Ibu tiga anak ini memang patut bersyukur. Jarang muslimah yang bisa hidup sebahagia Bu Wiwin. Punya rumah bagus, kendaraan lebih dari satu, serta suami yang saleh dan ganteng. Kemana pun Bu Wiwin pergi, selalu bertabur hormat dan pujian. Tidak heran jika Bu Wiwin selalu senyum tiap kali ketemu orang. Sapaan dibalas senyuman. Dan senyuman dibalas dengan senyum yang lebih manis lagi. Indahnya!
Begitukah sebenarnya perasaan Bu Wiwin? Ini memang menarik. Tak seorang pun bisa menduga kalau Bu Wiwin sebenarnya gelisah. Ia tidak menihilkan nikmat Allah yang begitu banyak. Tapi, ada perasaan gundah ketika melihat kecukupan itu.
Entah kenapa Bu Wiwin punya perasaan lain kalau ada temannya bertanya soal suaminya. Dalam hal apa pun: pekerjaan, kesukaan, dan lain-lain. Terlebih ketika yang bertanya belum dan atau tidak lagi bersuami. Wah, bisa tidak tidur tiga malam.
“Memangnya Bu Wiwin kenapa?” tanya seorang teman ketika kegelisahan tak lagi bisa disembunyikan. Tak satu pun kata terucap dari Bu Wiwin kecuali untaian senyum.
Sepertinya, Bu Wiwin tidak ingin seorang pun tahu apa masalahnya. Soalnya, ia sendiri bingung mau bilang apa kalau was-wasnya terungkap. Apa yang kurang dari suami Bu Wiwin. Tampang oke, kocek tebal, akhlak jempolan. Semua syarat nyaris terpenuhi. Cuma satu yang masih tersangkut kalau dugaan Bu Wiwin tentang suaminya itu benar: ketidaksetujuannya. Dan itu justru menjatuhkan dirinya sendiri.
Duh, Bu Wiwin benar-benar bingung. Gelisah. Terlebih akhir-akhir ini. Ia menangkap ketidakwajaran suami tercintanya. Entah kenapa, Bu Wiwin merasakan kalau suaminya terlihat sering grogi. Kalau sendirian, suaminya seperti membayangkan sesuatu. Dan, kemudian senyum sendiri. Gila?
“Astaghfirullah!” ucap Bu Wiwin dalam hati. Tidak mungkin suaminya sakit jiwa. Justru, suaminyalah yang dikenal masyarakat sebagai dokter jiwa. Orang-orang yang gelisah akan menemukan mata air ketenangan saat mendengar nasihat suami Bu Wiwin. Lembut, tapi berbobot.
Bu Wiwin khawatir, bayang-bayang yang dianggapnya hitam selama ini terwujud. Ia bukan tidak setuju. Tapi benar-benar tidak kuat kalau suaminya nikah lagi. Berat!
Ia sudah mengantongi alasan kenapa muslimah lebih cepat bersedia menjadi isteri kedua daripada isteri pertama. Alasannya sederhana, tapi agak filosofis. Kalau isteri kedua, dari tidak ada menjadi ada. Tapi buat yang pertama, dari ada menjadi berkurang. Beda kan!