Saya memandang deretan buku-buku yang saya miliki. Saya memandangnya sambil mengerinyitkan dahi dan merenung sejenak. Setiap bulan saya membeli satu-dua buku, yang memang telah saya anggarkan sebelumnya. Sehingga pada saat ini sudah terkumpul ratusan buku, mulai dari non-fiksi hingga fiksi. Saya memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mempunyai sebuah perpustakaan besar berisikan buku-buku bermutu.
Kadang saya membeli buku tapi buku itu tidak langsung saya baca atau paling tidak, sedikit saya baca. Saya tidak menganggap membeli buku sebagai suatu hal yang merugikan, bahkan ia adalah investasi jangka panjang untuk saya. Suatu waktu buku-buku itu saya baca dan menjadi bahan kepustakaan dari tulisan yang saya buat. Dari tulisan itu kemudian saya kumpulkan dan jadilah sebuah buku. Dari buku itu saya mendapat penghasilan tambahan.
Tapi saya sadar, seolah ada beban berat yang menghimpit punggung saya. Saya mengetahui suatu hal, insya Allah saya mendapat pahala dari pencarian ilmu tersebut. Tapi itu belum cukup, ada konsekuensi yang harus saya jalani setelah saya mendapatkan ilmu, yaitu mengamalkannya. Itulah yang menjadi beban saya. Seringkali saya merasa lemah untuk mengamalkan sebuah ilmu, padahal dari sana saya akan mendapat “ilmu baru” yang oleh para ulama sebut sebagai “hikmah”. Seorang ulama pernah mendefinisikan “hikmah” sebagai hasil dari perpaduan antara ilmu dan amal. Orang tidak mungkin mendapatkan hikmah shalat khusyu, sebelum ia sendiri shalat dengan sempurna. Orang tidak mungkin mendapatkan hikmah puasa sebelum ia sendiri berpuasa. Itulah yang menjadi penyebab mengapa peradaban Islam terus berkembang di masa lalu, yaitu berhasil memadukan antara ilmu (theory) dan amal (practic).
Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, di mana seorang yang – meskipun berilmu tinggi – tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan.
Di dalam ilmu hadits, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.
Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh.
Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya, meskipun amalnya bejat. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens.
Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius dan peraih Nobel Sastra tahun 1954, tidak memiliki agama yang jelas dan ia ditemukan mati bunuh diri. Foucoult, ilmuwan yang sangat dikagumi aktivis Islam Liberal, adalah ilmuwan yang suka main perempuan dan mabuk-mabukan.
Islam jelas sangat berbeda dengan agama yang lain, misalnya Yahudi. Islam sangat menghargai orang yang menuntut ilmu sekaligus orang yang mengamalkannya. Di dalam agama Yahudi, mempelajari ilmu itu memang suatu kewajiban bagi mereka, sehingga sangat banyak orang-orang Yahudi luar biasa cerdasnya, sebut saja, misalnya, Albert Einstein. Namun mereka kerap tidak mengamalkan ilmu yang mereka miliki untuk kebaikan. Mereka mengetahui Taurat, tetapi mereka tidak mengamalkannya.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 5).
Yang dimaksud dengan “tiada memikulnya” pada ayat di atas adalah, tidak mengamalkan isi Taurat. Dalam ayat itu juga Allah mengibaratkan mereka seperti “keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” “Keledai” identik dengan binatang yang bodoh, lamban, dan ia bertambah lamban ketika membawa kitab-kitab yang tebal. Kitab-kitab itu sendiri berisi ilmu pengetahuan yang bermanfaat, namun karena yang membawanya bersifat buruk, jadinya ilmu itu menjadi tidak bermanfaat baginya. Ilmu itu hanya untuk ilmu itu sendiri. Mereka berkutat pada bentuk-bentuk lahiriah semata. Dan inilah yang mengakibatkan mereka menjadi penganut paham materialisme. Semoga kita terhindar dari yang demikian itu.