“Mas, sehari bisa habis berapa bungkus?” tanya saya kepadanya. Yang ditanya tertegun sejenak, tidak langsung menjawab.
“Memangnya kenapa?” Dia malah balik bertanya, sambil cengar-cengir.
“Dari pada duitnya dipake buat ngerokok, mendingan buat asuransi anak, ” jawab saya.
Dia malah ngeloyor pergi, masih sambil cengar-cengir.
“Heeii.. saya serius!” Teriak saya.
Begitulah percakapan yang terjadi beberapa waktu lalu, antara saya dengan sopir perusahaan salah satu client saya. Saya tak tahan untuk tidak bertanya. Tahu sebabnya? Karena setiap kali pak driver itu memasuki ruangan, aroma tubuhnya meruar memenuhi ruang kerja yang full AC. Merusak mood, dan memancing kumatnya asma. Memang ia tak pernah merokok di dalam ruangan, karena ada tulisan yang mengharamkan. Ia selalu merokok di pelataran parkir, membagi asap rokok beracunnya kepada alam bebas, bercampur dengan polutan-polutan lainnya. Namun sebagian aroma rokok itu mengendap di tubuhnya, mengikuti ke mana pun ia pergi, termasuk ketika memasuki ruang kerja.
Melarang orang merokok, atau menganjurkan orang berhenti merokok, agaknya sama sulitnya dengan meminta sopir angkot untuk menaati peraturan lalu lintas. Tapi biarlah, toh menganjurkan perbuatan baik sekaligus mencegah kemungkaran adalah hak istimewa yang diberikan langsung dari ‘langit’ untuk setiap orang beriman. Jadi, meski sebagian orang mungkin menganggap saya melanggar HAM dengan menasihati orang berhenti merokok, saya justru merasa sedang melakukan tugas mulia yang disebut berda’wah.
Kata sebagian orang, menganjurkan perbuatan baik sering kali lebih murah ketimbang melarang perbuatan buruk. Menganjurkan orang untuk sholat lebih mudah ketimbang melarang orang berjudi. Nah, kali ini, yang saya lakukan adalah dua hal sekaligus, melarang orang merokok sekaligus memintanya membuka asuransi pendidikan untuk anaknya.
Saya punya alasan kuat mengapa meminta orang mengalihkan konsumsi rokoknya ke hal-hal positif. Ada data statistik yang melatarinya. Jika orang kaya senang menghambur-hamburkan uang dengan belanja tidak karuan, maka orang-orang berpenghasilan kecil pun sebenarnya memiliki kecenderungan yang sama, tapi dengan cara yang berbeda.
Sebagian besar dari ratusan miliar batang rokok yang diproduksi tahun ini, sebanyak 220-225 miliar batang, diserap oleh kaum miskin. "Rokok dinikmati kalangan menengah ke bawah, " katanya Hakim, anggota Komisi IX DPR.
Dengan kata lain, Hakim melanjutkan, penyumbang terbesar pendapatan industri rokok adalah orang miskin.
Hakim merujuk data Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik. Pada 2001, kelompok berpenghasilan tertinggi membelanjakan 7, 47 persen uangnya untuk membeli rokok. Bandingkan dengan proporsi belanja rokok pada kelompok berpenghasilan terendah, yang mencapai 9, 1 persen.
Masih mengutip data BPS, masyarakat miskin cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok keluarga–termasuk beras, susu, telur, dan daging–demi tetap mempertahankan kebiasaan merokok. Pada 1999, proporsi belanja makanan pokok keluarga miskin, yang 28 persen, turun menjadi 19 persen pada 2003. Pada periode yang sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin justru meningkat, dari 8 menjadi 13 persen.
Walhasil, "Bisa dimengerti bila terjadi penurunan kualitas kesehatan masyarakat, " kata Hakim. Komisi Nasional Penanggulangan Masalah Merokok juga menyatakan biaya kesehatan yang terkait dengan masalah merokok mencapai Rp 14, 5 triliun.
Sementara itu, Indonesian Forum on Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) menghitung simulasi belanja rokok pada keluarga miskin. Menurut survei BPS, "Dua dari tiga ayah di Indonesia adalah perokok, " kata Sri Utari Setyawati dari IFPPD.
Lembaga ini memperkirakan, dengan merujuk pada data, ada 19 juta keluarga miskin. Dari angka itu, 12 juta ayah dari keluarga miskin adalah perokok. "Mereka membelanjakan Rp 23 triliun setiap tahun untuk rokok." Ini pun dengan menggunakan penghitungan moderat, yakni rata-rata 10 batang rokok diisap setiap hari. (lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/03/14/brk, 20070314-95442, id.html).
Seorang reporter stasiun televisi pernah melakukan wawancara pada seorang tukang becak yang sedang duduk santai sambil merokok di atas becaknya. Reporter bertanya dengan pertanyaan yang hampir sama seperti yang ditanyakan pada pemulung. Jawabannya pun hampir sama. Yang berbeda cuma penghasilannya yang sampai 40ribu sehari. Tapi dia menghabiskan sedikitnya 3 bungkus rokok sehari.
Kalau sudah begini, wajar kalau kukatakan, sudah miskin, kok boros?
Ketika Sang reporter bertanya kepada pemulung mengapa merokok, jawabannya, “sudah kebiasaan mbak, gak bisa berhenti“. Jawaban situkang becak lebih mengagetkan, “daripada bengong mbak” katanya.
Ada sejuta alasan untuk berhenti merokok. Dan ada lebih banyak lagi alasan bagi orang-orang berpenghasilan rendah. Dominasi masalah akibat kebiasan merokok pada kaum miskin telah mengakibatkan kemiskinan structural yang selama ini menggejala, perlahan bermetamorfosis menjadi kemiskinan sirkuler, artinya kaum miskin yang dilanda musibah akibat merokok akan semakin bertambah miskin jika diperhadapkan dengan realitas seperti di atas.
Selanjutnya, beragam masalah sosial lain memperoleh “legalisasi” untuk muncul sebagai bentuk “kompensasi” ekonomi keluarga pasien yang sakit kronik. Lebih ironis lagi jika kita coba mengingat bahwa tingkat pendidikan dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar mereka yang sangat rendah. Pada akhirnya, semua akan berakhir tragis: pasien akan meninggal akibat tidak mendapat perawatan kesehatan adekuat karena minim biaya, dan keluarga pasien akan kembali terjebak dalam kemiskinan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya akibat kehilangan tenaga pencari nafkah dan kehabisan harta akibat biaya perawatan kesehatan si sakit sebelum meninggal.
(lihat http://astaqauliyah.orangbiasa.com/2008/04/27/rokok-dan-kemiskinan-di-indonesia/).
Lalu, apa solusinya? Saran saya walau bukan solusi yang mustajab, sebagai orang biasa, yang bukan pejabat atau anggota dewan atau orang penting lainnya, , mari kita senantiasa anjurkan berhenti merokok kepada orang-orang yang bisa kita nasihati.
Wallahu a’lam
Sabruljamil.multiply.com