Kali ini wajah saya sedang murung Hati saya diselimuti mendung…
Ya, itu terjadi selepas saya menyaksikan tayangan sepakbola di televisi pada sebuah sore, beberapa hari lampau. Seorang hakim garis, pembantu wasit, mendapatkan bogem mentah dari salah satu penonton karena menganulir gol yang diciptakan oleh salah seorang pemain. Ia pun berlari dan terpuruk, tentu dengan menahan nyeri di kepala. Tayangan kekerasan itu belum usai. Setelahnya, beberapa penonton membakar stadion, merusak fasilitas yang ada. Hasilnya, menurut berita yang tersiar lewat layar kaca, kerugian yang diakibatkan mencapai satu miliyar rupiah. Kenyataan ini membuat miris dan ironis saja.
Inilah wajah sepakbola kita.
Barangkali juga wajah kita semua…
Saya tak akan banyak cakap mengenai sepakbola. Sebab saya memang bukan tipe orang yang fanatik terhadap permainan ini, begitu juga klub-klub yang ada. Dengan begitu, jarang saya mengikuti perkembangan yang muncul. Tapi, saya ingin menyoroti tentang perilaku para penonton, para penyorak, pemberi semangat di lapangan itu. Wajah ribuan orang di negeri ini.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suporter berarti orang yang memberikan sokongan, memberikan dukungan (dalam sebuah pertandingan). Pengertian ini terlihat gagah dan berwibawa. Mereka, para suporter itu, sejatinya mempunya modal untuk menjadi manusia yang terhormat, mempunyai kemanfaatan luar biasa bagi para pemain, orang-orang yang didukungnya dalam sebuah pertandingan. Belum lagi kalau di hubungkan dengan nasionalisme. Kata seorang komentator sekaligus suporter ketika di wawancara televisi. “Mana ada ribuan orang menyanyikan lagu Indonesia secara spontan dan serentak dengan begitu bersemangat selain para suporter bola”.
Tepat. Pendapat itu ada benarnya. Hanya saja, kalau dikotori dengan budaya kekerasan, budaya lempar batu, budaya bakar-bakaran. Jelas, itu bukan sebuah tindakan bermartabat. Justru, merendahkan kehormatan siapapun yang mengaku suporter sejati. Dalam sebuah permainan, sportifitas wajib dijaga hukumnya. Siapapun yang melanggar tata krama pertandingan, peringatan dan sanksi sejatinya bukan saja perlu, tapi didesak untuk terpatuhkan. Kalau kita pikir dengan hati yang lembut, siapapun yang mengaku suporter sebenarnya sedang mempertaruhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Menggunakan cara kekerasan hanyalah tindakan orang-orang kalah dan pecundang. Bukan jiwa besar yang melekat pada diri seorang pahlawan.
Sudah saatnya sekarang kita deklarasikan barisan “Suporter Agung”…
Siapakah dia..? Ia adalah orang-orang biasa, orang kebanyakan yang punya tugas besar pemberi semangat, ia adalah motivator handal. Tepuk tangannya bergemuruh, berkobar membakar semangat. Ucapan dan teriakan yang keluar dari mulutnya adalah energi pembawa gelora juang yang tinggi. Membuat siapapun yang berlaga seolah melaju melebihi kecepatan angin. Pesan dan lakunya adalah laskar indah pembawa jalan kemenangan. Begitulah sifat dan watak yang dibawanya. Tak ada kamus kekerasan dalam dirinya. Karena ketika gejolak kekerasan muncul, ia bukanlah suporter agung. Tapi hanyalah kawanan pengacau kecil yang tak punya makna apa-apa.
~catatan singkat ini didedikasikan untuk para pecinta sepakbola di seluruh tanah air~
*Penulis adalah Ketua FLP Purwokerto.
==