Saya mempunyai seorang teman yang dalam kehidupan kesehariannya sangat hati-hati terhadap apa yang ia kerjakan. Apa yang ia lakukan selalu berpedoman kepada suatu kalimat yang ia pegang: “Allah ridla apa tidak dengan tindakan saya?”
Terus terang saya mengaguminya. Saya ingin menirunya. Namun betapa berat saya mencoba mengikuti langkah-langkahnya. Bicaranya yang sederhana. Penjagaannya
terhadap mata dan telinganya dari sesuatu yang mendatangkan dosa. Sampai-sampai sesuatu yang sangat sederhanapun, ia selalu mengingat bagaimana cara Nabi melakukannya.
Suatu saat saya bertanya padanya. Kenapa engkau bisa seperti itu? Dia menjawab enteng. ” Yaa, ini semua bukanlah karena saya, mungkin karena doa orang tua saya.” Saya hanya mengangguk-angguk.
Terlintas di pikiran saya tentang sosok orang-orang alim. Sosok orang-orang yang hidupnya telah menyerahkan bulat-bulat kepada Allah SWT. Para Nabi, Sahabat Rasul, dan kekasih-kekasih Allah yang lain. Banyak dari beliau-beliau ini yang mendapat derajat sangat dekat dengan Allah, bukan hanya karena upayanya sendiri, tapi tempaan, didikan, suatu amalan yang konsisten dan langgeng atau munajat orang tuanya kepada Ar-Rabbul Jalil. Sehingga lahirlah anak-anak shaleh.
Saya jadi penasaran dengan orang tua laki-laki ini. Amalan seperti apa yang ia kerjakan sehari-hari selain yang di wajibkan? Doa seperti apa yang ia panjatkan padaNya sehingga melahirkan sosok yang menurut saya adalah termasuk kriteria shaleh ini?
Suatu saat, ketika saya ada kesempatan pulang dari rantau, saya temui orang tua laki-laki ini. Bahkan saya menginap di rumahnya. Saya banyak ngobrol dengannya. Ingin sekali rasanya menimba ilmu dari orang tua yang telah melahirkan profil seperti teman saya itu.
Ternyata beliau ini orang sederhana saja. Seperti kebanyakan orang -orang kampung lainnya. Tak ada sesuatu keistimewaan yang menonjol dari dirinya.
Namanya pak Salim. Ia lebih dikenal orang-orang daerah itu Salim Tempe. Karena ia seorang penjual tempe. Waktu subuh, Maghrib dan Isya, sudah dipastikan ia ada di mushola kampung itu. Sebab ia lebih sering ditunjuk untuk menjadi imam sholat. Walaupun ia sendiri bukanlah imam tetap mushola tersebut.
Namun, walaupun ia orang biasa-biasa saja, bukan ustadz bukan kyai, bukan alumni pesantren apalagi lulusan perguruan tinggi Islam, akan tetapi ada beberapa hal yang membuat beliau ini jadi luar biasa. Paling tidak menurut saya. Dan anehnya, oleh masyarakat sekitar dianggap sesuatu yang tidak umum dan wajar. Memang di zaman ini, jika ada seseorang yang ingin mencoba menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dianggapnya sebuah keanehan.
Yang pertama, kalau ada pilkades di desanya, ia selalu menolak diberi uang oleh para calon kades, karena ia takut itu suap. Dan ia tahu bahwa, yang menyuap dan yang disuap sama-sama masuk neraka. Maka ia selalu mengingatkan keluarganya jangan sampai mau menerima uang tersebut walaupun sekecil apapun. Sebab di banyak daerah, praktek mendapatkan ‘suara’ dengan iming-iming uang masih banyak berlaku
Yang kedua, dia selama hidupnya, tidak pernah menyimpan uang di sebuah tempat yang bernama bank konvensional. Sebab ia juga takut, bunga yang ada di dalam lembaga keuangan itu termasuk dalam riba. Sedang ia tahu bahwa riba itu dosa. Ia punya pendapat lebih baik menyimpan uangnya di bawah bantal atau di bawah tikar tidur. Sehingga ketika anaknya dari luar negri mengirimkan uang, ia cepat-cepat mengambilnya, ia takut jadi berbunga-bunga. Ia menggunakan bank sebagai alat
transfer saja.
Saya jadi mempunyai sebuah dugaan, barangkali amalan orang tua itulah yang membuat teman saya sangat kuat memegang rambu-rambu agama. Saya tidak sedang mengkultuskan keturunan, tapi sikap kehati-hatian orang tua terhadap hukum-hukum Allah, ternyata sangat menentukan keturunannya.
Dan sejarah mencatat juga, ada seorang perempuan penjual susu. Setiap kali mencampur susu dengan air ia sangat hati-hati. Bahkan setelah mengingat bahwa kelak semua yang dilakukan manusia, akan dihisab, ia mengurungkan untuk mencampur susu itu dengan berlebihan. Ia takut susu itu hilang kemurniannya. Sehingga dapat membohongi si pembeli. Dan dengan sikap kehati-hatian perempuan itulah, Allah mengaruniakan seorang anak shaleh. Yang ahirnya ketika tumbuh besar menjadi sosok yang luar biasa. Sosok itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Siapa tak kenal khalifah zuhud ini?
Akhirnya, suatu saat saya bertanya kepada diri sendiri. Mampukan saya menjaga kehati-hatian terhadap sesuatu yang sederhana, tapi ternyata betapa besar nilainya di hadapan Allah SWT? Dan mampukah saya bertindak seperti mereka demi menghasilkan anak yang shaleh, sebagai investasi abadi?
Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dengan konsekwensi perjuangan yang luar biasa.