Jantung saya berdetak lebih cepat. Lebih keras dari biasanya ketika membaca sebuah pesan dari seorang anak muda yang mengatakan bahwa dia tidak lagi percaya dengan omongan, apa itu dari seorang adviser, speaker, motivator dan sejenisnya.
Dia pernah tertipu. Omongan-omongan mereka, begitu pengakuannya, penuh dengan kepalsuan. Apa yang diomongkan, tidak sesuai dengan yang dilakukan. Munafik! Katanya. Yang dia simpulkan sebelum menutup ‘perbincangan’ kami, adalah: ”Kalau hanya omong, semua orang juga bisa!”
Apa benar?
Berbicara itu membutuhkan seni dan kiat. Orang-orang besar dalam sejarahnya, dapat dipercaya dan dianut serta mendapat simpati yang luar biasa dari masyarat luas bahkan untuk ukuran sebuah negara, tidak jarang karena omongannya. Kepandaian dan kelihaiannya dalam berbicara bikin orang terpana.
Apa yang dibicarakan bisa membangkitkan semangat, membuat orang lebih bergairah, termotivasi, berubah, terinspirasi, mengembangkan ide-ide besar, meneliti, terharu, hingga menumbuhkan sebuah kebencian. Semua ini bisa muncul hanya karena pembicaraannya. Oleh sebab itu, betapa pentingnya arti sebuah pembicaraan atau omongan.
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah SAW dalam berbicara, yang sanggup memukau perhatian serta memikat jutaan umat manusia. Jangankan kawan, lawan atau musuh beliau SAW, terkesima jika melihat beliau SAW berbicara. Sikap, tidak tanduk, tata cara yang menemani uraian kalimat demi kalimat yang meluncur, bukan sembarangan. Apa yang beliau SAW katakan, jika bukan sebuah Firman Allah SWT, adalah hadits, sunnah. Apa yang diucapkan beliau SAW penuh nuansa ilahiah dan ibadah.
Zaman sekarang memang beda. Di zaman yang serba materialistik ini segala sesuatu selalu diukur dengan harta dan uang. Jika tidak menguntungkan dari segi material dan finansial, jangan harap manusia tergoda. Jangankan orang lain yang tidak ada hubungan saudara, orangtua saja, bisa kehilangan wibawa karena tidak lagi dianggap oleh anak-anaknya. Astaghfirullah!
Nasihat-nasihat bijak kiayi dan mubaligh di masjid-masjid, hanya nyaring di kala hari-hari besar Islam tiba. Orang sudah tidak lagi menggubris. Mereka selalu beranggapan, bahwa orang-orang yang berada di mimbar sana bisanya hanya ngomong. Mereka selalu mengukur bahwa yang dimaksud kebaikan itu identik dengan harta, material dan uang. Segala sesuatu yang tidak dapat diukur dengan ketiga unsur dunia ini, akan dikesampingkan. Jika mungkin dibuang.
Dalam keluarga juga demikian. Orangtua yang tidak kaya dianggap kurang bertanggungjawab. Peran kakak tertua, manakala hanya koar-koar, tanpa diikuti tindakan konrit terhadap adik-adiknya, bakal kehilangan wibawa pula. Adik-adik hanya patuh kepada mereka yang punya harta, uang dan material. Mereka sepertinya sudah tidak lagi membutuhkan apa itu tuntunan kebajikan dan nasihat dalam kehidupan.
Demikian pula guru-guru di sekolah. Mereka yang miskin dan berdandan kuno, tidak bakalan dapat nama di depan para mahasiswa. Murid-murid sekolah dan mahasiswa acapkali terkesima hanya oleh dunia material ini. Dandanan dan penampilan yang wah.
Barangkali kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, karena bisa jadi inilah hasil atau buah pendidikan selama ini.
Anak-anak di sekolah hanya diajarkan bagaimana agar nanti menjadi orang yang pintar. Insinyur, dokter serta aneka sarjana profesioanal yang dianggap bermartabat. Anak-anak ini tidak diajarkan bagaimana menjadi orang yang bijak, bermartabat, kuat, berbudi pekerti luhur, menjungjung tinggi budaya dan agama, serta tetek-bengek lainnya yang tidak bisa diukur dengan maretial, harta dan uang. Sepertinya kita lupa, betapa negeri ini sudah memiliki berjuta orang pintar. Namun apakah diikuti dengan peningktakan kualitas moral?
Maka, jadilah mentalitas generasi muda yang hanya bertumpu kepada benda. Kebendaan adalah cita-cita luhur anak-anak. Cita-cita ini ironisnya, diidentikan dengan besarnya upah. Bukannya tingkat kepuasan batin, kejujuran, kebahagiaan, harmoni serta nilai-nilai luhur lainnya dalam segi sosial dan agama.
Generasi muda kita juga lupa, bahwa banyak hal yang tidak dapat diukur dengan uang. Mereka lupa, bahwa banyak unsur kehidupan yang tidak dapat ditukar dengan harta benda. Mereka kurang sadar, bahwa yang membedakan manusia beradab serta tingginya kemuliaan mereka bukanlah lantaran kekayaan yang dimilikinya.
Betapa sejarah sudah mencatat, manusia-manusia besar sepanjang perjalannya, diingat, disanjung, diabadikan serta dijadikan panutan, tidak terkecuali Rasulullah Muhammad SAW, bukan karena kekayaan hartanya. Sebaliknya, karena kesederhaan ucapan-ucapan beliau yang penuh teladan dan kebijakan. Yang sanggup menuntun serta membawa manusia ke jenjang tingkat kedudukan yang tinggi.
Kita memang butuh uang guna menunjang tuntutan kebutuhan hidup ini. Namun uang pada dasarnya akan datang sendiri manakala kita mau belajar, misalnya bagaimana cara berbicara yang benar. Ngomong yang benar. Karena omongan atau pembicaraan yang benar membutuhkan teknik dan strategi. Lewat ketrampilan ini, bukankah orang bakal membayar?
Seni berbicara ini bisa dipelajari, bukan untuk menipu orang. Sebaliknya, demi kebaikan kualitas umat manusia. Seni berbicara memiliki kekuatan magis yang luar biasa sekiranya mau ditekuni. Kenapa banyak orangtua, guru, pendidik hingga pemimpin tidak mendapatkan ‘upah’ dari hasil pembicaraanya kepada anak-anak, murid, anak buah, dan masyarakat? Karena satu hal, seni dan strateginya kurang atau tidak dipelajari.
Bagaimana seni atau omongan yang baik dan benar? Sebenarnya hanya satu, segala sesuatu yang keluar dari hati nurani terdalam setiap manusia adalah sebuah kebenaran. Sebaliknya, segala keraguan atau lainnya yang bertentangan dengan suara hati kita adalah keburukan. Apakah itu dalam bentuk kemunafikan, penipuan serta kejahatan lainnya.
Jadi, sebenarnya tidak semua orang bisa omong. Karena omongan itu membutuhkan kiat dan seni. Kalaupun kita bisa ngomong dengan baik, belum tentu benar. Sebaliknya, jika kita bisa omong benar, belum tentu baik. Apalagi tentang kebaikan. Wallahu a’lam!
Doha 06 June 2011