Sosok Seorang Ibu

Pada tanggal dua Maret yang baru lalu, saya menghadiri acara hari ibu yang diselenggarakan oleh sekolah anak saya. Hari ibu berdasarkan kalender sekolah British. Anak saya yang kecil memang akan tampil menyanyi bersama teman-teman satu kelasnya. Pagi hari itu sambil mengantarkan anak-anak saya ke sekolah, saya tidak pulang ke rumah, tetapi langsung menuju ke aula tempat acara hari ibu itu diselenggarakan. Acaranya memang diadakan pada pagi hari. Lamanya sekitar empat puluh menit saja.

Bersama dengan ibu-ibu lain, saya duduk di barisan depan dengan lokasi strategis agar dapat mengambil gambar anak saya dari sudut yang mudah dan jelas. Jam pagi itu sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit.

Tak lama kemudian, tampak anak-anak keluar dari kelas masing-masing menuju ke aula pertunjukan dengan tertib. Terlihat anak saya yang masih usia taman kanak-kanak itu sudah muncul mengenakan kaos merah polos dan celana panjang putih berjalan dengan mantapnya menuju matras tempat duduk yang telah disediakan untuk kelasnya.

Beberapa menit berlalu, acara pun dimulai. Kelasnya tampil kira-kira pada menit ke sepuluh dengan membawakan puisi tentang ibu, kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu anak-anak yang dibawakan dengan gembira.

Ha ha haaa…. hi hi hiii…. no one has a mom like me Ha ha haaa…. hi hi hiii…. she’s my mom.

No one has her fingers No one has her toes No one has her kind of hair and no one has her nose…..

Sebuah lirik lagu yang membuat anak-anak bangga akan sosok ibunya masing-masing.

Saya pun jadi teringat akan sebuah cerita masa kecil. Cerita akan seorang ibu yang memiliki empat orang anak laki-laki usia sekolah. Di mana sang ayah harus melanjutkan program doktornya di luar negeri. Tidak ada pilihan lain selain harus membawa seluruh anggota keluarga pindah ke tempat yang nun jauh di sana karena gelar yang baru bisa dicapai paling tidak lima tahun lamanya. Bagi sebagian orang, kepindahan suatu keluarga ke luar negeri mungkin dianggap sebagai sesuatu yang wah. Tetapi bila tujuannya untuk menuntut ilmu dan harus mengetatkan ikat pinggang karena dana yang terbatas, tentu membuat cerita jadi lain.

Uang beasiswa yang seharusnya hanya untuk biaya hidup satu-dua orang, harus cukup untuk menghidupi enam orang. Enam orang termasuk empat anak yang harus terpenuhi gizinya karena masih dalam masa pertumbuhan. Sementara sang ayah harus berjuang keras berkutat dengan buku-buku perkuliahan yang tentu sangat menyita waktu untuk sekedar bercanda dengan keempat anaknya. Nilai yang jelek jangan sampai menghias transkrip nilai akhir kuliah, kalau tidak mau dihentikan bantuan beasiswanya atau dipulangkan ke tanah air.

Sang ibu pun harus membantu menambah penghasilan keluarga dengan menerima penitipan anak di rumahnya. Rumah yang tidak seberapa luas itu harus disulap menjadi semacam day care center. Tidak peduli rumah menjadi seperti kapal pecah karena penuhnya mainan berserakan, dan bisingnya teriakan anak-anak yang berlari ke sana kemari. Antara pekerjaan dan tugas rumah tangga sehari-hari pun tetap harus berjalan seiring.

Keluhan anak-anaknya yang sedikit terganggu karena ulah anak titipan itu, harus ditelan dengan hati tegar. Hal ini karena keyakinannya bahwa dengan pekerjaan yang dijalani inilah beliau sanggup membantu roda perekonomian keluarga.

Saat sang ibu sakit gigi dan harus beristirahat di kamar pun menjadi terusik karena ulah anak-anak yang "kreatif" bermain drum dengan memukul-mukul kaleng bekas biskuit menggunakan sendok kayu dari dapur. Membuat irama yang tidak bisa diterjemahkan dengan not-not balok. Namun semuanya tidak mengurangi keikhlasannya dalam membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang.

Kalau ada barang salah satu anaknya yang hilang padahal sangat diperlukan, pasti sang ibu akan berusaha mencarinya ke seluruh sudut rumah. Apalagi kalau barang yang hilang itu untuk keperluan sekolah. Tetapi coba kalau yang hilang itu barang milik ibu, paling anak-anak hanya balik bertanya “Lah ibu terakhir taruhnya di mana?” atau membantu menyebut beberapa tempat “ di dalam lemari kamar barangkali” atau “di meja dapur kali”, tanpa beranjak dari tempat duduknya. Atau yang lebih sopan sedikit, ikut berusaha mencari meskipun hanya sekedarnya saja, tidak mencari dengan sungguh-sungguh.

Sampai suatu saat, ada berita bahwa ayah kandungnya meninggal dunia di tanah air. Biaya tiket pulang yang sangat besar tentu menjadi salah satu penghalang untuk dapat hadir di tengah-tengah keluarga menghantarkan ayah kandungnya ke peristirahatan terakhir. Hanya doa yang dipanjatkan sang ibu kepada ayah kandungnyalah yang masih dapat diberikannya. Dan tentu itulah yang lebih penting di sisi Allah SWT daripada sekedar kehadirannya di pemakaman tetapi harus meninggalkan kewajibannya sebagai isteri dan seorang ibu.

Beberapa tahun berlalu sudah. Perjuangannya tidaklah sia-sia. Sang ayah dapat meraih gelar doktor, anak-anaknya pun kini telah menjadi lelaki-lelaki dewasa yang mandiri. Allah SWT telah menghadiahkan kepada sang ibu enam orang cucu yang lucu-lucu dan lincah. Namanya pun sekarang sudah berubah sebutan menjadi eyang (sebutan kata untuk nenek bagi orang Jawa).

Eyang yang selalu tersenyum bahagia menikmati hari tuanya dengan dikelilingi keluarga besar yang sangat menyayanginya. Terimakasih eyang….

***

Untuk ibu mertuaku yang berulang tahun tanggal 23 Maret. Selamat ulang tahun Ma…..

Rabi Al-Awal 1429H