Berdialog dari hati, akan sampai ke hati pula. Demikian, kata seorang teman, sekaligus guru ngaji saya, sebut saja namanya Mr G, beliau adalah dosen salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto.
Benar, ketika beliau memberikan kajian dan nasehatnya kepada saya dan teman-teman, dalam acara kajian rutin pekanan (liqo’at), kadang temanya biasa saja, tema umum, tapi, karena seperti yang sering beliau pesankan, bicaralah dari hati ke hati, ternyata memberikan kesan tersendiri, ada bekasnya. Apa yang diucapkannya, walau terlihat sederhana tetapi bisa mengena di hati.
Seni menata hati ini perlu menjadi perhatian, apalagi untuk para kader dan aktivis dakwah. Mereka tak lepas dari kewajiban untuk menyebarkan ilmu, bersama-sama saling nasehat menasehati agar senatiasa hidup dalam lindungan cahaya Al-Qur’an, dengan syari’at Islam. Ketika Islam disebarkan dengan keras, tergesa-gesa, mementingkan doktrin semata, tentunya hal ini kurang baik, kurang berkesan. Bisa jadi, orang malah lari dari Islam.
Para kader dakwah, perlu memainkan seni ini, seni kelembutan hati, seperti yang telah disebutkan oleh Allah SWT dalam AL-Quran untuk memberikan gambaran bagaimana kelembutan hati ini dimiliki oleh Rasulullah “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Âli ‘Imrân: 159). Demikian kira-kira gambarannya. Teorinya mudah memang, tapi kadang perlu sedikit latihan untuk bisa mempraktekkannya.
Sebenarnya, untuk bisa berdialog dari hati ke hati dan penuh kelembutan ini berawal dari adanya hati yang bersih, adanya bening hati. Bisa diibaratkan seputih salju di gunung. Senantiasa bersih, walau sendirian. Kita pun begitu. Hati yang bening, akan menghasilkan akhlak dan perilaku yang menjadikan orang lain senang. Lewat kelembutan dalam bertutur, kata-kata yang tidak kasar kepada orang lain atau sekedar senyuman dan sikap ramah kita. Hal ini menjadi potensi yang stratategis bagi kita untuk bisa menjadi pribadi magnetis. Pribadi yang mempunyai daya tarik tersendiri. Jelas, hal ini perlu kita miliki, sebab kita adalah da’i sebelum menjadi sesuatu. Apa jadinya kalau da’i, seorang penyeru kok dijauhi orang lain. Sangat lucu bukan…?
Maka dari itu, tampakkanlah pribadi magnetis kita dihadapan orang lain. Bukan dengan niat tebar pesona, tapi dalam rangka menjadikan semakin banyak orang yang mau kembali bersama-sama mempelajari Islam dan mengamalkannya.
Sekali lagi, dalam rangka mewujudkan hal di atas, kita perlu menjadi seputih salju di gunung. Senantiasa mempunyai hati yang bening yang berujung pada akhlak dan perilaku yang mengesankan, lembut, tegas perlu tetapi tidak keras apalagi kasar. Mungkin, kita bisa menjaga hal itu dihadapan orang lain. Bukan untuk jaim (jaga image) semata, tapi benar-benar karena kita seorang muslim dan perlu untuk menjadi sosok semacam itu.
Yang sulit mungkin disaat sendirian. Salju di gunung, tetap putih, bening disaat sendirian. Kita pun seharusanya begitu. Dalam kesendirian, hati dan sikap kita juga semestinya dijaga. Jujur, saya masih sulit untuk melakukan itu. Di dalam kesendirian tapi bermakna. Saya kadang malu sama Allah SWT ketika sendiri, tetapi disaat itulah hati saya tak bening, begitu juga perilaku yang kurang pantas. Saya sadar, Allah SWT melihat saya dikala sendirian. Tapi, kadang disaat itulah seolah saya tak menghadirkan Allah SWT dalam kesendirian saya.
Saya ingin hati saya seputih salju di gunung,
Walau dalam kesendirian tapi tetap bermakna,
menghadirkan Allah SWT ketika sendiri.
Kini saya sedang berusaha melakukannya.
~Snow Man Alone~
Purwokerto, awal Januari 2007
Teriring salam ukhuwah untuk teman-teman
KAMMI, FLP dan Indonesian Muslim Blogger (IMB)