Malam tak pernah seindah itu. Suara-suara orang mengaji bergaung dan bergema di seluruh pelosok Kota Pahlawan. Langit dan bumi merendah bak menyambut malaikat yang bertasbih memuji Ar Rahman.
Sepuluh malam terakhir di bulan suci Ramadhan menjadi saksi kebahagiaan tak terperi dalam hidupku. Aku lahir dan besar di keluarga penganut Katolik yang taat. Kami tinggal di Bekasi. Tiap Minggu, tak pernah alpa kami beribadat ke gereja. Masa kecil sampai remaja terasa begitu membekas dengan kebahagiaan keluarga kami. Nama baptisku adalah Yohanes. Nama tersebut masih menempel di ijazah terakhirku, sebelum akhirnya hidayah itu menyapa pada 2005.
Pada Agustus 1999, aku hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa, dulu IKIP Negeri Surabaya). Singkatnya, kemudian aku tinggal bersama kakek dan nenekku. Hari-hari awal menjadi arek Suroboyo begitu aku nikmati. Jauh dari orang tua adalah awal aku belajar untuk hidup mandiri. Meski selalu mendapat uang saku tiap bulan, aku mulai kasihan dengan ibu yang cuma berjualan kue dan menjadi penjaga kantin sebuah sekolah menengah pertama di Bekasi.
Aku ingin bisa memiliki pendapatan sendiri. Singkatnya, aku kemudian nyambi mengajar privat selepas kuliah. Lumayan, dari hasil memberi les privat tersebut, aku bisa menambah uang saku dan beli bensin. Sempat cuti kuliah pada semester lima karena telat membayar SPP. Aku pernah bekerja sebagai cleaning service di sebuah toko buku. Sebagai mahasiswa, aku mulai menyadari bahwa betapa berbedanya dunia kerja dengan dunia mahasiswa yang penuh dengan idealismenya.
Sungguh, aku menyadari betapa susahnya hidup di kota besar seperti Surabaya. Apalagi, gaji sebagai cleaning service itu tak sampai Rp 500 ribu saat itu! Namun, semua itu memiliki hikmah bagiku. Sukses itu tidak turun langsung dari langit, tapi harus ada usaha! Doa, usaha, dan kerja keras. Itulah fondasi sukses. Karena itu, tekadku bulat: aku harus bisa menjadi sarjana –meski sarjana pun terkadang sulit untuk mencari kerja.
April 2004, kebahagiaan menyelimutiku dan keluarga. Ya, aku resmi mengakhiri pendidikan di Unesa bersama ribuan wisudawan lain di Islamic Center, Surabaya. Tak pernah terbayang di benak ku bahwa anak seorang ibu penjaga kantin dan bapak supir bisa jadi sarjana. Menjadi raja sehari sebelum esoknya bingung harus membuat lamaran kerja ke sana-sini. Meski demikian, rasa haru dan bangga menyelinap di hati ku saat kali pertama memakai toga. Setelah lulus, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jawa Timur.
Aku bersyukur, setelah menganggur beberapa lama, akhirnya aku mendapat pekerjaan sebagai guru SMP di Kabupaten Malang. Meski penghasilan sebagai guru sangat kecil. Aku begitu menikmati profesi tersebut.
Awal 2005, nenekku sakit dan diopname di RS RKZ Surabaya. Saat itu, karena tak ada di antara anak-anaknya yang bisa jaga malam, akhirnya aku memutuskan ke Surabaya dan menjaga beliau. Meski, konsekuensinya aku harus keluar dari pekerjaanku. Dan di situlah awal aku mengalami hal yang kemudian mengubah hidupku.
Tiap pukul empat sore, saat jam besuk, aku sudah ada di RKZ untuk menjaga nenek. Menyuapi saat beliau makan dan mengambilkan pispot saat beliau buang air kecil menjadi pengalaman pertamaku merawat orang sakit. Malam ketiga nenek sakit, aku tak kuat menahan kantuk tertidur dengan posisi duduk di samping paviliun beliau. Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Saat itulah, aku bermimpi yang menurutku aneh. Dalam mimpi tersebut, aku melihat diriku yang seolah-olah melakukan gerakan-gerakan yang kelak aku ketahui adalah shalat. Ketika terbangun, aku tak menghiraukannya. Aku berpikir, mungkin itu hanya bunga tidur saja karena terlalu capai. Namun, aku tak menyangka pada malam keempat mimpi itu datang lagi. Aku bermimpi melihat diriku melakukan ruku yang kelak aku ketahui juga bagian dari shalat.
Begitu cepat. Sehingga, aku terbangun dan ketakutan. ”Ada apa ini, Tuhan?” ucapku dalam hati setengah ketakutan. Entahlah. Saat itu mulai terlintas rasa penasaran saya terhadap Islam. Ketakutanku masih berlanjut. Malam kelima, mimpi itu datang lagi dan kali ini, aku melihat diriku bersujud. Setelah tiga malam berturut-turut bermimpi aneh, aku sadar bermimpi melihat diriku sedang shalat.
Keinginanku mengetahui Islam menjadi besar mulai saat itu. Setelah nenek sembuh, kejadian itu berlalu dan hanya aku simpan dalam hati. Diam-diam, aku mulai mempelajari Islam dari buku-buku yang aku beli. Puncaknya, keluarga kami merayakan Paskah dan aku sempat bermalam di Gereja Katedral Surabaya. Menjelang subuh, aku hendak keluar dan membeli makan. Ketika bersiap menggeber motor, aku mendengar sayup-sayup adzan Subuh. Entah mengapa, aku mendadak mematikan mesin motor dan mendengarkan kumandang adzan tersebut. Mulai Allahu Akbar sampai Laa ilaaha illallah, meski tak tahu artinya saat itu, hatiku bergetar hebat. Indah sekali lantunan suara azan Subuh tersebut.
Kepada seorang kawan, aku mulai mengutarakan niat untuk masuk Islam. Meski, aku tahu bahwa keputusan itu akan sangat berisiko. Karena keluargaku adalah pemeluk Katolik yang sangat taat. Tiga hari setelah peristiwa itu, aku mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al-Akbar Surabaya. Hanya ada aku , dua sahabat ku, dan seorang ustad pembimbing. Allahu Akbar! Aku menjadi muslim. Damai sekali. Dua sahabatku memelukku dan menangis. Suasana begitu mengharukan kala itu.
Saat aku berterus terang kepada orang tua bahwa aku telah menjadi mualaf, ayahku sangat murka. Begitu marahnya hingga aku mendapat tamparan di wajah. Hari-hari awal menjadi muslim begitu berat aku rasakan. Namun, aku yakin bahwa Allah Mahatahu. Aku menghormati dan sangat menyayangi orang tuaku. Ketika itu, yang bisa aku lakukan hanya berdoa bagi ibu dan bapakku. Di Surabaya, suasana diskriminasi dari keluarga sempat aku rasakan. Hal yang wajar karena menjadi muslim aku dicap sebagai pengkhianat.
Meski demikian, semua aku syukuri tanpa henti mendoakan kedua orang tua tercinta. Akhirnya, malam bertabur aroma surga itu datang di bulan suci Ramadhan pada 2006. Malam setelah mengikuti shalat tarawih menjelang Ramadhan berlalu, aku mendapat telepon dari ibu di Bekasi. Secara mengejutkan ibu mengatakan bahwa beliau dan bapak telah masuk Islam setelah bermimpi melihat aku shalat. Allahu Akbar! Maha Indah Engkau, ya Allah.
Tak sanggup aku berucap sepatah kata, malam itu juga aku sujud syukur dan tiada henti menangis. Menangis bahagia. Cinta itu datang berupa hidayah yang tak ternilai dengan apa pun di dunia ini. Teriring salam terindah untuk Rasulullah, kuucapkan syukur Alhamdulillah atas karunia ini.