Children Trafficking: “In Yogya? I don’t Believe It”

Saya selalu jalan jalan kaki sewaktu sekolah di SMP dulu. Kadang-kadang naik truck nya pegawai Rumah Sakit, yang antar jemput karyawan. Tidak kurang dari tiga kilometer jaraknya.

Pada kilometer pertama setelah keluar dari desa, kami memasuki pertigaan, jalan raya besar. Begitu masuk jalan raya utama ini, di seberang jalan, biasanya selalu terlihat beberapa orang perempuan yang dandanannya seronok.

Pemandangan itu kami temui nyaris setiap hari. Baik pagi saat berangkat sekolah, atau siang, kala pulang. Begitu bertahun-tahun.

Setelah beberapa saat saya baru tahu, bahwa perempuan-perempuan yang sering berlalu-lalang dan berdandan ‘norak’ tersebut ternyata wanita tuna susila (WTS), singkatannya begitu.

Entah apa yang melatar-belakanginya, istilah itu kemudian ‘diperhalus’ lagi. Yang saya tahu, kini disebut sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).

Orang kita memang senang sekali utek-utek singkatan. Sampai-sampai tamu saya orang Amerika Serikat waktu berkunjung ke Indonesia bilang: “Indonesians love abbreviations,…. huh?” ya! Orang kita apa yang nggak disingkat? Lebih halus lagi, diambil jalan pintas atau tidak mau repot!

Alhamdulillah, tempat pemukiman WTS tersebut pada akhirnya ditutup. Saya tidak tahu hari dan tanggal pastinya. Yang penting, waktu itu kami penduduk, penghuni di sekitarnya merasa lega. Kendaraan-kendaraan yang semula ramai di daerah tersebut, jadi sepi. Orang tidak lagi lalu-lalang.

Bukan hanya pemandangan seperti ini saja yang kemudian hilang. Para WTS yang suka mandi di sungai yang terletak persis di jalan raya, di depan pemukiman tersebut juga habis.

Lantaran mereka yang mandi di sungai tersebut, sementara kami, tetangga desa, yang terletak di ‘bawah’, sempat khawatir. Tidak terkecuali saya. Jangan-jangan kami bisa ketularan penyakit menular para perempuan ‘nakal’ ini.

Sesudah kompleks tersebut ditutup, kegembiraan kami nyatanya tidak berlangsung lama. Karena Pemerintah Daerah kami lebih ‘cerdas’. Tutup lokasi yang kecil…buka yang lebih besar….biar.

Mungkin, supaya terkesan lebih professional barangkali. Berjarak sekitar 20 km dari tempat tinggal kami, berdiri lokasi PSK baru. Lebih luas, lebih besar dan lebih banyak daya tampungnya. Astaghfirullah hal adzim…!!!

Membaca artikel berjudul ‘Changing Attitudes Key to Ending Child Sex Trade’ (Johanna Son, 1995) boleh dibilang sudah ketinggalan jaman. Karena tulisan itu dibuat lebih dari lima belas tahun silam.

Dari kaca mata riset, ok lah. Memang sudah kedalu warsa. Namun dari sudut pandang history, bagi saya ada kaitan. Kalau waktu itu jumlah perdagangan anak mencapai angka satu juta. Kira-kira berapa jumlahnya saat ini?

Saya yakin, mereka yang turut aktif pendirian kompleks maksiat seperti di atas pasti tahu statistik nya.

Jika pada saat itu, negara-negara yang disebut oleh Son hanya sepuluh negara, di mana Indonesia tidak disebut. Hari ini, bulu kuduk saya merinding.

Karena, bukan hanya hanya tertulis di atas kertas yang namanya protitusi anak-anak di Bumi Pertiwi ini.

Di Yogya pun, teman saya menemui dengan mata kepala sendiri. Dan itu terang-terangan. Lebih buruk lagi, menimpa pada usia anak-anak!

Inilah yang saya kutip dari catatannya di Facebook (FB): “Tadi sempat makan siang bareng suami & si sulung di salah satu rumah makan dekat perempatan Rejowinangun. Abis makan rasanya lemess….di depanku dg jelas aku menyaksikan traksaksi prostitusi anak di bawah umur (anak perempuan manis seusia sulungku, berpakaian kaos ketat celana pendek sekali, ditemani wanita muda berhadapan dengan 2 lelaki dewasa). Masya Allah ….ampuni hamba yg tak kuasa berbuat apa2 ketika itu…

Ya Allah….

Apa benar, lantaran himpitan ekonomi yang penat ini, hingga menjerumuskan orang-orang kita pada bisnis yang sangat merusak tatanan moral dan sosial ini? Apakah sudah tidak ada lagi jalan ke luar untuk mencari nafkah, hingga orang-orang dewasa, kita, sudah tidak lagi peduli dengan tatan atau nilai-nilai agama dan sosial? Sehingga, kalau dulu, barangkali harus sembunyi-sembunyi, kini, orang melakukannya secara terang-terangan? Sampai kapan ya Allah?

Guna menanggulangi ‘bencana’ di atas, memang, berdoa saja tidak cukup. Harus ada langkah-langkah konkrit. Langkah-langkah itu harus dimulai dari bawah. Dari masyarakat sendiri, dari keluarga.

Dari kita-kita ini, setiap diri pribadi. Baru naik, ke atas. Ke level pemerintah. Masuk ke individu-individu yang duduk di parlemen. Mau diapakan? Dikurangi, dicegah, ditambah atau dilipat-gandakan jumlahnya?

Bila pribadi-pribadi ini sudah berkurang niatan untuk mengajar nilai-nilai agama, moral, sosial kepada anak-anak. Jika guru-guru yang mulai dihargai lebih, secara profesi dan finansial, hanya peduli pada ilmu dan teori saja di sekolah.

Jika masyarakat luas sudah mulai acuk tak acuh terhadap dekadensi moral yang ada di sekitar. Atau, jika pemerintah menganggap, bahwa ini dampak biasa dari era globalisasi. Maka, apa lagi yang kita tunggu barangkali, kecuali murka Allah?

Pembaca…..

Saya, seperti anda….bisanya cuma menulis keluhan….Tapi, salahkah jika saya ingin membeberkan ketidak-beresan yang terjadi di tengah-tengah kita? Secara pribadi, saya tidak ingin, adzab Allah, terlebih Tsunami ke tiga menimpa kita, lantaran transaksi-transaksi asusila seperti di atas merajalela.

Semoga kita terhindar dari mala-petaka yang lebih besar, ketimbang sekedar children trafficking yang saya yakin, tidak hanya terjadi di Indonesia yang katanya terkenal amat sopan dan santun di seantero jagat ini.

Semoga pula, yang terlibat dalam jaringan maksiat ini, diberikan kesadaran untuk kembali ke jalan yang benar.

Bahwa, benar, masih ada sejuta cara lain, untuk memulai bisnis GILA. Tetapi tidak dengan jalan menjual belikan anak-anak bangsa! Generasi penerus kita.

Wallahu a’lam

Doha, 24 March 2011

[email protected]