“Allah tidak akan menguji seseorang diluar batas kemampuannya. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi umatNya. Kitalah yang harus bisa ambil hikmahnya, agar tak sia-sia waktu yang kita habiskan tiap harinya. Cinta ayah pada mama dan anak-anak akan menguatkan ayah! Sun.”
Barisan kalimat sms itu membuat hatiku bergelenyar, rasa rindu kian menusuk-nusuk menuntun tetesan air mata jatuh dipipi. Tak peduli aku ini lelaki, tak peduli seharusnya aku lebih kuat, kenyataannya aku merasa begitu lemah, rasanya tak sanggup berpisah jauh dan lama dari anak-isteri.
Tiap hari hanya menghitung waktu, 3 bulan sudah aku di sini, Soroako, kota kecil dikelilingi danau. Sendiri. Anak dan isteriku tinggal di Bandung. Isteriku bekerja dan masih ikatan dinas sehingga ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya untuk ikut bergabung denganku di sini. Mutasi kali ini terasa berat sekali, entahlah, mungkin karena memang sejak awal aku berharap hanya mutasi di pulau Jawa saja brangkali.
Kusadari bahwa sms-ku pada isteriku tiap hari hanya berisikan keluhan atas ketidaknyamananku, kesepianku dan kejenuhan yang terasa membebaniku. Dan isteriku tak pernah melewatkan satu pun sms-ku tanpa balasannya. Dengan kalimat yang sama, “semoga ayah kuat dan sabar” selalu kalimat itu dan dengan sedikit kesal selalu kujawab dengan kalimat datar “ya mang itu kan yang harus ayah lakukan, sabar.”
Dan setelah itu biasanya isteriku tak membalas, seakan menunggu waktu yang tepat agar itu terlupakan dan tidak membuatku emosi. Dia sangat mengenal seluruh kebiasaanku, kadang bahkan bisa menerka rencana tindakanku.
Pernah suatu waktu aku kembali mengeluh, menyatakan ingin segera pulang dan sepintas menyebutkan angan2ku bahwa aku ada keinginan untuk keluar kerja saja dan mencari kerja baru di Bandung agar kami bisa selalu bersama. Dia malah mempertanyakan kesiapanku bila nanti ternyata malah jadi pengangguran mengingat cari kerja saat ini tidaklah mudah dan untuk usiaku yang telah menginjak angka 37 tentulah sangat sulit.
Saat itu aku merasa dia tak lagi mementingkan kebersamaan, dia pasti ketakutan aku tidak memberinya nafkah dan mungkin juga malu bila punya suami pengangguran. Tapi nyatanya dia langsung menelponku dan dengan suaranya yang kekanakan dia berkata: ”
Ayah jangan salah paham dulu ya, mama ga takut loh jatuh miskin bila itu kehendak Allah. Mama juga gak akan gengsi punya suami pengangguran bila hal itu memang yang terbaik buat keluarga kita. Mama cuma takut ayah salah ambil keputusan dan menyesalinya kemudian. Mama cuma kuatir ayah seneng aja tinggal bareng lagi ama kita untuk 2-3 bulan dan sementara itu kalo ayah masih nganggur ato belum dapet kerja ntar ayah jadi rendah diri ato meributkan mama yang kerja dari pagi dan pulang sore setiap harinya. Mama siap ko apapun keputusan ayah, selama ayah siap dengan segala resikonya”.
Duh, dia selalu tahu bagaimana menghadapi situasi, atas hal itu aku memujanya.
Dan hari ini, saat hari libur seperti ini, kesepian dan kejenuhan terasa berlipat-lipat lebih daripada hari-hari kerja. Lagi-lagi tanpa kusadari aku kembali mengirim sms yang menceritakan kesepian, kebosanan dan kepasrahan atas kondisi yang ada. Dan seperti itulah jawabannya. Namun kali ini terasa beda di hatiku, dipikiranku. Mungkin benar seperti katanya bahwa ini pastilah yang terbaik bagiku, bagi kami karena Allah-lah yang telah menentukan situasi ini.
Dan kucoba yakini hatiku demi rasa cinta yang ada bahwa perjalanan ini hanyalah sebuah episode saja yang nantinya akan berakhir bahagia. Kesabaran isteriku seharusnya menjadikanku lebih sabar lagi dan kekuatannya tentulah telah membuatku lebih kuat lagi selama ini.. Aku tak mau lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa di sini hanya untuk termenung. Pastilah ujian ini akan ada akhirnya dan kusiapkan diriku untuk jadi lebih baik lagi manakala ada saatnya bagi kami untuk bertemu dan bersatu kembali.
Menjelang sore, 19 Feb 2007 Alhamdulillah, kurindukan engkau karna Allah yang memberikanmu padaku. Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan dan kesabaran.