SMS dari isterinya pagi itu membuatnya gundah, kecewa dan marah. Meskipun singkat, tetapi kekuatan kalimatnya melahirkan makna menggunung. Isinya menusuk ke jantung dan pilihan katanya tajam. Hatinya membatin. Sebuah ”sarapan pagi” yang lain dari biasanya.
Tak ada teh hangat atau susu dan roti. Tak ada salam dan kecupan sayang sebelum berangkat. Dan tak ada senyuman mengiringi keberangkatan kerjanya. Sarapan pagi yang tanpa gizi fikirnya.
Bulan-bulan terakhir di akhir tahun 2009 dirasakannya sebagai masa yang penuh konflik batin. Intensitas beragamanya diakui hampir menyentuh titik terendah. Dalam sebulan, hampir ada satu atau dua shalat wajib yang bolong. Tahajjudnya menjadi begitu langka, kecuali Dhuha yang tetap rutin didirikan. Disadarinya belakangan bahwa ia begitu lalai merajut tali kasih dengan Rabbnya. Batinnya merasakan kehampaan dan hilang kelezatan dalam beribadah.
Kebugaran fisiknya juga sering kacau. Dalam sebulan satu atau dua kali harus ke dokter. Begitu juga dengan buah hatinya. Hingga dirasakan ongkos berobat menjadi tidak karuan dan di luar perkiraan.
Ada sesuatu yang hilang dari harapannya. Harapan yang dibangun sejak sebelum berumah tangga. Ada banyak sisi-sisi kelemahan dirinya yang belum dapat terisi oleh kehadiran isteri dan anak-anaknya. Sehingga ia sering bertanya, bagaimana memulai membangun harapan itu lagi?
Meskipun begitu, selalu saja hatinya menyalahkan dirinya sendiri. Bukan isteri dan bukan pula anak-anaknya. Sebuah kesadaran yang menurutnya lebih bijak, bahwa menyalahkan orang lain hanya akan semakin membuat mata tertutup atas kelemahan diri sendiri.
Tapi SMS itu seperti petir yang menyambar daun telinganya. Kesadarannya dibangunkan terlalu keras sehingga telinganya pekak dan hatinya terperanjat. Sejujurnya diakui bahwa pesan itu tidak seluruhnya salah. Tetapi, hatinya membatin apakah wanita yang dinikahi sepuluh tahun lalu itu sudah begitu sempurnanya mendampingi dirinya? Ada titik bening di sudut matanya mengulangi SMS itu dibaca.
Mulailah hatinya terpancing. Diambilnya pensil dan kertas kosong. Dituangkannya kejelekkan isterinya selama ini. Dari yang terkecil dan sepele hingga yang menurutnya keterlaluan. Sejak mula dia hidup bersama sampai hari saat SMS itu diterimanya. Ia ingin membalas dengan sesuatu yang setimpal, bahwa ia tidak sendirian. Bahwa ia juga pantas menyalahkan hal buruk isterinya.
Tapi sisi lain dari hatinya bicara. Apa pantas menimpali kekacauan dengan kekacauan?
Ia menangis bisu dalam do’a batinnya, ” Ya Rabb, … ampun sejadi-jadinya atas nama kasih-Mu. Beri hamba kekuatan untuk menelan pahitnya cobaan ini. Dampingi hamba dalam kesulitan menginjak duri yang berserak di atas jalan rumah tanggaku. Antarkan hamba ke pintu tujuan perkawinan seperti syariatmu….”.
Marah, kecewa dan putus asanya mencair. Kisah Umar bin Khattab yang pernah dibacanya memadamkan “api” yang menggelegak dalam hatinya. Bahkan sesungguhnya ia malu tanpa sisa andaikan ia dapat bertemu muka dengan sahabat Rasulullsh yang terkenal sangat tegas itu.
Dikisahkan bahwa seorang dari pedalaman Arab datang ingin menghadap Umar bin Khattab. Orang itu berharap Umar akan memberikan nasehat dan jalan keluar atas persoalan rumah tangga yang tengah dihadapinya. Ia membawa segudang pengaduan atas perilaku isterinya.
Berharap pula Umar sebagai khalifah mau memberi pelajaran kepada isterinya yang dinilainya sudah sangat keterlaluan. Sebagai suami ia merasa sudah tidak punya harga diri. Selalu saja menjadi objek omelan dan tajamnya lidah sang isteri.
Hingga sampai di muka pintu rumah khalifah Umar, pria itu ragu berdiri di depan pintu menunggu Umar keluar sebab ia mendengar istri Umar bersuara keras pada suaminya dan membantahnya sedangkan Umar diam tidak membalas ucapan istrinya.
Pria itu lalu berbalik hendak pergi, sambil berkata, “Jika begini keadaan Umar dengan sifat keras dan tegasnya dan ia seorang amirul mukminin, maka bagaimana dengan keadaanku ?”.
Umar keluar dan ia melihat orang itu hendak berbalik dan pergi dari pintu rumahnya seraya memanggil pria itu dan berkata, “Apa keperluanmu wahai pria?”
“Wahai Amirul Mukminin, semula aku datang hendak mengadukan kejelekan akhlak istriku dan sikapnya yang membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka aku pun kembali sambil berkata, “Jika demikian keadaan amirul mukminin bersama istrinya, maka bagaimana dengan keadaanku ?”
Mendengar keluhan pria itu atas dirinya dan apa yang dialaminya sendiri, Umar berkata, “Wahai saudaraku. Sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku.
Dia yang memasakkan makananku, yang membuatkan rotiku, yang mencucikan pakaianku, yang menyusui anak-anaku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya”.
Jawaban Umar membuat pria tercenung kemudian berkata : “Wahai Amirul Mukminin, demikian pula istriku”.
”Karena itu, Bersabarlah atas sikapnya wahai saudaraku …”
Gagahnya Umar tiada yang menyangkal, demikian pula ketegasannya dalam bersikap. Tapi kisah sikap Umar terhadap wanita isteri yang dibacanya membuatnya seperti laki-laki yang belum mengenal pasangan hidup bahkan dirinya sendiri.
Kini malunya bertambah besar. Bahkan mungkin ia tak punya ”muka” lagi apabila SMS itu diforward kepada sahabat Nabi itu. Kesadarannya kembali ke titik normal. Bahkan SMS itu bukan lagi dianggapnya sebagai duri dalam kasih sayang dalam rumah tangganya.
Hatinya girang dan berujar ” Terima kasih wahai Umar”.
Wahai suami yang penyayang..
Ketahuilah, tinggalnya seorang istri di rumah tidak memberikan kesempatan untuk beristirahat dan menikmati ketenangan, karena di sisinya ada anak-anak yang harus diasuhnya dan dididiknya agar mereka tumbuh dengan baik. Semua itu membutuhkan kesungguhan diri, hati dan jasmani darinya yang lebih besar dari kesungguhan yang harus anda curahkan di kantormu atau di ladang kerjamu. Andai anda bergantian tugas dengannya, anda tidak akan mampu mengembannya walau hanya sesaat di siang hari.
Jakarta,