Berkali-kali aku kandas dalam menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Terakhir kali aku sempat kecewa sangat berat ketika adik kelasku di sekolah juga memutuskan pilihannya kepada seorang prajurit muda yang masih menjalani latihan kemiliteran di suatu kota. Peristiwa ini menambah deretan panjang kekecewaanku dalam sejarah hubunganku dengan mahluk yang bernama perempuan.
Sejak itu aku tak betah di rumah. Sejak itu aku merasa bahwa semua mahluk yang ada di sekelilingku membenci. Orang-orang yang lewat, hewan-hewan piaraan, rumpun-rumpun bambu, tanaman padi yang sedang menguning, seperti memandangku tak bersahabat.
Aku melangkah pergi. Kukatakan “selamat tingal” kepada kampung yang amat kusayangi. Kutinggalkan aroma pedesaan yang akrab sejak aku dilahirkan. Rasanya berat sekali meninggalkan tanah kelahiran. Tapi apa boleh buat, karena semua mahluk di kampungku seolah tak henti-henti untuk membenciku.
Kucoba menenggelamkan diri dengan menjadi “mahasiswa” di universiatas kehidupan. Aku “kuliah” di pasar, terminal, pabrik-pabrik, tempat-tempat pelacuran, dan terahir aku sempat “ngangsu kawruh” di Malioboro, sebuah tempat yang makin hari makin terkenal karena penghuninya sangat heterogen.
Aku berguru kepada para pedagang asongan, pedagang kaki lima, penjual koran, tukang becak, seniman jalanan, pengemis, mahasiswa, orang cacat dan juga para dosen. Tak lupa juga kutemui teman-teman yang ada di pesantren-pesantren dan di bangku-bangku perguruan tinggi.
Sampai suatu saat aku bertemu dengan seseorang yang mengenalkanku dengan orang-orang shaleh, dengan para pemburu cinta Illahi. Dia memperkenalkanku dengan sahabat Rasul, para Imam Madzab, tokoh-tokoh pergerakan Islam, bahkan juga dengan para Sufi yang kadang agak kontroversial dalam memandang cinta dan kehidupan, seperti Rabi’ah Al Adawiyah dan Abu Yazid Al Bustami. Sampai tak tanggung-tanggung, ia bahkan menyelipkan puisi Rabi’ah kepadaku.
Engkaulah Sahabatku, Kerinduanku dan keselamatanku
Tanpa Diri-Mu, wahai hidup dan cinta-Mu
Takkan pernah aku mengembara melintasi
negri-negri tak terbatas ini
Betapa banyak rahmat, anugrah, karunia dan nikmat
telah Kau tunjukan padaku
Cinta-Mu-lah yang kucari
Dan di dalamnya aku menemukan berkat
Aku mulai belajar untuk menghilangkan kekecewaan karena cinta yang kandas. Aku mencoba terus belajar dan belajar memburu cinta sejati, cinta pada Illahi seperti yang dicontohkan para “pemburu” Illahi Rabbi.
Bertahun-tahun aku menenggelamkan diri dalam aktifitas usaha. Lama aku mencoba melupakan cinta kepada lawan jenis. Hingga seorang sahabat mengajakku ke rumah seseorang. Dan di tempat itu aku mendapati ada seorang gadis muda sedang sakit. Tubuhnya amat lemah, sorot matanya tak bersemangat dan seolah sudah tak ada harapan menyenangkan baginya seperti teman-teman seusianya yang sedang indah-indahnya menapaki masa-masa remaja.
Aku iba melihatnya. Bahkan hampir saja air mata ini tumpah di depannya. Dalam hati aku berdoa padaNya. Semoga ia cepat sembuh dan cepat-cepat di karunia jodoh seseorang yang bisa menghiburnya. Itu doa singkatku dalam hati.
Lama kemudian aku tak bertemu dengan gadis itu. Dan ketika bertemu kembali, aku mendapati dia sudah sembuh dari penyakitnya. Alhamdulillah, aku besyukur. Ia sudah kembali beraktifitas seperti layaknya remaja masa itu. Bahkan dengan semangat ia masih mau meneruskan sekolahnya yang sempat terbengkalai.
Entah kenapa, kami makin akrab. Entah kenapa ahirnya timbul kembali hasrat dalam hati ini untuk mencintai lawan jenis, setelah sekian lama kutenggelamkan bahkan ingin kukembalikan saja pada pemilik cinta itu sendiri. Sebab aku masih trauma, bahwa setiap kali aku mencintai seorang perempuan, maka kekecewaanlah yang akan kudapat.
Aku mencoba menghimpun kekuatan untuk mengatakan ”sesuatu” padanya. Harapan yang ada dalam benakku adalah: semoga aku diterima. Dan seandainya ditolak, aku sudah siap untuk menerimanya dan tak akan kecewa seperti masa-masa lalu.
Alhamdulillah, aku diterima. Dan aku tak menyangka jika doaku ketika ia sakit, sekarang sudah terkabul. Dan sama sekali tak menyangka jika ternyata jodoh yang diberika Allah padanya adalah diriku sendiri yang mendoakan dia.
Sekarang ia menjadi istriku, menjadi pendampingku dan sudah memberiku seorang keturunan. Aku tak menyangka kalau cintaku kepada seorang perempuan harus melewati proses yang pahit getir. Dan jika kehidupan itu bisa di refresh tentu aku tak mau mengulanginya lagi.
Barangkali, jika dulu cintaku diterima dengan mulus oleh gadis pujaanku, aku belum tentu bisa mengenal para “pemburu” cinta sejati. Mungkin aku masih buta dengan sirah para nabi, tak tahu jejak indah para sahabat, tak akan mengenal bagaimana semangatnya para sufi mencintai Sang Khalik.
Kejadian yang menimpaku di masa-masa lalu, mengajari dan mengajak diri yang lemah ini, agar tak pernah berhenti berproses dalam mendapatkan cinta yang sejati. Cinta kepada sekeliling, cinta kepada mahluk, cinta kepada suami, istri, anak, sahabat, saudara dan lain-lainnya adalah proses awal untuk menuju cinta yang sebenarnya. Cinta yang agung, cinta yang tiada batas, tak lain dan tak bukan adalah cinta kepada Sang Pemilik Cinta itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Purwokerto, 2011