda bisa dikenal orang. Dalam jangka panjang, ini bakal membuka lapangan kerja. Ke depan, tidak ada istilah pengangguran.

Saudara….
Orang yang dicintai Rasulullah, Baginda SAW dan kekasih kita, adalah mereka yang rajin dan suka bekerja. Beliau dalam hidupnya, sangat tekun dalam bekerja dan berkarya.

Pelajaran yang bisa dipetik dari uraian di atas adalah, sebenarnya tidak ada istilah pengangguran dalam kamus hidup ini. Yang ada, kita biasanya malas memanfaatkan serta memaksimalkan kegala kemampuan yang kita miliki.

Ketuklah semua pintu kemungkinan. Perkara ketukan kita dibuka atau tidak, itu bukan urusan kita. Yang penting kita kerjakan apa yang seharusnya dan bisa kita kerjakan. Namun ingat, berangkatlah dengan prinsip kualitas. Bukan atas dasar keuntungan finansial. Sesudah itu, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Insyaallah, cepat atau lambat, anda akan dapatkan hasilnya. Buahnya, bisa dalam bentuk nama baik (reputasi), teman baik, saudara bertambah, kemudahan dalam berurusan, tambahan pengetahuan, ketrampilan, informasi, pengembangan usaha, pertolongan dan dukungan sosial, mental, spiritual, serta tidak terkecuali dalam bentuk uang! Wallahu a’lam!

Doha, 26 July 2011
[email protected]