Di usia menapaki lebih dari seperempat abad, teman-teman saya sudah ada yang lulus S-2, menjalani karier yang prospektif dan mantap, serta berkeluarga dengan mapan. Sementara saya? Masih belum seperti mereka.
Sebagian dari anda mungkin memiliki perasaan seperti itu. Membandingkan diri dengan keadaan rekan-rekan seangkatan dan mencoba menganalisa diri ada di posisi mana. Tidak jarang, kita merasa posisi kita masih belum sejajar dengan mereka. Kita merasa, mereka sudah menjalani kehidupan dengan lebih mantap, lebih mapan, atau lebih sukses. Kalau sudah begitu, lantas diri sering merasa minder, kurang percaya diri, apalagi jika berhadapan dengan orang-orang yang kita anggap lebih itu.
Seorang psikolog terkenal pernah menulis, jangan pernah membandingkan apa yang ada dalam diri orang lain dengan apa yang kita miliki. Karena biasanya, ini berakhir dengan perasaan buruk. Kalau kita merasa diri lebih baik, akan ada rasa sombong hinggap dalam diri. Sementara bila sebaliknya, kita lalu akan merasa gagal dan rendah diri.
Benar. Saya merasakan lebih sering berada di posisi yang kedua. Membandingkan dengan teman seangkatan (atau lebih muda) dan melihat mereka sudah memiliki pekerjaan tetap yang mantap, maka terkadang hadir perasaan inferior, minder karena saya belum sampai di taraf itu. Alih-alih membuat saya termotivasi untuk lebih baik, saya lebih sering merasa gagal dan itu menyurutkan langkah untuk mengembangkan kemampuan lebih lanjut.
Ada kalanya saat membandingkan keadaan diri dengan orang lain, saya menilai keadaan saya “lebih baik”. Akibatnya, saya merasa sudah cukup melakukan usaha. Bahkan mungkin berhenti memberikan upaya optimal karena merasa sudah ‘lebih baik’ dari orang lain.
Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Psikolog tadi mengatakan, ukur keberhasilan kita dengan upaya yang sudah dijalankan disertai kemampuan yang nyata ada pada kita. Maksudnya, ketimbang berpayah-payah membandingkan keadaan diri dengan orang lain, bandingkan saja keadaan diri kita saat ini dengan keadaan diri kita di masa lalu. Lihat dengan jujur ke dalam diri, apakah kita sudah berupaya sebaik-baiknya meraih kesuksesan versi kita sendiri? Apa sebenarnya arti kesuksesan bagi kita? Jika kita sudah menemukan jawabannya, maka posisikan diri kita saat ini berdasarkan standar kesuksesan yang kita miliki sendiri. Untuk itu, kita perlu menetapkan sebuah target yang bisa kita jadikan sebagai ukuran.
Ambil contoh seorang sprinter. Ia menetapkan target untuk bisa mencapai catatan waktu 12 detik. Jika suatu kali, saat perlombaan ia mampu menjadi juara pertama, tapi catatan waktunya lebih dari 12 detik, maka ia belum bisa memenuhi standar kesukesannya sendiri. Sebaliknya, jika ia menjadi juara 2 tapi mencatatkan waktu kurang dari 12 detik, maka ia sudah mampu memenuhi standar kesuksesannya.
Setiap orang sepertinya memiliki target yang ingin dicapainya masing-masing. Karena itu, tentu saja standar kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Adalah tidak adil bagi diri sendiri, jika kita membandingkan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain yang memiliki standar berbeda. Jadi, tetapkan target yang ingin anda capai di masa depan. Berikan upaya optimal untuk mencapainya. Kemudian ukur dengan jujur keberhasilan kita sesuai upaya dan kemampuan yang kita miliki.
Jangan lupa, Rasulullah bersabda, barangsiapa yang hari ini lebih baik dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang sukses. Barangsiapa yang hari ini sama seperti yang terdahulu, maka dia termasuk orang yang tertipu. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan yang terdahulu, maka dia termasuk orang-orang yang merugi di hadapan Allah SWT. Mudah-mudahan, kita termasuk dalam golongan orang-orang yang memilii keadaan hari ini lebih baik daripada hari kemarin.
Wallahu’alam bishshowab.
-satu episode dalam today is a gift-
Nur Afiati