Sebuah Catatan Di Bulan Ramadhan

“Ayah, aku ingin dibelikan sepeda lagi!” rengek putra keduaku kepada ayahnya.

“Imbalannya apa, supaya Ayah beliin Adik sepeda?”

“Ramadhan nanti aku mau puasa sebulan penuh,” rayunya dengan penuh keyakinan.

“Oke, Ayah setuju!” suamiku menyodorkan tangan tanda sepakat.

Obrolan ini terjadi setahun lalu, sepekan sebelum memasuki bulan ramadhan. Awalnya aku menyangka ini hanya bujuk rayu anak SD kelas empat, yang sangat ingin memiliki sepeda baru, menggantikan sepeda lamanya yang hilang, karena lupa memasukkannya ke dalam rumah beberapa bulan yang sebelumnya. Meskipun dalam hati kecilku, sebagai seorang ibu, aku ingin sekali rasanya segera menuruti keinginannya, tanpa mempersulitnya dengan berbagai syarat. Namun suamiku melarang dengan alasan; supaya anak belajar memahami arti sebab dan akibat.

Setiap orang harus bertanggung jawab, jika lalai mengamankan barangnya. Akibat lalai maka bisa merugikan diri sendiri. Alasan yang kedua, agar ia belajar berjuang dengan caranya sendiri untuk memperoleh sesuatu.

Sebenarnya aku dan suami tidak terlalu yakin dengan janji putra keduaku yang akan berpuasa sebulan penuh. Mengingat puasa Ramadhan tahun sebelumnya, dalam sepekan ada dua atau tiga hari, aku harus mendengar rengekannya, agar ia diijinkan berbuka tengah hari. Yaitu dengan alasan sangat kehausan, karena kelelahan bermain dan belajar di sekolah.

Iming-iming uang sepuluh ribu rupiah, jika ia sanggup puasa selama sehari penuh tak juga membuatnya tergiur. Aku sempat menyangsikan komitmen putraku, tapi suami meminta agar aku belajar menghargai dan mendukung keinginan mulianya.

Hari-hari Ramadhan dilalui anakku dengan tenang, sesuai dengan janjinya. Hingga tiga pekan berlalu, aku takjub melihat kegigihan putraku yang tetap berpuasa penuh tanpa mengeluh sekalipun. Senyum meragukan yang sempat singgah dibibirku dulu, kini berganti dengan rasa haru dan bangga. Menyesal aku sempat menyangsikan komitmen dan janjinya. Ternyata yang diucapkannya jujur, dan dia pun menepati janjinya.

Sepekan menjelang Idul Fitri, tampaknya putraku nyaris melupakan keinginnya untuk memiliki sepeda baru. Kelihatannya ia sudah bisa menikmati ibadah puasanya, tanpa pernah sekalipun menyinggung soal benda yang sedang diimpikannya. Setelah lelah bermain dengan teman-temannya di halaman masjid, ia pulang dan beristirahat. Hingga kumandang adzan Ashar membangunkannya. Ada keheranan dia rasakan, saat diminta ayahnya untuk segera mandi dan salat Ashar berjamaah di masjid sore itu.

“Kita mau kemana Yah?” tanya anakku penuh rasa penasaran saat pulang dari masjid.

Ada deh! Temani Ayah jalan-jalan, yuk!” ajak ayahnya penuh rahasia.

Saat kembali dari acara jalan-jalan sore, ia bergegas mencariku di dapur. Saat itu aku sedang sibuk menyiapkan menu untuk berbuka. Ia menarik tanganku menuju teras, kelihatannya ada sesuatu yang ingin segera di tunjukkannya padaku, tapi ia enggan mengatakannya. Aku mengikuti keinginannya, dari wajahnya terlihat ekspresi kegembiraan yang teramat sangat.

Aku menunjukkan wajah terkejut luar biasa, saat ia menunjuk sebuah sepedah baru. Sepeda itu berwarna hitam gelap, berada di halaman depan rumah kami.

“Waaaaah!!! Bagusnya, apakah ini sepeda yang Adik idam-idamkan?” tanyaku dengan ekspresi penuh keterkejutan.

Ia tersipu, sambil jari-jemarinya sibuk memutar-mutar roda sepeda barunya itu, untuk memastikan semuanya dalam keadaan baik.

“Selamat ya, ini hadiah untuk anak hebat, setelah ini adik masih tetap puasa penuh kan?” tanyaku sambil mengelus rambutnya

Iya dong!” aa berlalu sambil mengayuh sepedanya, diiringi senyum bahagia atas jerih payahnya, juga senyum ramadhan yang telah menjadi bagian dari kemenangannya.

Ternyata keinginan untuk meraih sesuatu, mampu membuatnya mengalahkan rasa haus dan laparnya. Jika awalnya putraku melaksanakan puasa sebulan penuh karena tergiur iming-iming sepeda baru seperti yang di impikannya. Dan ternyata dia pun melupakan dasarnya untuk berpuasa penuh, hingga dia merasakan sebuah surprise ketika mendapatkan sebuah sepeda baru dari ayahnya.

Anak-anak adalah masa yang menentukan untuk kemana selanjutnya dia melangkah. Anak-anak yang dibiasakan untuk shaum di bulan Ramadhan, walaupun niatnya bukan karena Allah, tapi kebiasaan harus mulai dipupuk semenjak dini.

Karena sebuah karakter yang baik, dimulai dari kebiasaan-kebiasaan yang baik pula. Bila anak kita telah terbiasa dengan shaum, maka insyaAllah ke depannya, kita tidak akan terlalu susah untuk mengarahkannya. Kita hanya perlu memberikan pencerahan-pencerahan, bahwa segala sesuatu ibadah itu akan bernilai, bila dilakukan hanya karena Allah.

Coba, bagaimana seandainya anak-anak kita setelah beranjak baligh, baru kita menyuruhnya berpuasa? Tentu sangat sulit kan? Karena anak yang tidak terbiasa untuk berpuasa, tentu akan mengalami rintangan yang cukup sulit, karena puasa yang pertama diajarkan kepada anak, penekanannya hanya kepada menahan makan dan minum.

Setelah bertambah umurnya, maka mulailah kita akan ajarkan tentang bagaimana menjalani hari-hari dengan memperbanyak amalan-amanlan sunnah, tadarus Al-Qur’an, dan bagaimana menahan pandangan agar puasa kita tidak makruh.

Ramadhan yang telah berlalu itu adalah sebuah waktu yang sangat indah bagiku. Anak-anak dapat menunaikan puasanya dengan baik. Keluarga dalam keadaan sehat wal-afiat dan dapat pula menjalani waktu-waktu berharga di bulan Ramadhan dengan sepenuh kemampuan, agar mendapatkan pahala yang nantinya akan menjadi tabungan kami di syurga. Amin

Harapanku, ramadhan kali ini adalah ramadhan yang lebih baik lagi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Aku ingin ramadhan ini, waktu yang ada dapat aku isi dengan sebaik-baik ibadah kepada Allah Swt. Karena mungkin saja ramadhan tahun depan, aku tak akan bertemu lagi dengannya.

Sangatta, 6 Agustus 2010

Siti Fatimah

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]