Suatu Pagi di Pasar Grosir

Suasana seperti itu biasa mewarnai pasar itu tiap pagi. Pasar grosiran. Baik grosiran bahan baku pakaian jadi maupun yang sudah jadi (siap pakai). Entah itu t-shirt, celana, training, pakain bayi sampai daster. Dan suasana hiruk pikuk dan hilir mudik pun sudah mulai hidup. Begitu pun para pencari sesuap nasi mulai nampak siap-siap untuk “bergerilya. ” Tak ketinggalan pula “penghuni” pasar itu. Para kuli panggul yang memakai pakaian “seragam” kuning-kuning ikut bergerilya pula.

Mereka sudah siap siaga satu untuk menguras keringatnya untuk memikul beban yang memberatkan di pundaknya kadang pula di punggungnya. Yakni, memikul berupa berkarung-karung yang berisikan bahan baku pakaian jadi atau bahan yang sudah layak dipakai. Bahkan di dalam karung-karung itu bisa-bisa berisi berkilo-kilo beratnya. Dan di antara meraka pula ada yang saling mencari "perhatian" dan juga mencari kesempatan. Alih-alih siapa tahu para pemborong, pembeli atau cukong ada yang sudi memakai tenaga mereka untuk memikul hasil mereka membeli di pasar grosir itu.

Demikianlah suasana pagi di pasar grosir itu yang membuat saya harus sedikit “membuka” mata. Ikut merasakan keprihatian dan menaruh iba kepada para kuli panggul di pasar grosir itu. Kebetulan pagi itu saya ada di pasar grosir itu. Itu pun karena dipaksa oleh saudara laki-laki untuk bangun pagi-pagi untuk membantu dirinya mencari pakaian grosiran yang akan diberikan nanti kepada saudara-saudara saya yang lainnya. Ya, saudara laki-laki saya itu pagi itu ingin membeli pakain grosiran di pasar itu. Sebenarnya saya ingin menolaknya tapi saya tak enak hati dengan saudara laki-laki saya itu. Masa sih hanya membantu untuk menemani saja kok sulit minta ampun dan menolak? Itu yang saya takutkan jika suatu saat nanti saudara laki-laki saya itu berkata demikian kepada saya. Dan di mana muka saya ini saya letakan? Akhirnya saya pun terpaksa mengikuti pintanya. Pergi bersama-sama dengann ya ke pasar grosir itu.

Oya, mengenai letakpasar grosir itu tidak jauh dari rumah saya. Hanya tinggal naik angkot sekali saja saya bisa menuju pasar itu tanpa harus naik urat dulu. MACET. Maklum namanya Jakarta! Bukan Jakarta kalau bukan macet seperti itu. Jika telat sedikit atau terlambat bangun pagu (kesiangan). Gejala-gejala macet pun mulai nampak. Dan siap-siap saja tes uji kesabaran!

Lama, saudara laki-laki saya itu mencari pakaian grosiran yang sepadan dengan isi kantongnya. Namun belum ada yang sreg di hati saudara laki-laki saya itu. Beda dengan saya? Saya malah asyik dengan “dunia” saya. Saya asyik masyuk melihat-lihat sekeliling keadaan pasar itu. “Siapa tahu saya dapat inpirasi untuk bahan saya menulis artikel, ” gumam saya tak karuan. Ternyata benar saya dapat inspirasi untuk menulisnya.(Dan inilah tulisan yang saya tulis itu). Maklum saya ini “gatal” kalau melihat keadaan jika di sekeliling saya apalagi membuat saya prihatin dan terenyuh saya paling bisa mencari inspirasi buat tulisan.

Saking asyiknya dengan dunia saya tiba-tiba ekor mata saya menangkap “pemandangan” yang cukup membuat saya menjadi penasaran. Ya, saya melihat sosok kuli panggul di pasar itu. Sosok kuli panggul yang sangat belia. Kalau saya mengira-ngirakan usianya lebih muda dari saya. Hingga akhirnya dalam benak saya ikut terusik. “Apakah saya bisa setangguh dan sekuat dirinya itu, ” kata saya dalam hati saja sambil ekor mata saya tak lepas dari sosoknya yang sedang menunggu “pasiennya” itu. Entahlah. Tapi saya sangat bangga dan mengangkat 4 jempol untuk ketangguhannya itu. 2 jempol tangan saya dan ditambah 2 jempol kaki saya. Klop bukan?

Kuli panggul itulah pekerjaan sosok anak belia itu yang saya tangkap dan saya simpulkan. Pekerjaan bagi sebagian orang yang melihatnya sebelah mata. Hina dan tak berkelas. Tapi bagi saya saya tidak! Walaupun pekerjaannya seperti itu bagi saya pekerjaan itu sangat mulia. Daripada mengemis dan menminta-minta lebih baik bekerja seperti itu. Menjadi kuli panggul di pasar grosiran itu. Bukankah begitu?

Ya, walau pekerjaan itu hina dan dipandang sebelah mata belum tentu di mata Yang Maha Kuasa demikian. Boleh jadi pekerjaan itu lebih baik! Dan bukan itu saja pekerjaan ini juga tak segampang membalikan tangan. Hanya bermodalkan “tenaga kuda” sudah cukup memanggul dan menjadi kuli panggul. Itu salah! Melainkan juga harus menjaga fisik yang sehat dan kuat serta membangun “realationship” kepada seseorang yang ingin sudi menggunakan jasanya.

Begitulah yang saya rasakan suasana di pasar grosiran di pagi itu. Hingga akhirnya saya benar-benar harus BUMBATA. Buka Mata Buka Telinga terhadap sekeliling saya. Bahwa ada di sekeliling saya yang lebih memprihatinkan hidupnya dibanding saya ini. Seperti sosok belia yang saya temukan di pasar gorsir itu. Sebagai kuli panggul yang tangguh dan kuat. Ssemoga saja sosok sepertinya itu bisa mampu menaklukan hidupnya dan bisa survive menjalani hari-harinya sebagai kuli panggul. Bukan itu saja apalagi ia bukan orang pribumi. Ia hanyalah seorang perantauan yang entah dari mana asalnya ia berada saya juga tidak tahu? Entahlah.

“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

November, 20, 11, 2007 website:http://sebuahrisalah. Multiply. Com