Lebaran sudah di depan mata. Terbayang sudah keindahannya. Sholat Ied berjamaah di lapangan dan berkumpul bersama seluruh keluarga adalah moment yang sangat dinantikan.
Kemarin saya pergi ke sebuah mall di Samarinda. Tak seperti hari – hari biasanya. Hari menjelang Lebaran memang selalu penuh sesak dengan manusia. Stand – stand baju, sepatu, sampai stand kue kering berlomba menawarkan ragam diskon untuk menarik pembeli. Mungkin karena terbiasa tinggal di kota kecil yang lowong seperti Sengata, rasanya saya tak betah berlama – lama dalam suasana sesaknya.
Ketika saya terpaksa harus mengantri di kasir, tak sengaja mata saya terpaku pada seorang bapak yang di kelilingi tiga orang anaknya. Di stand sepatu persis di seberang meja kasir tak jauh dari tempat saya berdiri. Tampak si anak merengek – rengek ingin di belikan sesuatu. Seorang menarik bajunya, seorang menarik – narik tangannya, bahkan anaknya yang paling kecil sudah menangis bahkan sampai duduk di lantai. Suara tangisnya yang nyaring, membuat beberapa pasang mata melotot tidak suka. Sadar akan hal itu, segera di rengkuhnya si anak yang menangis di lantai lalu di dekapnya di gendongan. Si bapak nampak sabar menjelaskan kepada anak – anaknya, agar dapat lebih tenang. Mungkin isi kantongnya tak mampu membayar semua permintaan sang anak.
Tiba – tiba saya teringat kenangan masa kanak – kanak dulu. Ketika, saya dan adik – adik yang selalu egois menuntut sesuatu di setiap Lebaran. Bahkan kadang di sertai dengan ancaman dan merajuk tak mau ikut lebaran kalau sampai keinginan beli baju dan sepatu baru tidak di turuti. Astaghfirullah…, ada rasa bersalah yang sangat menyeruak kalbu …
Saya mencoba merasakan apa yang berkecamuk dalam kepala dan hati si Bapak itu. Pastilah ada keinginan untuk meluluskan keinginan sang anak. Membelikan apa yang mereka minta, walaupun harus menepiskan keinginannya sendiri.
Pastilah, perasaan itu pula yang di rasakan oleh papa. Beliau rela memakai baju koko yang itu – itu saja bila lebaran tiba. Hanya agar keinginan kami terbayarkan. Menenggelamkan keinginan hatinya hanya demi melihat senyum – senyum lebar kami saat memakai baju dan sepatu baru di hari Lebaran.
Lamunan saya terhenti ketika tiba giliran untuk membayar di kasir. Saya lalu membereskan barang yang saya beli lalu bergegas meninggalkan mall yang penuh sesak tersebut.
Sepanjang perjalanan pulang, rekaman kejadian di mall tadi kembali berputar – putar di kepala. Membuat kerinduan pada papa kembali hadir dalam hati.. Dari beliaulah kami belajar, bagaimana cara mengelola diri dalam Ramadhan. Beliaulah yang membuka mata dan hati kami dengan kunci kesederhanaan. Sayang, tak lama moment Ramadhan dan Lebaran yang kami lalui bersama. Beliau berpulang di saat kami menjelang dewasa dan mulai mengerti apa arti hari kemenangan sesungguhnya
Sekuntum doa saya bacakan untuk papa. Ya Allah, ampunilah seluruh dosa – dosa papa. Gantikanlah setiap tetes keringatnya dalam mencari rezeki untuk kami dengan butir – butir pahalaMu. Lapangkanlah kuburnya ya Rabb. Sayangilah papa, sebagaimana beliau selama ini menyayangi kami anak – anaknya. Rasa rindu yang membuncah membuat butiran airmata deras mengalir di pipi.
Lebaran sebentar lagi. Itu artinya pertemuan dengan Ramadhan penuh berkah tinggal dalam hitungan hari. Tak ada lagi tarawih bersama, tak ada lagi serunya makan sahur dan tak ada lagi nikmatnya berbuka puasa bersama.
Ya Rabb, Semoga sepercik rindu saya pada papa, sama seperti kerinduan hati untuk dapat kembali lagi bertemu dengan RamadhanMu yang indah dan bersiap diri menyambut hari Kemenangan …
I really miss u, papa …
Ujung Musholla, Oct’07