Suara dibalik Suara

Sebuah kabar menarik pun beredar di tengah masyarakat di sebuah kerajaan yang begitu makmur. Tidak lama lagi, sang raja akan menyerahkan mahkota kerajaannya kepada putera sulungnya. Cuma masalahnya, sang raja masih ragu, apakah si sulung memang sudah siap menerima tahta itu.

”Anakku, tak lama lagi kamu akan menggantikan ayah sebagai raja di negeri yang luas dan makmur ini. Untuk itu, ayah minta agar kamu mendatangi seseorang yang ayah kenal. Ia begitu bijak, dan ayah yakin bisa memberimu bekal,” ujar sang raja seraya menatap tajam sang pangeran.

Pangeran pun berangkat menuju kediaman orang bijak yang disampaikan sang raja. Lokasinya lumayan jauh. Di suatu tempat di tepian hutan.

Setibanya di sana, sang pangeran pun tidak banyak mendengar basa-basi dari mulut orang yang disebut bijak oleh ayahnya. Hanya beberapa untaian kata yang ia dengar. ”Cucuku, pergilah ke hutan dekat sini. Tinggallah di sana sampai kamu bisa menceritakan kepadaku apa yang bisa kamu dengar dari sana,” ucap sang kakek yang disebut guru oleh pangeran.

Sudah beberapa kali pangeran mondar-mandir dari hutan ke rumah orang bijak, tapi ia tidak bisa menceritakan sesuatu yang menarik tentang yang ia dengar di sana. Karena ia cuma mendengar suara hewan, hembusan angin, gemericik hujan, dan hal-hal lain yang biasa di hutan. “Aku tidak mendengar apa pun yang berarti, Guru!” ujar sang pangeran pasrah.

“Cobalah sekali lagi! Dengarkanlah dengan hatimu, bukan sekedar telingamu!” balas sang guru begitu tegas.

Sang pangeran pun kembali ke hutan. Kali ini, ia begitu tertarik dengan apa yang diucapkan sang guru, ’dengarkanlah dengan hatimu’. Suatu hal yang belum ia lakukan di kesempatan sebelumnya.

Di tengah hutan itu, pangeran mulai duduk tenang. Ia tatap semua gerakan penghuni hutan di sekelilingnya. Ia mulai menggunakan telinga hatinya, bukan lagi sekadar telinga fisiknya.

”Ah, ternyata guru memang benar. Aku mendengar begitu banyak suara dan aspirasi. Pepohonan yang ingin tetap hijau lestari, burung-burung dan serangga yang ingin hidup seperti aslinya, gemericik air sungai yang ingin mempertahankan keseimbangan alam. Ah, masih banyak lagi,” suara batin pangeran merinci.
**

Seorang yang sedang dan akan menjadi pemimpin, di tingkat apa pun kepemimpinan orang itu, tidak cukup menangkap aspirasi yang dipimpinnya hanya dengan indera fisiknya. Tidak cukup juga hanya dengan alur resmi yang mengalir rutin dari keran-keran birokratis di sekelilingnya.

Dekatilah, dan simaklah suara dan aspirasi mereka dengan pendengaran hati. Saat itulah, seorang pemimpin akan mampu menangkap bisikan-bisikan lemah mereka. Bisikan lemah yang mungkin menurut sang pemimpin hal kecil, tapi menurut mereka dan Sang Pencipta Yang Maha Mendengar merupakan hal besar. (mn)