Sore setelah hujan lebat mengguyur Jakarta. Genangan air dan kemacetan sudah menjadi menu setelah hujan. Aku duduk sendiri di dalam mikrolet M 01 ke arah pasar senen. Pak sopir masih sabar menunggu penumpang lain. Kasihan, dalam hatiku. Di depan UI ini hanya ada satu penumpang, yaitu aku. Kalo mau jujur, rasanya mau turun saja dan ganti bis lain yang lebih cepat supaya segera sampai rumah. Terlepas dari kemacetan Sudirman dan Imam Bonjol, kesabaranku kembali di uji oleh mikrolet yang sedang ‘ngetem’.
Sepuluh menit berlalu, namun belum ada penumpang lain yang naik mikrolet ini. Aku beristighfar berulang kali dalam hati, mencoba untuk tidak kesal pada pak sopir. Kucoba menumbuhkan rasa iba pada pak sopir lebih besar. Mungkin, pria setengah baya itu belum dapat uang untuk menutupi setoran apalagi untuk di bawa pulang kepada anak isteri, dan hari telah senja. Azan magrib pasti akan berkumandang tak lama lagi. Itulah yang coba aku pikirkan. Astaghfirullahal ‘adziim…..
Akhirnya, setelah kurang lebih 15 menit, mikrolet mulai jalan. Kuperhatikan dari belakang, pak sopir menghela napas berat. Mikrolet berjalan pelan sekali, seakan pak sopir berharap ada serombongan orang berlari-lari dari belakang minta di tunggu naik. Salemba – pasar Senen bisa di tempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit, tapi dengan mikrolet ‘keong’ ini, mungkin jam setengah tujuh baru tiba. Astagfirullah …..
Sampai di depan masjid ARH UI, seorang lekaki menghentikan mikrolet. Di samping nya berdiri seorang perempuan berjilbab, membawa tongkat kayu, dan tas. “Pak, turunkan ibu ini di terminal Senen, ya…” kata laki laki yang ternyata ojek motor. Segera aku sadar, ibu itu tuna netra. Pakaiannya kumal. Tas yang dibawanya adalah tas plastik hitam. Ku pegang tangannya ketika ibu itu naik. Mikrolet melaju kembali.
Di tempat duduk penumpang, si ibu merogoh-rogoh tasnya dan mengeluarkan kantong plastik yang berisi uang. Dia meraba sehelai uang. “ Ini lima ribu-an bukan?” tanyanya, yang aku tahu pasti di tujukan padaku. “Bukan bu, itu seribuan” jawabku. Di ambilnya sehelai lagi..” Ini jadi dua ribu, ya neng? “ Tanya nya lagi. “ iya bu.” Jawabku. “Ini sudah sampai mana? Masih jauhkah terminal senen?” tanya nya. “Masih bu, ini baru di Sentiong.” Jawabku. Lalu ibu itu mengetuk ngetuk atap mikrolet, minta sopir berhenti. “ Saya turun di sini saja.” Pintanya.
Pak sopir menghentikan mikroletnya sedekat mungkin dengan trotoar. Si ibu memberikan uang dua ribu kepada pak sopir. Tapi pak sopir menolak. “Simpan saja, bu” kata pak sopir. Tapi si ibu rupanya tak mau gratisan, dia tinggalkan uang itu di bangku sebelah sopir. “Mba…tolong kasih uang ini ke ibu itu.” Pak sopir memintaku turun dan menyerahkan uang itu. Kuselipkan dalam lipatan tangan ibu itu dan cepat cepat naik ke mikrolet sementara pak sopir langsung ijak pedal gas.
Kini aku sendiri lagi, terminal tak jauh lagi. Sampai depan Universitas YAI, mikrolet berhenti kembali. Serombongan orang naik ke mikrolet dan tak tanggung tanggung, mikrolet langsung penuh. Bahkan dua kursi di samping supir pun terisi. Tak sampai tiga menit, akhirnya aku turun di depan terminal Senen mengantri dengan penumpang lain untuk bayar.
Kulanjutkan perjalanan dengan mikrolet jurusan lain menuju ke rumah. Dalam perjalanan, aku merenung. Pak sopir tadi bersedekah kepada ibu Tuna netra, walaupun ia tidak dalam keadaan lapang. Dan Allah, langsung menggantinya dengan penumpang penumpang lain yang sampai memenuhi mikrolet. Padahal jarak YAI dan Senen sangat dekat. Karna hampir setiap hari aku lewat daerah ini, aku tahu biasa nya tak ada lagi penumpang, apalagi jumlah mikrolet nya banyak sekali hingga kadang berjalan beringan. Tapi hari itu bukan hari biasa bagiku. Allah memberi perlajaran bagi orang yang mau membuka hati dan pikirannya. Allah membalas sedekah pak sopir kepada ibu tuna netra tadi TUNAI, saat itu juga. Dan Allah membuatku menyaksikannya agar semakin tunduk hati ini, semakin yakin akan janji dan jaminan NYA. Subhanallah ………
Jakarta, February Rain 2008 Its_just_dwi