Ibu Imah, aku bertemu dengannya dalam suatu kesempatan pengajian Masyarakat Indonesia di kota Bangkok. Kebetulan waktu itu ia duduk di sebelahku. Kamipun berkenalan. Saat itu kutangkap ada raut sedih di wajah ibu Imah. Ibu Imah kemudian menawarkan jasanya padaku, ternyata ia bisa menerima pesanan makanan. Tawaran ini kusambut gembira, karena aku tak pandai memasak, padahal seringkali kurasakan rindu terhadap makanan Indonesia. Lalu akumeminta nomer telponnya, dan hendak mencatatnya di daftar kontak dalamtelpon genggam. Namun tiba-tiba tangis ibu Imah pecah, ia menangis terisak. “Handphone Ibu sama persis dengan handphone almarhum suami saya,” katanya dengan suara parau. Ibu Imah mengusap air mata di pipinya dengan ujung jilbab, “Innaa lilahi wa innaa ilaihi rojiuun, tabah ya Bu…” Ucapku pelan. Terjawab sudah, kesedihan di wajah ibu Imah adalah dukanya kehilangan suami tercinta.
Lalu mengalirlah ceritanya padaku. Ibu Imah bersama suami dan dua anak balitanya datang Ke Bangkok sekitar tiga bulan yang lalu. Sang suami mendapat pekerjaan di Bangkok. Rasa kebahagiaan menyelimuti keluarga Ibu Imah…hingga padasuatu hari sang suami meninggal dunia secara mendadak. “Padahal masih muda Bu, umursuami sayabaru 32 tahun.”Kata ibu Imah padaku.Sejak itu tak ada lagi kebahagiaan yang dirasakan oleh ibu Imah. Kini Ibu Imah bekerja keras menghidupi dua anaknya, ditambah lagi si sulung kini butuh biaya untuk sekolah. “Saya bersyukur Bu, ada yang mau nampung saya dan anak-anak, teman kantor suami saya. jadi saya engga usah bayar uang sewa rumah lagi,…” Alhamdulillah, sering ada pesanan dari orang KBRI. Sendirian saya Bu ngerjain semuanya, sampai engga tidur semalaman.” Allah.. saya sungguh kasihan padanya.
Kedua kalinya aku bertemu dengan ibu Imah saat ia mengantarkan pesanan makanan ke rumah untuk acara pengajian. “Maaf ya Bu terlambat, supir taksinya engga tahu jalan, padahal saya sudah berangkat pagi-pagi.” Katanya padaku. “Oh iya Bu, kalau untuk snack pisang coklat jangan dibayar ya, itu bonus aja.” Ya Allah, aku tahu ia pasti lelah memasak semua pesananku, tapi dalam lelahnya ia masih berusaha memberi lebih padaku.. Semata-mata ingin berbuat kebaikan. Aku terharu, seharusnya aku yangmemberikan lebih pada ibu Imah, bukan sebaliknya.
Suatu hari aku menerima telepon dari seorang teman pengajian, aku diberi tahu kalau Ibu Imah sedang dalam masalah besar. Sepeninggal suaminya ibu Imah terlilit hutang cukup besar kepada Ibu Lina, teman kantor almarhum suaminya. Sebenarnya ibu Imah merasa tidak nyaman tinggal di rumah ibu Lina, karena ibu Lina adalah seorang non-muslim yang sering kali membawa kedua anak ibu Imah ke Gereja. Dia pun acapkali membujuk ibu Imah untuk melepas jilbab. Ibu Imah sangat bingung, sebenarnya ia ingin pulang kampung saja, tapi ia tak punya cukup uang untuk ongkos pesawat, lalu bagaimana dengan hutangnya kepada ibu Lina, sungguh ia tak sanggup membayarnya… ia juga merasa berhutang budi kepada ibu Lina karena selama ini telah menumpang di rumahnya. Astaghfirullah, terbayang olehku kesusahan dan keresahan yang dialami ibu Imah. Kehilangan suami tercinta, terlilit hutang, dan kini keimanan dirinya juga keimanan dua buah hatinya terancam! Telah sering kudengar orangkeluardari agama Islamkarena himpitan ekonomi. Ya Allah jangan sampai ini terjadi pada ibu Imah.
Kami anggota pengajian bertekad menolong ibu Imah. Satu tujuan kami, menyelamatkan iman Ibu Imah dan kedua anaknya. Segala puji dan syukur kepada Allah. Seminggu kemudian Ibu Imah dan kedua anaknya berangkatpulang ke tanah air diantar oleh ketua pengajian kami, setelah terlebih dulu membayar lunas semua hutangnya kepada ibu Lina.
Kini kuyakin Ibu Imah telah bahagia. Pulang ke kampung halaman, berkumpul kembali dengan keluarga besarnya, dan bahagia karena masih merasakan indahnya nikmat iman dan islam, nikmat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya.
“Sesungguhnya, Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. al-Mu’min [40] : 51)
Wallohu’alam bishshowaab.
Bangkok, 19 Februari 2011.