Menurut pandangan ahli ilmu jiwa, manusia yang sehat itu apabila bisa bersenang-senang atau bergurau (fun), bermain (play) serta bekerja (work). Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka jiwa kita memerlukan terapi.
Bayangkan saja apabila dalam kehidupan sehari-hari ini kita hanya bekerja dan bekerja. Betapa membosankan. Tidak terkecuali apabila kehidupan kita hanya berisi senda-gurau semata. Atau kita penuhi kegiatan mainan. Betapa berantakannya kehidupan yang tidak pernah serius ini.
Kombinasi ketiga aspek tersebut, apakah itu di rumah, di kantor atau di masyarakat penting sekali demi keseimbangan kesehatan jiwa kita. Rasulullah SAW saja dalam riwayatnya memiliki selera humor, juga suka bermain dengan cucu-cucu beliau SAW, selain bekerja keras.
Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh marah? Atau orang yang marah berarti tidak sehat?
Pulang dari kerja kemarin, suhu udara di Qatar cukup panas. Empat puluh tujuh derajat celcius. Di Surabaya dan Jakarta, maksimal suhu udara 33-34 saja sudah demikian gerahnya. Apalagi suhu sedemikian tinggi di Timur Tengah. Konon, akan lebih panas lagi jika tidak punya duit (Fun: Red!). Tambah panas kan?
Ketika saya nyalakan AC kamar, kali ini koq agak beda. Padahal, pagi hari sebelum berangkat ke kantor rasanya normal-normal saja. Saya cek di sana-sini. Saya tekan beberapa tombol bergantian yang ada di remote control AC tersebut. Tidak juga berubah. Saya putuskan menghubungi Teknisi AC. Sejumlah petunjuk diberikan. Anehnya, tidak juga membawa hasil.
Akhirnya saya cari manual nya. Alhamdulillah masih saya simpan. Biasanya saya paling nggak suka menyimpan hal-hal yang demikian. Tapi tahun lalu, entahlah. Manual AC ini tidak terbuang. Tahap-demi tahap saya baca. Sampai akhirnya pada bagian Out Door Unit. Bagian ini, disarankan tidak boleh terkena sinar matahari atau kipas anginnnya tidak boleh ada block. Artinya, harus menghadap ke udara bebas.
Nah! Outdoor unit AC ini letaknya di teras lantai lima gedung kami. Saya yakin, pasti ada yang nggak beres! Tanpa sabar menunggu, karena udara memang mulai panas juga di dalam rumah, saya naik lift.
Benar dugaan saya. Pindahnya rumah penjaga gedung (watchman) kami ke atas, membuat unit tersebut terganggu. Bagaimana tidak terganggu? lha wong letaknya sudah berubah!
Tanpa berpikir panjang, saya kontak watchman. Kemudian saya suruh menghubungi teknisi AC. Berhubung pulsanya nggak cukup, dia meminta saya menelepon Foreman. Bebeberapa kali ringing, tidak diangkat. Kirim sms juga nggak ada tanggapan. Saya putuskan menelepon dan menelpon lagi.
Begitu dia angkat, kesempatan besar nih untuk ‘nyerocos’!
Saya marah! Anehnya, sudah tahu bahwa marah, lha koq malah bertanya ke saya: “Why are you angry?” Lha yang bilang saya ketawa itu memangnya siapa? Of course saya marah!
Bagaimana tidak marah? Unit yang ada di teras atas gedung itu kan punya saya? Tanpa meminta izin si empunya, tukang dia yang mendirikan kamar watchman di atas itu seenaknya saja memindahkannya ke lain tempat. Bukan hanya itu. Salah satu kabel penguhubungnya ada yang putus. Parahnya lagi, ada pipa kecil yang bocor, sehingga gas yang ada dalam AC nyaris kosong. Pantes, suhu udara jadi kayak seterika saja!
Sebetulnya, saya menyadari bahwa hal-hal yang seperti ini tidak harus diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Niat saya hanya ‘mengajar’ sang Foreman. Kalau saja saya tidak marah, saya kuatir dia akan perlakukan orang lain sama dengan saya nantinya. Jadi, korban malah lebih banyak. Makanya, dibalik kemarahan ini, saya bermaksud ada hikmanya.
Ketika sang teknisi AC sedang sibuk membetulkan kabel-kabel AC, saya bilang kepada watchman: “Untung saya bukan orang Arab, Pakistan atau India. Coba saja seandainya mereka yang jadi saya, pasti kamu sudah ‘dicuci’!” Dia tersenyum, mengiyakan pernyataan saya.
Beberapa saat sebelum teknisi AC datang, saya menelepon lagi sang Foreman, sekedar meyakinkan kalau dia akan mendatangkan teknisi AC untuk memperbaiki kerusakan ini. Tapi nada saya tidak lagi ‘panas’.
Di akhir pembicaraan saya sampaikan terimakasih kepada nya. Sebagai bentuk ekspresi etika kehidupan sosial, bahwa kemarahan kita harusnya terfokus. Bukannya tidak terkontrol kayak orang-orang di belakang ‘tembok’ sana (Baca: Rumah Sakit Jiwa. Red!)
Ringkasnya, orang yang marah boleh-boleh saja sepanjang beralasan. Ketika saya bertanya kepada seorang ahli penyakit jiwa, pemarah bagaimana yang tidak normal, dijawabnya bahwa kemarahan yang ada dalam batas-batas normal adalah kembali normalnya sikap sesudah marah.
Jadi, jangan sampai kemarahan itu berkelanjutan sesudah peristiwanya terjadi. Sebaliknya, malah kita bakalan disebut tidak normal apabila kita tertawa, padahal seharusnya marah!
Maka, berbahagialah orang yang bisa marah, namun mampu mengendalikannya. Termasuk kembali ke kondisi sediakala, sesudah marah-marah yang pada tempatnya. Wallau a’lam!
Doha, 27 June 2011