Surat Untuk Sahabat di Negeri Yang Jauh

Sahabatku, apa kabar ? Semoga Allah selalu menyertai setiap langkah-langkahmu di sana, sebagaimana aku pun berharap DIA menyertai langkah-langkahku di sini.

Sahabatku, bagaimana kondisi imanmu saat ini ? Masihkah hatimu diterangi cahaya hidayah-NYA yang dulu berusaha kau raih dengan tertatih-tatih ? Ataukah, kegelapan kembali menyelimuti hari-harimu ? Ah, semoga pelita itu masih dan akan tetap menyala dalam hatimu meskipun angin puting beliung melanda imanmu.

Sahabatku, malam ini, aku mengenang kembali penggalan-penggalan waktu yang kita habiskan bersama untuk meniti jalan cinta-NYA. Persahabatan ini dimulai ketika takdir menyatukan kita dalam satu divisi kerja di sebuah perusahaan asing. Intensitas pertemuan mengharuskan kita untuk selalu bersama. Awalnya, kau tidak begitu tertarik pada hal-hal yang ‘berbau’ agama, sedangkan aku dibesarkan dalam nuansa religi. Kemudian, kau tersentuh oleh hidayah-NYA…

Aku ingat, ketika kau mengutarakan kerinduanmu untuk bisa membaca kalam Illahi. Kau merasa sangat sedih, karena di usiamu yang hampir seperempat abad, kau masih belum bisa mengenali huruf-huruf dalam kitab suci kita yang mulia. Latar belakang kehidupan masa kecilmu yang jauh dari nilai-nilai islami, membuatmu tak sempat belajar mengaji dan mengarahkan jalan hidupmu jauh dari rambu-rambu religi. Kewajiban yang lima waktu pun seringkali kau tinggalkan.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar pengakuanmu. Aku berusaha memberimu semangat, bahwa tiada kata terlambat untuk belajar dan memulai suatu kebaikan. We are never too old to learn ! Lalu, kita ber-azzam untuk mulai mengeja kalam-NYA. Kita sisihkan waktu setiap pagi sebelum memulai aktifitas kerja untuk belajar membaca kitab suci. Huruf demi huruf kau ucapkan terbata-bata dan kau resapi dengan penuh kesungguhan. Kadang, ada saat-saat aku merasa semangatmu melemah. Ku diamkan kau sejenak untuk kemudian ku tarik engkau kembali.

Aku pun mengalaminya. Kadang aku melemah untuk kemudian menguat kembali. “Kita kan manusia, bukan malaikat.” begitu ucapku. Tiada ku temukan rasa malu atau rendah diri padamu, meski bacaanmu diiringi canda bernada ejekan dari orang sekitar. Lembar demi lembar kau tuntaskan buku IQRO sampai khatam. Ku lihat binar kebahagiaan di matamu kala itu, dan sempat ku lihat genangan air mata yang berusaha keras kau tahan. Lalu kau bersemangat untuk terus melanjutkan ke juz amma dan sampailah saat kau membuka lembaran Al-Qur’anul Karim dengan percaya diri. Kau bilang, Insya Allah, Ramadhan tahun ini engkau sudah bisa tilawah sendiri. Amin. Semoga Allah mengabulkan keinginan baikmu.

Ah, sahabatku, maafkan aku, karena aku bukanlah pengajar yang baik. Aku hanya tahu permukaannya saja, belum sampai ke inti. Bacaan tilawahku juga masih jauh dari benar dan seringkali aku salah. Karenanya aku masih harus terus belajar memperbaikinya. Posisi kita sama-sama belajar. Semoga engkau tidak keberatan dengan kondisiku kala itu.

Tahukah kau sahabat, betapa bahagianya aku saat kau bilang bahwa kewajiban lima waktu mu sudah tidak bolong-bolong lagi, bahkan kau mulai menambahkan sholat-sholat sunnah. Senyum syukurku mengembang saat kau kirim sebuah pesan singkat kepadaku yang mengatakan bahwa kau mulai mengunjungi rumah-NYA untuk ikut shalat berjamaah. Dan aku bersemangat untuk ikut serta saat kau berniat mengerjakan shaum-shaum sunnah. “Fastabiqul Khairat !” Kita berlomba-lomba dalam kebaikan.

Semoga Allah menjaga hatiku agar tidak merasa ujub, karena merasa menjadi penyebab semua perubahan baikmu. Syetan berupaya hebat menyisipkan virus-virus penyakit qolbu itu. Hanya Allah, DIA-lah yang memberikan cahaya-NYA kepada siapa yang DIA kehendaki. Semoga Allah juga menjaga hatimu, meluruskan niatmu dalam mengerjakan semua amal shalih, hanya karena-NYA semata. Kita saling menceritakan amal-amal yang dikerjakan, hanya bertujuan untuk saling menguatkan, saling memberi semangat, saling belomba, tanpa ada sedikit pun niat pamer dan riya. Semoga Allah menerima amal-amal kita yang sangat sederhana, dan mengampuni jikalau tercampur niat yang kurang lurus.

Sahabatku, ingatkah kau ketika kita mengunjungi sebuah pameran buku islam ? Kita berniat untuk mendengarkan sebuah acara talkshow, tapi kita malah membuat “talkshow” sendiri. Saat itu, kau menceritakan sisi-sisi lain dirimu yang belum aku ketahui. Ternyata, kau sangat dewasa dalam usiamu yang masih belia. Ada sebuah beban berat tersampir di pundakmu. Tanggung jawab terhadap keluarga, karena saat ini kau lah yang menjadi tumpuan orang tua dan semua saudara-saudarimu, meskipun kau bukan anak tertua. Dalam banyak hal, kau selalu mengalah demi kepentingan keluargamu. Mendengar ceritamu sahabat, beban sama yang juga ku sandang terasa menjadi lebih ringan.

Sahabatku, masih ingatkah kau pada novel Ayat-ayat cinta ? Kau begitu kagum pada sosok Fahri Abdullah, sampai kau menoton film nya 3 kali ! Dan aku mencibirmu saat kau bilang bahwa kau menangis setiap kali menonton filmnya. Duh sahabat, tampaknya kau mudah sekali bercucuran air mata. Mungkin itu cermin dari kelembutan hatimu. Dari novel itu, kau bilang bahwa kau mendapat banyak perlajaran tentang adab perilaku seorang muslim. Aku tak berharap kau langsung ‘jadi’ seperti tokoh-tokoh hanif yang digambarkan di buku itu. Setidaknya dari yang ku lihat, buku itu memberi pengaruh positif pada perubahan dirimu. Berminggu-minggu kemudian, Ayat-ayat Cinta menjadi topik utama percakapan kita. Aku menyukainya, sebab dari sana aku bisa menyisipkan sepatah dua patah kata bijak yang ku dapat dari berbagai sumber.

Ah, sahabat, hanya sebatas itu yang aku bisa. Menyampaikan kata-kata indah penuh makna yang belum bisa aku praktekkan sendiri. Kadang aku merasa malu padamu, sebab tingkah lakuku berbeda dengan kata-kata yang keluar dari lisanku. Sering aku mengucapkan kata ‘sabar’ dibarengi ketergesa-gesaanku. Ku sampaikan kata “syukur” sambil mengeluh mengenai kondisi yang menimpaku. Ku ingatkan kau untuk “taat” sementara ku lakukan maksiat. Astaghfirullah …

Justru darimu sahabat, aku belajar banyak hal. Kaulah aplikasi nyata dari semua hal yang baru bisa aku ucapkan. Aku adalah teori dan kau adalah praktek. Pernah suatu kali aku bertanya, mengapa kau selalu dikelilingi oleh begitu banyak orang yang peduli padamu. Kau tak pernah merasa kesepian karena selalu ada teman-teman yang dengan senang hati menemanimu. Kau jawab pertanyaanku bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Ternyata, kau sangat peduli pada orang-orang di sekelilingmu, hingga setiap orang merasa ‘special’ bila bersamamu. Aku pun merasakan kepedulianmu pada setiap masalah yang ku bagi padamu. Seringkali, kau membuat aku melihat suatu hal dari sudut yang berbeda, yang tak terpikirkan oleh otakku yang dangkal. Tak jarang, kau menyederhakan suatu hal yang ku anggap begitu rumit lalu membuat kesedihan menjadi senyuman.

Padahal, bilangan usiaku lebih banyak dari mu. Tapi, dalam banyak hal aku bertingkah layaknya anak kecil dan kau orang dewasa. Ku buktikan sendiri bahwa bilangan usia tak menentukan tingkat kedewasaan seseorang. Dan untuk semua pelajaran berharga yang ku dapat darimu, jarang aku menyampaikan rasa terima kasihku. Maafkan aku sahabat,..

Ingatkah kau pada diskusi-diskusi kita tentang buku Laskar Pelangi- nya Andrea Hirata ? Kita begitu kagum pada sang penulis hingga rela izin kerja untuk hadir pada acara jumpa penulis di Senayan. Buku Laskar Pelangi memberi kita banyak pelajaran dan hikmah. Tentang impian-impian yang bisa diraih, tentang makna sebuah jalinan persahabatan yang tulus dan tentang perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Sahabat, terkenangku pada majelis ilmu yang kita hadiri. Awalnya, aku merasa ragu untuk mengajakmu duduk di rumah-NYA , mendengar tausiah sang ustadz. Itu hal yang baru bagimu, kan ? Aku takut engkau kapok dan jera, mengganggap semua ativitas itu membosankan. Akan tetapi, semua buruk sangka ku sirna, ketika dengan antusias kau bercerita tentang hikmah dan ilmu yang kau dapat dari majelis itu. Hatiku bersorak ketika engkau bertanya kapan lagi jadwal acara serupa karena engkau berniat hadir kembali. Hanya satu niat dalam hatiku saat mengajakmu duduk dalam majelis ilmu itu. Aku ingin engkau merasakan ketenangan seperti yang telah aku rasakan, mendapatkan manfaat kajian ilmu yang disampaikan, mendapatkan ‘darah segar’ energi untuk menghadapi kerasnya kehidupan, memperoleh pencerahan untuk hati yang gelap gulita karena persoalan-persoalan dunia, dan meraih keridhoan-NYA.

Semoga setiap langkah kita dicatat sebagai tabungan kebaikan. Semoga, pada saat hari dimana kaki dan tangan berbicara, kaki-kaki ini bisa bersaksi bahwa ia pernah kita gunakan untuk melangkah menuju kepada-NYA.

Wahai sahabatku, bersamamu kurasakan indahnya sebuah hubungan yang berhulu dan bermuara pada-NYA. Bersamamu, kubuktikan bahwa cinta-NYA mengikat hati-hati yang terserak. Maka izinkanlah aku berkata bahwa aku mencintaimu dalam bingkai cinta pada-NYA. Bahwa aku menyayangimu dalam kerangka kasih sayang-NYA. Dan bahwa aku akan merindukanmu dalam kerinduan akan kebersamaan meniti jalan keridhoan-NYA.

Dan tibalah saat perpisahan itu. Jalan takdir memaksa kita untuk mengakhiri episode-episode bersama. Tibalah waktu bagi kita untuk menapaki jalan masing-masing yang telah dibentangkan di hadapan kita. Karena tuntutan pekerjaan, kau harus pindah ke negeri yang jauh, di Afrika Selatan. Sementara aku tetap di ibukota tercinta ini. DIA telah mempersilangkan nasib kita untuk suatu tujuan. Takdirku dan takdirmu bertemu pada suatu titik, dan kemudian terpisah pada titik yang lain. Semuanya terjadi sesuai skenario-NYA

Sahabat, tahukah kau apa yang paling aku takutkan? Aku takut kau meletakkan Kitab suci di pojok mejamu tanpa pernah membukanya lagi. Aku takut kau tinggalkan kewajiban lima waktu karena tenggelam dalam kesibukan duniawi. Aku takut, semangatmu untuk mengikuti majelis-majelis ilmu yang baru menyala menjadi padam seiring lingkungan pergaulan barumu. Aku takut ghiroh yang berpendar itu akan meredup seiring waktu tanpa kau sadari.

Sungguh sahabatku, perpisahan ini membuatku gamang. Aku merasa belum menuntaskan amanah untuk menjadi jalan hidayah bagimu. Begitu banyak yang ingin aku tularkan padamu sebanyak yang ingin aku serap darimu. Bilakah DIA berkenan mempertautkan kembali jalan nasib kita ? Aku berharap DIA mengirimkan kepadamu sahabat-sahabat lain yang jauh lebih baik dariku. Mempertemukan kau dan aku dengan orang-orang yang di rindukan surga, para kekasih Allah.

Tetapi, aku percaya padamu, duhai sahabatku. Aku percaya bahwa DIA akan menuntunmu pada jalan yang lurus. Aku yakin engkau tak akan mudah begitu saja rela melepaskan cahaya hidayah yang telah tersemai di hatimu. Engkau akan berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan, memupuk, dan merawat benih-benih cinta-NYA yang mulai tumbuh. Engkau akan mencari cara untuk terus merasakan manisnya iman yang terhujam kuat di dada.

Teriring doa untukmu, sahabatku, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (Ali Imron : 8)
Jakarta, 040409
(kepadamu ……)