Hari itu adalah hari yang sama seperti pekan-pekan lalu. Aku berjalan sendirian, tanpa tergesa, menuju ke Musholla kecil yang disulap menjadi Masjid jami’, tempat sholat jum’at diselenggarakan. Aku berjalan di trotoar, sambil mengamati kegiatan di sekelilingku.
Daerah ini hanyalah sepotong ruas jalan yang tak berbeda dari ruas-ruas jalan lainnya di Ibu Kota. Ruas-ruas jalan yang menyimpan banyak paradoks. Di pinggir-pinggir jalan berjejer gedung-gedung jangkung, ruko-ruko, show room (yang jejeran mobil di dalamnya membuat nafasku tertahan. Betapa tidak, mobil sekelas Innova pun jadi terlihat sederhana di dalam show room tersebut). Namun jika kita melongok sedikit saja ke balik gedung-gedung yang rajin bersolek tersebut, kita akan menemukan wajah lain ibu kota. Wajah gang-gang kecil yang kumuh, rumah yang berdesak-desakan, got-got yang menghitam, dan serombongan anak kecil berseragam merah putih yang berlari-larian, tetap ceria dengan segala kesumpekan itu.
Aku pun melewati jembatan, yang air di bawahnya mengingatkanku pada jamu paitan yang hitam pekam. Bahkan ikan cere kecil yang tahan banting itu mungkin tak akan bisa bertahan hidup di sana.
Namun tiba-tiba pandanganku terhenti. Ada seorang ibu menyelinap di sela-sela pagar pembatas kali, dengan kopi mengepul-ngepul di tangan kanannya, dan sabun cuci di tangan kirinya. Dengan hati-hati ia bergerak menuruni lereng kali, menuju ke kolong jembatan. Barulah aku menyadari bahwa sebenarnya memang ada kehidupan di kolong jembatan yang gelap itu. Ada beberapa baju dijemur di kolong sana.
Untuk siapa kopi yang diantar ibu tadi? Untuk suaminya kah? Dan sabun itu, untuk mencuci pakaian siapakah? Pakaian ibu tadi, dan suami serta anak-anaknya? Anak-anak? Adakah anak-anak yang tinggal di kolong jembatan yang terlihat seram itu?
Usai melewati jembatan, ada sepotong taman kota yang terhampar. Pasti Pemda DKI berniat memberikan layanan berupa paru-paru kota, agar penduduk DKI tidak terlalu pengap dan mengurangi racun yang setiap hari mereka hirup dari asap-asap knalpot yang tak pernah berhenti berhembus di jalan-jalan.
Namun taman ini seperti tertular kesuraman di kolong jembatan tadi. Tak ada keindahan dan nihil kebersihan. Pohon-pohon di sana seperti menyesal telah ditanam di lokasi itu. Taman itu kotor. Beberapa orang duduk-duduk dan tidur-tiduran di bangku yang tersedia. Mereka adalah gelandangan, para kuli penggali jalan (terlihat dari perlengkapan kerja mereka, berupa pacul dan pengki), dan orang-orang bertampang kumuh yang tak teridentifikasi profesinya. Di sudut taman yang agak terpisah, tampak tukang-tukang ojeg yang duduk melamun menunggu penumpang.
Namun, tak jauh dari taman yang menyedihkan tadi, berjejeranlah di pinggir-pinggir gang beraneka tukang jajanan. Tukang gado-gado, soto mie, tongseng, tukang buah, dan lain-lain. Pelanggan mereka adalah orang-orang kantoran, yang selalu berbaju rapi, kadang berdasi, dan terlihat santai saja makan di pinggir jalan mengisi perut mereka yang kosong di tengah hari itu.
* * * * *
Malam hari, dalam perjalanan pulang, kutemukan lagi paradoks lain. Terhenti oleh lampu merah, mataku menatap ke sekeliling. Beraneka restoran mewah mengepungku. Mobil-mobil mulus nan mengkilap memantulkan lampu-lampu jalan berjejer anggun di pelataran parkirnya.
Tepat di bawah lampu merah, dua orang anak usia SD (mungkin kakak beradik?) bercanda riang, seolah mereka tengah bermain di tempat wisata yang ceria. Di tangan mereka ada kecrekan, peralatan standar untuk mengamen. Tak hirau dengan kemacetan lalu lintas, tak khawatir tersenggol mobil mewah. Saat itu sudah lewat jam sembilan malam. Apakah mereka tak pulang? Jika pulang, ke manakah? Apakah orang tua mereka tidak khawatir dan mencari? Anak-anakku saat ini pasti sudah tertidur lelap, setelah sebelumnya minum segelas susu hangat, dan mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur.
Apakah anak-anak jalanan ini masih punya cita-cita? Masih beranikah mereka bermimpi? Atau mimpi mereka sudah mati, lemas tercekik oleh debu dan polusi jalanan?
Apa yang terlintas dalam pikiran bapak yang mengendarai mobil mewah di sebelah sana? Adakah ia menyimpan keprihatinan yang sama denganku? Ah, mungkin di balik sikapnya yang seperti tak peduli itu, sebenarnya ia memiliki yayasan yatim piatu, yang secara rutin menolong kaum dhuafa. Kita toh tak boleh berpikiran negatif dan sinis, hanya karena melihat seseorang berpenampilan wah.
* * * * *
Setiap hari, setiap kali menempuh perjalanan entah dari mana, aku seperti melakukan Isra dan Mi’raj. Teringat penggalan pesan suci ilahi di ayat pertama surat Al-Israa’,
Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambaNya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid Al-Haraam (di Makkah) ke Masjid Al-Aqsa (di Palestin), yang Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.(Surah Al-Israa’, Ayat 1)
Pointnya adalah pada penggalan kalimat
untuk memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami
Tak pelak lagi, apa yang kulihat saat ini adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasanNya. Namun pertanyaan yang menyusul kemudian sungguh semakin menggelisahkan. Apa hikmah dari ini semua?
Jawabannya muncul secepat pertanyaannya. Dalam ayat lain, Allah telah mengingatkan,
Dia lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang yang bertaubat). (Surah Al-Mulk, Ayat 2)
Jadi, kira-kira maksud dari ayat ini adalah hendaknya setiap kita bertanya kepada dirinya masing-masing, apa hal terbaik yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini. Jika sepakat ini adalah situasi yang perlu diperbaiki, maka apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki situasi. Namun terkadang kita juga perlu berdamai dengan diri sendiri, karena boleh jadi kapasitas kita dalam berbuat tidak akan mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang ada.
Kemampuan, karunia atau pun rizki yang diterima setiap orang sangatlah bervariasi. Dengan demikian tanggung jawabnya pun berbeda-beda. Persoalannya adalah, dengan rizki dan karunia yang ia miliki, apakah ia memperolehnya dengan cara yang dibenarkan Allah, dan kemudian menyalurkannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri? Atau apakah ia hanyalah hamba dunia, yang mengejar dunia dengan segenap upaya, dan menikmati itu semua untuk diri sendiri dan para kroninya?