Waktu terus berjalan. Pergantian waktu yang tak pernah berhenti. Orang-orang yang pagi itu datang ke Masjid Kufah, bertemu dengan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, satu persatu , mereka pergi meninggalkan tempat yang mulia itu. Masjid Kufah, masjid yang dibangun pertama kali oleh Rasulullah, ketika Beliau pertama berada di Madinah.
Mereka yang telah datang, dan bertemu dengan pujaannya itu, pergi, dan entah kemana? Mereka merasa sangat bersyukur, saat bertemu dengan orang yang mereka muliakan, Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam. Hari-hari yang ada, tak pernah sepi, silih berganti orang-orang yang berkunjung ke masjid Kufah. Sebuah pemandangan yang indah, ketika awal da’wah itu di mulai.
Rasa mahabbah (cinta) yang tak berujung. Kerinduan yang selalu menyapa diantara mereka. Kesatuan hati yang tak pernah pupus oleh waktu dan peristiwa. Mereka selalu berpaut dalam satu ikatan tali ‘buhul’ yang kokoh, yaitu aqidah. Mereka saling tolong menolong. Mereka saling berkorban. Mereka berlomba-lomba dalam kebajikan. Mereka hanya ingin mendapat pujian dari Rasulullah, atas sikap taqwanya kepada Allah Azza Wa Jalla. Semua itu, bukanlah sebuah dongeng. Pernah terjadi dalam kehidupan orang-orang mukmin. Benar-benar sebuah fakta kehidupan. Pernah terjadi dalam sejarah, yang dibingkai oleh mereka yang bersama Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wasalam, mereka yang disebut para ‘assabiqunal awwalun’.
Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam adalah orang yang dipercaya, mempunyai sifat sidq, mempunyai sifat amanah, tidak pernah berkhianat dalam kehidupannya, tidak pernah mengurangi dan menambah ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah Azza Wa Jalla, lewat Malaikat Jibril, maka memiliki sifatnya tabligh, dan memiliki sifat fatonah, cerdas dalam arti yang sesungguhnya. Ketaatan dan keikhlasan, bersifat total terhadap semua yang diperintahkan oleh Rabbnya, tak pernah sedikitkan mengingkari atau berusaha meninggalkannya.
Tak pernah berkeinginan ‘menjual’ atau ‘mengeksploitasi’, gelar yang disandangnya. Semua kehidupan dijalani dengan tulus. Arah hidupnya jelas. Karena, memang Rasulullah adalah utusan Allah Azza Wa Jalla, agar mengarahkan manusia, hidup dibawah naungan Islam. Maka, ketika awal dakwah ini berjalan, dan orang-orang kafir dan munafik, tidak menyukai dakwahnya, dan berusaha menghalang-halanginya, tak pernah dihiraukannya. Sampai mereka orang-orang kafir dan manufik, menawarkan segala yang menjadi keinginan manusia berupa jabatan, harta, dan wanita, yang palign cantik diantara kaum kafir Qurays, dan sangat tegas Rasulullah, tak pernah mau menerima.
Sangat terkenal dalam sejarah, sikap Rasulullah, ketika menerima tawaran dari orang-orang kafir dan munafiq Qurays, agar Rasulullah meninggalkan dakwah, dan dengan imbalan jabatan, harta dan wanita. Rasulullah menjawab : “Sekiranya mereka meletakkan matahari ditangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan misi dakwahku, tidak pernah akan aku tinggalkan dakwah ini, atau aku hancur bersamanya”, ujarnya. Rasulullah Shallahu alaihi wa salam adalah tauladan dalam memegang teguh amanah risalah yang diterimanya dari Allah Rabbul Alamin. Tak pernah tergoda oleh kehidupan dunia, yang tidak seberapa,dibandingkan dengan kehidupan akhirat, yang kekal abadi.
Maka, suatu ketika, ada seorang sahabat yang bernama Abu Hamid Abdurrahman bin Sa’ad as-Saa’idy, yang menceritakan, bahwa Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, menugaskan seorang dari kabilah al-Azd yang bernama Ibnu al-Latiiban untuk mengumpulkan zakat. Ketika, ia datang membawa hasil zakat yang dikumpulkannya, ia berkata : “Ini untuk kalian, dan yang ini hadiah milikku”, ujarnya. Mendengar hal itu, Rasulullah, bangkit berdiri dan menyampaikan khotbah diatas mimbar : “Amma ba’du… Aku menugaskan salah seorang diantara kalian untuk menjalankan pekerjaan yang dibebankan oleh Allah kepadaku. Ia lalu datang dan berkata : “Ini untuk kalian, sedang yang ini hadiah milikku”. Jika ia benar, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya, sehingga ia diberi hadiah? Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa hak, kecuali ia bertemu Allah sambil membawa ‘korupsinya’ itu dihari kiamat. Aku tidak ingin melihat seseorang dari kalian bertemu Allah membawa unta yang bersuara, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembek”.
Dari khotbah diatas, Rasulullah telah menetapkan sebuah hukum yang harus diterapkan, yaitu hukum : “Dari mana kamu dapatkan ini”, yang harus dijadikan sebagai asas dalam seluruh ‘muhasabah’ (menghitung), yaitu perlu ada kejelasan setiap penerimaan harta yang diperoleh, sehingga tidak ada kekayaan dari hasil penyelewengan atau kekayaan yang didapat sifatnya illegal dari jabatan yang dimiliknya. Orang yang merenungkan masalah ini akan memperhatikan sabda Rasulullah : “Jika ia benar, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya, sehingga ia diberi hadiah”. Tentu, jika ia tidak mempunyai jabatan atau kekuasaan apa-apa, siapa yang akan memberinya hadiah? Maka, jika ia hanya duduk di rumah, dan tidak memiliki jabatan dan kedudukan, niscaya ia selamanya tidak akan menjadi orang kaya dengan cara yang tidak jelas. Hendaknya, orang seperti ini, yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, memperhatikan sabda Rasulullah : “Tidak ada seorangpun dari kalian yang mengambil sesuatu, tanpa hak kecuali ia bertemu Allah sambil membawa korupsinya itu pada hari kiamat”.
Pernah, Abu Hurairah, yang ahli hadist, dan menjadi Gubernur Bahrain, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khaththab, saat datang ia ke Madinah membawa 10.000 dirham, lalu Umar bertanya : “Kamu simpan harta sebanyak ini untuk dirimu sendiri, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya”. “Kalau begitu, dari mana kamu mendapatkan semua ini?”, Tanya Umar. Abu Hurairah menjawab :”Itu adalah hasil unta yang berkembang biak, hasil penjualan budakku, dan pemberian gaji dari negara yang aku kumpulkan”, jawab Abu Hurairah. Namun, Umar tidak begitu saja percaya, maka ia memeriksa kejelasan kekayaan yang dimiliki Abu Hurairah.
Suatu ketika, Abu Dzar al-Gifari melihat Mu’awiyah mengeluarkan yang banyak. Abu Dzar berkata : “Jika uang itu kamu ambil dai baitul-mal, berarti kamu seorang pengkhianat”. “…Dan, bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat”. (Yusuf : 52). Tetapi, jika uang ini dari harta pribadimu, berarti kamu pemboros. Dan, “… Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (al-An’am :141).
Bagaimana di zaman sekarang, banyak orang yang dengan jabatan dan kewenangannya, yang digunakan untuk memanfaatkan, menipu, dan bahkan menjual aqidahnya, yang tujuannya mengejar kenikmatan dunia? Bagaimana kehidupan mereka kelak di akhirat nanti? Wallahu ‘alam