وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.(Q.S Ali Imron : 146)
Setiap organisasi, jamaah, suatu perkumpulan atau suatu komunitas tidak bisa lepas dari yang namanya kader. Tidak bisa disebut jamaah atau komunitas kalau hanya ada seorang pimpinan tanpa ada pengikut (kader).
Sebagus apapun seorang pimpinan, jika ia tidak memiliki kader-kader yang handal dan militan, maka lambat laun akan menjadi orang yang kalah. Pun dengan gerakan dakwah, dia harus memiliki kader yang solid, yang bisa diandalkan dan teruji militansinya, tidak mudah goyah dan luntur idealismenya hanya karena remeh temeh permasalahan hidup.
Kader adalah aset termahal bagi sebuah gerakan dakwah (atau organisasi apapun). Jamaah atau organisasi yang memiliki kader-kader yang berkualitas, maka ia akan menjadi jamaah yang solid dan mampu membangun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat dan mampu berperan aktif dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemashlahatan ummat.
Bahkan sekaliber Nabiyullah dan Khalilullah Ibrahim Alaihi Salam pun, merasa risau saat usianya beranjak senja dan belum memiliki seorang putra pun untuk meneruskan estafeta dakwah yang diembankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saat tak setitikpun harapan dan usaha serta ikhtiar telah maksimal dilakukan, maka senjata terakhirnya adalah doa. Bermunajat dan bermohon dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati kepada Allah, agar Allah mengaruniakan kepadanya anak keturunan yang shalih yang akan menjadi penerus dakwahnya, dalam bahasa lain, Ibrahim memimpikan dan berdoa akan datangnya seorang kader yang akan meneruskan dan mewariskan perjuangan dan dakwahnya. “Rabbi Habli Minasshalihiin” ‘Ya, Allah, karuniakanlah kepadaku generasi keturunan (kader) yang shalih’.
Hingga lahirlah manusia-manusia (kader) militan dari sosok Ibrahim As, seperti Ismail, Ishak, dan Ya’qub, -yang semuanya menjadi Nabi- yang rela dan ikhlas menyerahkan harta, waktu, tenaga, bahkan jiwa dan nyawa demi untuk perjuangan menegakkan kalimat dan perintah Allah di bumi. Tak terbetik lagi dalam hati dan fikiran, tentang materi dan kenikmatan dunia, kedudukan dan kekuasaan, dan gemerlap serta daya tarik dunia, yang ada hanyalah bagaimana supaya menjadi orang-orang yang bisa mengorbankan semua yang ia miliki untuk Allah dan untuk agama.
Bahkan ketika Ibrahim mengemukakan mimpinya untuk menyembelih Ismail yang ini merupakan perintah Allah SWT, Ismail menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Q.S Ash-Shaafaat : 102)
Tentu saja tidak mudah menghasilkan kader sekelas dan sekualitas Ismail. Diperlukan mujahadah dan pengorbanan yang sungguh-sungguh, tarbiyah dan tempaan yang maksimal, niat yang ikhlas yang bersih dari segala macam interes duniawi dan kebendaan, serta doa dan munajat yang kontinyu di hadapan Allah Yang Maha Segalanya. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim,
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (Q.S Ibrahim : 40)
Shalat, yang merupakan doa Ibrahim agar anak keturunannya tetap konsisten untuk menegakkan dan mendirikannya adalah ciri sekaligus bukti bagi seorang kader dakwah. Shalat adalah media konsolidasi antara seorang hamba dengan Rabbnya, dengan shalat kita menyerap dan mengambil energi Rabbani yang akan mengokohkan dan menguatkan gerak dan laku kita sebagai khalifah sekaligus kader dakwah.
Shalat bukan sekedar ibadah, namun shalat merupakan sarana dan wahana pembentukan watak dan pembentukan mental (takwinul syakhsiyah) sebagai kader dakwah. Pendeknya, militansi seorang kader dakwah, bisa terlihat dari shalatnya. Jika bagus shalatnya (khusyu’, tuma’ninah, terpenuhi syarat rukunnya, sunnah-sunnahnya dll), maka bisa diharapkan bagus kekaderannya, hingga nyawa sekalipun yang dituntut oleh dakwah –seperti Ismail-, akan dia serahkan dengan ridha dan berkata Sami’na wa Atha’na.
Allah Swt menerangkan dalam al-Quran tentang seorang pemimpin beserta kader-kader pengikutnya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Q.S Al-Fath : 29)
Jika kita bertanya, bagaimanakah kader dakwah sesungguhnya? Maka jawabannya adalah dia harus beriman kepada Allah serta beriman kepada Rasulullah SAW, dengan membenarkan apa-apa yang dibawanya tanpa keraguan sedikitpun dan meninggalkan apa-apa yang dilarangnya.
Sekalipun Rasulullah memerintahkan untuk berperang dalam rangka membela agama Allah, maka tak ada celah untuk berkilah, dia harus pergi memanggul senjata dan mengibarkan panji Islam, menegakkan kalimah Allah di seluruh penjuru bumi. Jangan seperti ummat Nabi Musa, yang membiarkan Nabinya berperang sendirian, sedangkan mereka duduk-duduk menunggu dan bersantai-santi menanti kemenangan.
Kader dakwah juga harus mempunyai sikap yang jelas, tidak ambigu apalagi hipokrit (munafik). Sikapnya tegas dan pasti terhadap kekafiran dan kebathilan, lakum diinukum wa liya diin. Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah, ia halalkan, dan mengharamkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Tidak pernah bermuka manis dan lemah lembut terhadap segala bentuk kekafiran, baik kekafiran beribadah, kekafiran berfikir dan beramal (seperti yang dilakukan oleh kalangan JIL), apalagi kekafiran aqidah.
Sebaliknya sikapnya sangat lemah lembut dan penuh kasih terhadap saudara seakidah. Mempunyai toleransi (Tasamuh) yang tinggi dalam menghadapi perbedaan dari segi furu’iyah dan masalah-masalah khilafiyah. Senantiasa saling menolong (Ta’awun) dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam hal keburukan dan kemaksiatan kepada Allah Swt. Suka berempati dan mudah memahami (Tafahum) kesusahan dan kesengsaran orang lain, serta saling menanggung (Tafa’ul) segala beban yang memberati pundak-pundak kaum muslimin. Sehingga tercipta kesatuan hati (Mu’allafatil Qulub), dalam simpul persaudaraan yang sangat kuat, yaitu Ukhuwah Islamiyyah.
Seorang kader militan juga terlihat dari ibadahnya, senantiasa ruku’ dan sujud di hadapan Allah Swt dengan penuh ketundukkan. Apapun yang dikehendaki Allah Swt dari hartanya (Zakat, Infak, Shadaqah), dari waktunya (Silaturrahmi, menjenguk orang sakit), dari tenaga dan fikirannya (Saling bergotong royong, ide-ide konstruktif), bahkan nyawanya untuk berjihad di jalan Allah, ia jalani dengan ridha dan ikhlas hati.
Dengan satu niat dan keyakinan, Jika kalian menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian. Singkatnya, “Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.” (Q.S Al-Baqarah : 110)
Jika suatu jamaah sudah dipenuhi dengan kader-kader dengan karakteristik yang mengagumkan seperti di atas, maka jamaah tersebut akan menjadi jamaah yang terbaik di antara jamaah-jamaah manapun. Sebagaimana jamaah Rasul dan para shahabatnya, yang beliau definisikan sebagai sebaik-baik jamaah, sebaik-baik zaman. “Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).” Wallahu A’lam.
Sholeh Ibnu Munawwir (Lampung)