Suatu hari saya melihat seorang ibu-ibu berkebaya hitam , berkerudung yang di sampirkan di kepalanya. Berjalan cepat sambil teriak-teriak dan ngomel pada orang yang ada di sekitarnya.
Saya sendiri tidak begitu faham apa yang di ucapkannya, karena kebetualn saya berada di luarnegeri, dan saya belum begitu menguasai bahasa di negeri itu, dan memang bahasa yang di gunakan ibu-ibu itu adalah bahasa kampung di negara itu.
Dalam batin saya berbicara; “ada apa dengan ibu-ibu itu kok teriak-teriak sambil memarahi orang sekitanya ?”.
Dan yang menjadi sasaran omelannya adalah orang yang ada di sektarnya, Untungnya ketika itu saya sedang berada di dalam sebuah toko untuk membeli sesuatu, jadi kemungkinan besar seandainya saya berada di luar toko itu akan kena omelan si ibu berkebaya hitam itu.
Sontak aku berfikir; “Oo, orang gila”.
Saya berpendapat demikian karena mamang ada indikasi bahwa ibu itu memang kuraung waras, gila. yaitu ketika orang-orang di dekatnya yang kena omelan si ibu itu, ada yang senyum dan ada pula yang tertawa dan ada juga yang hanya diam terus melanjutkan perjalanannya.
Cerita di atas sepertinya sudah biasa di negara kita, Indonesia tercinta . Dan bahkan kalau kita melihat orang gila di kampung-kampung atau di desa-desa malah menjadi bahan tawa dan tontonan kebanyakan anak kecil dan ada juga orang dewasa.
Dari sini saya akan mencoba untuk mengomentari tawa dan senyum atau bahkan diamnya mereka saat melihat orang gila.
Tertawanya mereka mengindikasikan sebuah ejekan dan hinaan atau cemoohan pada orang gila tersebut. Dan bahkan mereka menjadikan sebuah hiburan karena mereka dapat tertawa dengan melihat orang gila tersebut.
Seandainya saya mampu -karena persoalan bahasa tadi- sayangnya saya belum mampu. Saya akan berkata kepada orang yang tertawa itu, “coba seandainya ibu berkebaya hitam itu adalah salah satu dari anggota keluarga anda atau bahkan ibu anda, maka apa yang anda lakukan ketika melihat salah satu dari anggota keluarga anda sedang menjadi bahan tontonan dan di tertawakan atau di cemooh orang lain?”
Lebih-lebih kita merasa iba dan kasihan, dan bahkan bersyukur pada yang memberi hidup dengan berkata “ya Alloh terimakasih engkau telah memberian kesempurnaan pada hamba, kesempurnaan agama, jiwa dan raga. Sehingga bisa menikmati hidup ini”.
Orang yang menertawakan tadi artinya belum bisa mensyukuri karunia Alloh yang di berikan kepadanya, belum bisa merasakan derita karena mendapatkan comoohan dan ejekan orang lain, bahkan sempat-sempatnya tertawa di atas penderitaan orang lain.
Sedangkan orang yang hanya diam –melihat orang gila- mengindikasiakan orang itu sedang berfikir dan mensykuri nikmat Alloh yang di berikan padanya, karena dalam hatainya ia berdzikir, “ Ya Alloh engkau sempurnakan jiwa dan raga hamba tanpa satu kekurangan apapun atau bahkan cacat pada diri hamba, sehinga bisa berfikir akan keberadaan-MU melalui alam semesta dan seisinya ini".
Dari kejadian itu dapat di ambil kesimpulan. Pertama, pentingnya belajar bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang begitu penting antar sesama manusia. coba Seandainya saya bisa lancar berbahasa di negera tersebut maka insya Alloh akan saya ingatkan mereka yang tertawa saat melihat orang gila itu. Dan itu merupakan dakwah di jalan kebaikan. Kedua, bagaimana bisa merasakan derita yang di alami orang lain, dan yang ketiga, bisa bersyukur dengan melihat ibu berkebaya hitam tadi.
Wallohu ‘alam