Saya memiliki seorang paman, Mitrof namanya. Usianya sebaya dengan usia saya. Memang agak unik, paman kok usianya sebaya. Tetapi itulah kenyataannya. Ia memang bukan paman dekat, dalam arti saudara langsung dari ibu atau ayah saya. Saya tidak tahu persis bagaimana silsilahnya, tetapi karena banyak keluarga yang menyatakan bahwa ia adalah seorang paman saya, maka saya memanggilnya “Lek”, yaitu panggilan seorang paman dalam terminologi Jawa.
Suatu ketika saya berkunjung ke rumahnya. Saat itu, kami menjelang kelulusan SMA dan dihadapkan pada kebimbangan apakah akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Kami membicarakan bagaimana kiat-kiat agar bisa lolos dalam UMPTN dan mampu kuliah di tengah kondisi ekonomi yang kurang mendukung pada saat itu. Kami adalah teman satu kelas dan satu SMA di Pekalongan. Hubungan kami cukup akrab. Kadang saya yang bersilaturahim ke rumah dia, dan kadang dia yang bersilaturahim ke rumah saya.
Pada saat kami berbincang-bincang itu, ibu dari paman saya itu turut bergabung dan melibatkan diri dalam perbincangan. Boleh jadi, bagi beliau topiknya cukup menarik karena menyangkut masa depan anaknya. Beliau mengungkapan kata-kata yang hingga kini tidak pernah saya lupakan. Beliau berujar bahwa sudah menjadi kewajiban orang tua —termasuk diri beliau— untuk menyekolahkan dan mengkuliahkan anaknya. Beliau mengatakan bahwa selama ini berusaha keras untuk menyekolahkan dan mengkuliahkan anak-anaknya (termasuk paman saya itu), walaupun harus dengan cara bersusah-payah dalam mencari rezeki. Upaya keras yang dilakukannya itu, diibaratkan beliau dengan ungkapan ‘Walau kaki harus naik ke atas kepala, dan kepala harus turun ke bawah kaki’. Maksudnya tidak lain adalah upaya keras yang sekeras-kerasnya, menumpahkan segenap daya, mencucurkan keringat, membanting tulang, dan berusaha membalikkan hal-hal dianggap mustahil bagi manusia tetapi tidak mustahil bagi Allah SWT.
Dukungan moril dari ibu yang demikian, tentu membangkitkan semangat belajar sang anak. Pikiran sang anak juga akan terfokus pada hal-hal yang dipelajari dan mampu mengembangkan pemahaman belajar secara kreatif. Demikian pula yang dirasakan oleh paman saya itu. Paman tidak perlu pusing memikirkan apakah secara finansial bisa kuliah atau tidak. Tugas dia adalah belajar dan belajar sehingga bisa lolos dalam UMPTN. Dan memang, pada saat hasil seleksi UMPTN diumumkan, namanya tercantum sebagai calon mahasiswa yang lolos, yaitu pada fakultas farmasi sebuah PTN di Yogyakarta yang menjadi pilihan utamanya.
Kini, pamanku itu menjadi seorang apoteker di kota Pemalang dan menjadi dosen sebuah perguruan tinggi swasta di kota Pekalongan. Di samping itu, dia juga aktif dalam berbagai organisasi keagamaan termasuk sebuah lembaga pemberdayaan masjid yang dirintis dan diketuainya. Meski secara duniawi ia merasa tidak begitu sukses, namun saya menilainya secara akademis dia cukup sukses. Terlebih jika saya membandingkan banyak teman yang tidak mampu kuliah, kemudian terjun ke dunia kerja sebagai buruh kasar dengan penghasilan yang sangat pas-pasan, apa yang dicapai oleh paman saya itu adalah sebuah prestasi yang patut disyukuri.
Dan sebenarnya jika mengingat betapa nikmatnya bisa kuliah, antara lain bisa mengembangkan wawasan, menumbuhkan potensi berorganisasi dan kemampuan menajerial, melatih ketajaman berpikir, menimba ilmu alam dan keIslaman, menjalin hubungan dengan banyak pihak, dan lain-lain, maka nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat yang cukup memberikan bekal bagi kehidupan mandiri pasca kuliah. Hal tersebut adalah suatu prestasi yang tidak bisa dinilai kecil dan boleh jadi sangat mempengaruhi langka-langkah kehidupan selanjutnya.
Saya mengambil hikmah, bahwa ternyata keinginan pamanku untuk bisa kuliah dan menjadi seorang apoteker itu, terpenuhi karena dukungan yang besar dari sang ibu. Kisah pamanku itu adalah sedikit kisah dari banyak kisah yang membuktikan bahwa ‘apa yang terjadi pada seorang anak saat ini’ adalah buah dari langkah-langkah sang ibu di masa lalunya. Sang ibu yang senantiasa menapaki jalan hidupnya di dalam kebaikan, mencari rezeki halal demi masa depan anak-anaknya, rajin bermunajat di penghujung malam mendoakan anak-anaknya, semua itu sangat mempengaruhi masa depan anaknya.
Namun sebaliknya, andaikan sang ibu mencari rezeki dari jalan yang buruk, suka memberikan kata-kata kasar dan buruk kepada anaknya, memarahi dan memukuli anaknya, dan segala kegiatan beratribut buruk lainnya, maka akan berpengaruh pada perilaku anaknya. Ia akan menjadi buruk baik secara pemikiran maupun akhlak. Dan boleh jadi semua itu menjadi biang ketidakberhasilannya dalam bangku pendidikan. Tidaklah mungkin suatu output yang buruk, baik secara kognitif (keilmuan), afeksi (moralitas), dan konatif (operasional), dihasilkan dari suatu input yang baik. Sudah menjadi fakta empiris bahwa output yang buruk dihasilkan dari input yang buruk juga. Istilah kerennya adalah “garbage in garbage out”.
Anak-anak yang susah sekali diajak kepada jalan kebaikan, yang suka berhura-hura, yang berkata kotor, yang bermental preman, mimum-minuman keras, memakai narkoba, dan lain-lain, boleh jadi disebabkan oleh langkah dari ibu-ibu mereka yang kurang tepat di masa lalu. Dan tentu saja, ini tidak mengke sampingkan peran ayah sebagai pemimpin bagi ibu dan anak-anak.
***
Suatu ketika ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah Saw meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama Rasulullah Saw, maka beliau bertanya, “Adakah engkau masih memiliki ibu?”. Orang itu menjawab, “Ya, Masih. ” Kemudian beliau bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu. Karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya”.
‘Surga di bawah telapak kaki ibu’, demikian petikan bunyi hadits yang sering kita dengar sebagai ungkapan yang sering disitir banyak orang. Bagaimana mengartikannya? Banyak orang mengambil pelajaran tentang kewajiban setiap anak untuk berbakti kepada ibunya (orang tua) mengingat jasa ibu yang demikian teramat besar bagi sang anak. Jasa ibu yang demikian besar tidak bisa dibalas oleh seorang anak, walau dengan emas dan permata setinggi gunung sekalipun. Pemahaman yang demikian penting diresapi bagi ‘seorang anak’ agar ia mampu mengoptimalkan kebaktiannya kepada ibunya (orang tuanya).
Namun seringkali seorang anak tidak selamanya hanya berperan sebagai anak yang senantiasa diliputi pikiran untuk berbakti kepada ibu-(orang tua)-nya. Jika ia seorang anak laki-laki yang sudah beristri dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan pendidikan isteri dan anak-anaknya. Jika ia seorang isteri yang telah bersuami dan beranak, maka ia wajib pula memikirkan kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya.
Dan hadits “surga di bawah telapak kaki ibu” itu menyimpan sisi hikmah yang agung bagi seorang ibu agar menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya karena kebaikan sang anak (surga) tergantung dari langkah kaki (upaya pendidikan) dari ibunya.
Seorang ibu yang selalu menapakkan langkahnya menuju kemaksiatan, maka sentuhan pendidikannya adalah penuh kemaksiatan. Kemaksiatan yang tertanam pada seorang anak ini bisa menghantarkannya kepada neraka. Contoh kecil saja bagaimana seorang ibu yang senantiasa berdusta kemudian ia memberikan sentuhan pendidikan kepada anaknya pun dengan dusta. Maka wajarlah jika kebiasaan dusta itu menurun kepada seorang anak. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda barang siapa yang berkata dusta, maka kedustaannya itu akan menghantarkannya pada keburukan, dan keburukan itu akan menghantarkannya pada api neraka.
Alangkah indah jika ungkapan di atas dipahami secara bijak oleh seorang anak dan juga seorang ibu. Seorang anak lebih melihat kepada ‘kewajiban berbakti’ dan seorang ibu akan lebih melihat kepada ‘kewajiban mendidik’. Insya Allah jika demikian adanya, maka tidak akan pernah terjadi konflik yang mempertentangkan antara orang tua dan anak. Sebaliknya, suasana kehidupan keluarga terasa sangat kondusif buat menumbuh-suburkan potensi kebajikan yang akan menghantarkan mereka semua kepada surga Allah nan abadi kenikmatannya.
Saat ini kita melihat peran seorang ibu yang demikian strategis itu banyak ditinggalkan dan dilupakan oleh sebagian para ibu. Mereka lebih suka mengerjakan tugas lain selain tugas merawat dan mendidik anak. Seharusnya, bagaimana pun kesibukannya pekerjaan merawat dan mendidik anak adalah pekerjaan prioritas di atas pekerjaan yang lain. Tugas merawat dan mendidik anak bukanlah pekerjaan sepele. Dia membutuhkan profesionalitas. Bagaimana tidak? Tugas yang mengantarkan pada pencapaian sumber kebahagian yang semu saja (duniawi) membutuhkan profesionalitas, bagaimana dengan tugas yang menghantarkan pada kekuatan generasi yang menghantarkan pada kekuatan ummat? Padahal di dalam kekuatan ummat itulah potensi-potensi kebajikan yang menghantarkan pada kebahagian abadi (surga) bisa dioptimalkan? Jelas bahwa tugas demikian sangat membutuhkan profesionalitas, bahkan harus.
Fenomena penyimpangan perilaku sang anak yang kemudian ditelusur ternyata akibat pendidikan yang salah dari orang tua, menyadarkan akan kebenaran bahwa ‘surga sang anak itu memang berada di bawah telapak kaki ibunya. ’ Dalam kisah paman saya, keberhasilan studi sang paman (keberhasilan dunia) adalah berkat didikan kerja keras ibunya. Dan akhlakul karimah dari seorang anak yang akan menghantarkanya ke surga akhirat, adalah berkat didikan dari ibunya juga.
Semoga kita bisa mengoptimalkan rasa bakti kita pada orang tua kita pada satu sisi, dan mengoptimalkan daya didik kepada anak-anak kita pada sisi lainnya. Semua harus dijalankan secara terpadu, seimbang dan harmonis, demi lahirnya potensi-potensi kebaikan yang menghantarkan ke surga. Amin.
Waallahua’lam
(rizqon_ak@eramuslim. Com)