SHALAT lima waktu nggak nikmat. Baca Al-Qur’an ogah-ogahan. Shalat sunah terasa hambar. Puasa sunah, please nggak dulu deh! Membaca buku pelajaran, modul kuliah atau paper riset, malas banget. Apalagi mengerjakan tugas dan menyelesaikan proyek pekerjaan, bawaannya ngantuk mulu. Bahkan menulis diary sekalipun, bagi yang terbiasa menulis, beraaat men!
Kadang sempat terpikir juga: nggak usah berangkat ke sekolah, kampus, atau ke tempat kerja saja sekalian. Atau yang lagi banyak waktu luang, sudah dua tahun pakai toga tapi masih setia menjadi ‘pengacara’ … opst! ke kamar mandi juga malas. Kerjanya tidur, bangun, tidur, bangun, tidur, bangun, tidur. Lho, apa tuh maksudnya?
Artinya selesai shalat Isya langsung tidur, jam tiga dini hari bangun, matikan alarm jam/hp, tidur lagi, dengar azan Shubuh bangun lagi—beberapa detik, kemudian tidur lagi. Dan bangun lagi jam setengah enam lewat, shalat Shubuh pakai perangko kilat, setelah itu … tidur lagi (inginnya sih)! So, pas seorang eksekutif yang sedang melakukan perjalanan bisnisnya sudah menginjakkan kakinya di negeri Cina, ia masih setia melukis sebuah pulau impian di atas spring bed lusuhnya.
By the way tahu nggak sih, doi terkena penyakit apa? Virus merah jambu? Nggak juga tuh, wong dia sudah nikah kok! Katanya sih dia kena virus merah hati. Gini lho maksudnya.
Kondisi keimanan seorang muslim bisa diumpamakan bak gelombang air di lautan. Dalam satu hari, karena pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi, air laut naik (pasang naik) di sepanjang pantai dua kali. Demikian juga air laut akan turun atau pasang surut dua kali dalam sehari. Keimanan seorang bisa juga diibaratkan layaknya satu noktah kecil yang ada pada permukaan roda pedati yang sedang berputar di sepanjang jalan mulus yang dilaluinya. Dalam satu putaran penuh, sekali ia akan ada di titik puncak dan di saat lain akan terperosok di dasar roda. Kondisi saat keimanan seseorang di titik terendah inilah yang sedang menimpa teman kita di atas. Fenomena ini yang biasa disebut futur.
Secara etimologis, futur berarti diam setelah giat dan lemah setelah semangat. Dalam terminologi Islam, futur adalah terjadinya gejala kevakuman dalam beragama dengan ditandai hilangnya semangat beribadah. Efek terburuk yang ditimbulkannya berupa inqitha (terputusnya aktivitas) setelah istimrar (kontinu). Sedangkan efek minimalnya adalah timbulnya sikap acuh, berkembangnya rasa malas, berlambat-lambat dan santai, dimana sikap tersebut datang setelah sikap giat bergerak.
Fenomena futur sebenarnya adalah masalah yang pasti hadir tanpa ada seorang pun yang dapat mengelak darinya. Mengenai hal ini, tersirat dalam sinyalemen Rasulullah Saw. dalam sebuah sabdanya, “Setiap amal itu ada masa semangat dan melemahnya.” (HR. Ahmad)
Jadi, kayaknya kita tidak usah merasa sebel bin bête kalau ada kawan karib kita yang bawaannya mutung mulu dan selalu bermuka asem saat ketemu. Meski kita sudah menyedekahkan senyum termanis bin narsis kita untuknya.
Sebab di lain waktu, sangat boleh jadi kitalah yang akan berada pada posisinya itu. Menjadi orang yang super menyebalkan sedunia!
***
APA saja penyebab futur?
Secara umum, ada banyak hal yang bisa menyebabkan kondisi keimanan seseorang menjadi down. Tenggelam dan hanyut dalam kemaksiatan, aktivitas kerja yang monoton dan kurang menantang, paper kuliah atau tugas sekolah yang menumpuk minta untuk segera diselesaikan, tuntutan pemenuhan biaya hidup yang semakin melambung dari hari ke hari, hubungan antarpersonal yang mengeruh, lingkungan keseharian yang tidak produktif dan santai, juga termasuk banyaknya waktu luang yang tak terisi dengan kegiatan positif. Adalah beberapa faktor dominan yang bisa menyebabkan futur.
Coba kita cermati saat-saat kita merasa jenuh dengan hari-hari yang kita lalui. Adakah salah satu dari item di atas yang menjadi biang keladinya?
Bagaimana solusinya?
Sesungguhnya ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengobati ‘penyakit’ yang satu ini. Tergantung kondisi masing-masing pribadi yang diserangnya.
Tips berikut ini beberapa di antaranya yang bisa kita coba praktekkan untuk mengobatinya.
Pertama, menjauhi kemaksiatan dan menjaga ketaatan.
Kemaksiatan akan menyebabkan hati menjadi kusam dan sangat kotor. Kemaksiatan menyebabkan seseorang semakin jauh dari hidayah dan apatis dalam hidupnya. Sebaliknya, menjaga ketaatan kepada Allah akan melahirkan energi tak terhingga untuk mengarungi hidup dengan penuh kesungguhan dan orientasi yang jelas. Baik untuk kehidupan dunia maupun bekal kembali ke kampung akhirat kelak.
Kedua, bahagiakan orang lain.
Melihat rona muka ceria dan tawa riang gembira orang lain karena kebaikan yang kita lakukan padanya adalah hal yang membahagiakan kita. Dan hal itu dapat kita raih hanya dengan melakukan hal-hal kecil untuk mereka.
Suatu sore, saya pernah mentraktir sepuluh orang lebih adik-adik TPA dengan membelikan mereka makanan kecil. Kami memakannya beramai-ramai sambil tertawa ceria. Hal itu sangat membahagiakan saya. Dan beban pikiran saya terangkat seketika.
Di lain waktu, saya membelikan pulsa dua puluh ribu untuk adik saya. Beberapa menit kemudian, adik saya sms, “Terima kasih, kakakku yang baik.” Padahal sebelumnya dia tidak pernah mengucapkannya. Seketika itu, saya tersenyum bahagia membayangkan wajah adik saya tersenyum manis kepada saya. Cobalah.
Ketiga, refreshing; yaitu mengalihkan sejenak pikiran kita dari aktivitas keseharian yang monoton.
Refreshing tidak berarti harus mengunjungi tempat-tempat wisata yang jauh dan indah. Tetapi bisa juga sekadar pergi ke sawah di belakang rumah; mencabuti rumput-rumput liar atau mencicipi makanan di dangau sambil menikmati sepoi angin dan mendengarkan cericit burung yang riang beterbangan di angkasa.
Memberi makan ikan-ikan di kolam, membaca kumpulan tulisan dengan tema-tema ringan tapi penuh ibrah di dalamnya, mencoba resep masakan baru bagi yang hobi memasak, mendengarkan nasyid yang membangkitkan semangat untuk berkarya, menonton film yang bisa memberi masukan positif—seperti film-film karya Harun Yahya, bermain bola/futsal, jogging, atau menata ulang komposisi kamar tidur, meja belajar dan ruang kerja kita.
Refreshing bisa juga berarti silaturahim ke rumah saudara sambil bersepeda ria. Atau bahkan sekadar mengirim sms dan menelfon keluarga dan sahabat yang jarang bertemu sambil bertukar kabar dan info terkini. Dan masih banyak lagi aktivitas ringan yang bisa menjadi sarana untuk memulihkan kondisi down yang kita alami.
Keempat, buat resolusi singkat untuk diri sendiri.
Resolusi bisa dengan kata-kata positif, namun bisa juga dengan kata-kata negatif yang bermuatan positif. Buat dengan huruf tebal, komposisi menarik, dan jelas terbaca. Kemudian pasang di cermin atau di meja belajar.
Misal, “Be SPIRIT, please! There are still a lot of CHANCES for you!” atau “Futur? Jontor, lu!” dan lain sebagainya.
Setiap kali membacanya insya Allah akan memberikan masukan positif bagi pikiran kita dan mengingatkan tentang berbagai akibat yang tidak menyenangkan jika kita terus berkompromi dengannya. Ingat bahwa penyesalan selalu datang di kemudian hari saat semuanya sudah terlanjur terjadi dan tak mungkin diulang kembali.
Buatlah resolusi yang berbeda setiap kali kita merasa resolusi pertama yang kita buat kurang optimal dan tidak membuahkan perubahan berarti pada keseharian kita.
Kelima, memperbarui program aktivitas pribadi.
Meninjau ulang jadwal aktivitas harian secara objektif dan menentukan susunan prioritas kegiatan yang akan dilakukan. Dengan memetakan kembali secara rinci tujuan-tujuan yang ingin kita capai dan membuat langkah-langkah pencapaiannya, akan memberi ruang lebih pada otak kita untuk berpikir lebih jernih dan sekaligus dapat meminimalkan resiko stress yang menyebabkan futur.
Keenam, buka mata buka telinga.
Cermatilah lingkungan sekitar kita. Ada pohon mangga yang berbuah lebat dan ranum. Tak jauh darinya, pohon rambutan sedang berbunga dan tak lama lagi akan memberikan buahnya yang manis dan banyak mengandung vitamin C. Di dalam sebuah pot mungil, melati putih menebarkan bau harumnya yang semerbak.
Lalu bertanyalah, “Apa yang telah aku sumbangkan untuk lingkungan sekitar? Apakah aku sudah lebih baik—bahkan sekadar dari pohon mangga, pohon rambutan, dan sekuntum mawar?”
Karena bukan hal yang mustahil jika kehadiran mereka jauh lebih berharga daripada keberadaan kita yang tidak melakukan apa-apa. Bukankah yang terbaik di antara kita adalah yang paling banyak manfaatnya bagi sesama? Dan predikat itu tidak mungkin kita raih jika kita hanya bermalas-malasan tanpa beraktivitas positif dan bernilai manfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Karena hanya orang-orang yang memiliki nilai plus saja yang bisa bermanfaat bagi lingkungannya.
Ketujuh, ingatlah bahwa kelak kita akan dihisab sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang kita perbuat dalam kehidupan ini.
Katakanlah, “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.” (QS. Saba’ [34] : 25).
Kita tentu tidak ingin melihat teman-teman sepermainan kita tertawa di surga, sementara kita sendiri dijebloskan ke jurang neraka. Karena timbangan kebaikan kita lebih sedikit daripada kesia-siaan yang dikerjakan. Sebab mereka jauh lebih banyak melakukan ketaatan daripada kita yang larut dalam kemalasan berkepanjangan.
Ya, ingatlah selalu bahwa kelak kita tidak akan dihisab secara berjamaah. Melainkan sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang sudah kita perbuat di dunia ini.
Kedelapan, berdoa.
Memperbanyak membaca doa mohon perlindungan dari sifat malas sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah Saw.
Allahumma innii a’uudzubika minal hammi wal-hazan, wa a’uudzubika minal ‘ajzi wal-kasal, wa a’uudzubika minal jubni wal-bukhl, wa a’uudzubika min gholabatid-dayni wa qohrir-rijaal.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan ke-sedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dan dari tekanan hutang dan kesewenang-wenangan orang.
***
IBNUL Qoyyim Al-Jauziyah berkata, “Saat-saat futur bagi seseorang yang beramal adalah hal wajar yang harus terjadi. Selama ia tidak keluar dari amal-amal fardu dan tidak melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah, diharapkan ketika pulih ia akan berada dalam kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.”
Kita harus berusaha agar saat kondisi futur menyerang tetap berada di jalan yang diridhai-Nya. Sehingga ketika sudah terlepas darinya, kita menjadi pribadi yang setingkat lebih baik dari kondisi kita sebelumnya.
Allahu a’lam bish-shawaab! (*)
Karangkandri 2o Maret 2oo6 11:o8 p.m — Yogyakarta 13 Desember 2o1o 11:55 p.m
http://lakonhidup.wordpress.com