Keberkahan Al Qur'an

Ketika ia datang mencari lowongan pekerjaan di depnaker daerahnya, ia menemukan sebuah iklan yang dipasang di papan pengumuman. Iklan dari PJTKI setempat itu mengabarkan bahwa ada lowongan kerja di bidang bangunan, peternakan, pertanian, dan restoran di Brunei Darussalam.

Tanpa pikir panjang lagi, ia mendaftar. Ia memilih peternakan, sebab kata salah satu pegawai PJTKI itu, pekerjaan di seputar peternakan boleh dibilang ringan. Paling hanya membawa makanan ternak dan membersihkan kandang. Dalam bayangan laki-laki itu, ia mampu untuk bekerja di bidang tersebut.

Ia tanpa ragu lagi mendaftar, uang hasil pinjaman dari salah satu keluarga bapaknya segera dibayarkan. Ia terus mengalami proses menunggu hampir setahun. Janji akan diberangkatkan dalam waktu sebulan, ternyata sampai 8 bulan. Janji akan dijemput di bandara Brunei sesaat setelah ‘landing’ oleh orang-orang PJTKI, ternyata tidak tepat. Janji akan di tempatkan di peternakan ayam ternyata juga bohong. Ia malah menjadi tukang rumput yang bekerjanya tanpa ada batas normal, jauh dari UU buruh negara setempat.

Sebenarnya ia kecewa sekali. Ia mencoba menghubungi PJTKI tersebut, namun tak ada jawaban pasti. Ia seolah lepas tangan tentang itu semua. Ketika ingin pindah tempat kerja, ternyata sulitnya buka main dan harus membayar dengan uang yang cukup fantastis. Ketika mencoba mengadukannya ke KBRI lewat telepon, juga kurang diperhatikan.

Ahirnya ia pasrah. Mau tidak mau ia harus menjadi tukang rumput, yang pekerjaannya setiap hari memotong rumput, baik di tanah kosong, jalan-jalan raya ataupun kawasan perumahan. Setiap hari ia dipanggang dibawah matahari. Sesuatu yang tak pernah terbayang dalam benaknya sebelum ke luar negeri.

Dalam waktu seminggu sejak kedatangannya di negri Sultan Bolkiah, ia selalu dimarahi majikannya, karena sang majikan tidak cocok dengan cara kerjanya yang lamban, dan tidak sekuat orang-orang India. Sang majikan ngotot, mau memulangkan dia. Katanya, ia rugi mengambil pekerja semacam itu.

***

Pagi hari, matahari baru beranjak naik. Jam juga belum menunjukan pukul enam pagi. Laki-laki itu dengan sapu lidi yang nyaris habis karena seringnya dipakai, masih mengumpulkan beberapa kertas bekas mainan anak majikannya.

Hari itu adalah hari terahir dia tinggal di tempat majikannya. Sebab ia harus pulang ke tanah air, karena ia dinilai tidak mampu bekerja di rumah majikan yang mempunyai usaha ‘grass cutting’ atau potong rumput tersebut.

Laki-laki itu sudah menyerahkan nasib sepenuhnya kepada sang pemilik alam ini, jika ia harus pulang ke Indonesia alias dikembalikan. Yang jelas, ia akan menuntut balik PJTKI yang memberangkatkannya. Karena kebanyakan janjinya, bohong belaka.

Malam hari ia sudah mengemas barang-barang yang akan dibawanya pulang. Dalam bayangan, orang tuanya sudah pasti amat kecewa dan sudah barang tentu akan sangat marah, jika ia pulang kampung tanpa membawa hasil. Hutangnya kepada salah seorang saudaranya belum bisa ia kembalikan. Dalam benak, satu-satunya jalan agar bisa mengembalikan hutang adalah dengan menjual sawahnya untuk mengembalikan pinjaman uang yang ia gunakan untuk berangkat.

Selain itu, ia sudah pasti akan menanggung beban mental yang cukup dalam. Sebab perginya merantau ke luar negri tidak berhasil, seperti orang-orang lain di kampungnya. Ia makin gelisah jika mengingat itu semua.

Sambil membersihkan lantai, sayup-sayup ia membaca surat Yassin. Ia menyenangi gaya bacaannnya imam masjid Nabawi. Suaranya yang sedikit indah itu, sempat masuk telinga majikannya yang baru turun dari lantai dua.

“Kamu hapal surat Yassin?”
Tanyanya. Ia menjawab dengan nada yang juga amat lirih dan tak bersemangat.
“Hapal sih tidak, tapi ada beberapa ayat dari awal yang bisa saya baca tanpa harus membaca teks.”

Majikannya mencoba mengetes dia. Ternyata sang majikan tertarik sekali dengan gaya dan suaranya yang mirip Syeih di Mekkah tersebut. Saat itu juga, entah ada angin apa, sang majikan menarik kata-katanya tempo hari, soal pemulangan dirinya ke tanah air.

“Oke, kamu tak jadi saya antar pulang. Mulai malam nanti kamu ajari Al Qur’an anak-anak saya.”

Seketika, wajah laki-laki itu amat cerah dan diperkenankan untuk ikut kembali bekerja. Anehnya, oleh sang majikan dibiarkan bekerja semampunya. Tidak harus seperti bekerjanya orang-orang India, yang tahan terhadap udara dan temperatur panas seperti kala mereka masih di daratan Asia Selatan sana.

Laki-laki itu cukup gembira sekali mendengar keterangan dari majikannya. Malam harinya ia mengajar keluarganya membaca dan menulis Al Qur’an. Bahkan tak jarang ia juga diminta untuk membacakan beberapa nash Al Qur’an atau hadits Nabi.

Ia sempat berpikir, seandainya dalam suasana seperti itu ia tidak membaca al Qur’an, tapi mendendangkan lagu-lagu pop misalnya, belum tentu hati majikannya akan berbalik sembilan puluh derajat. Bayangannya akan menjual tanah warisan orang tuanya, untuk mengembalikan utang, sirna sudah oleh murottal gaya imam masjid Nabawi. Al Qur’an selalu membawa berkah kepada siapa saja yang membacanya.

***

FLP Purwokerto <[email protected] >