Pagi kemarin kami sekeluarga dijemput seorang sahabat menuju sebuah gedung yang akan dijadikan arena pertandingan bulutangkis. Sesampai di tempat, suasana masih terasa lengang. Beberapa panitia sedang sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk kelancaran acara yang dirancang sebagai milad pertama berdirinya yayasan yang memayungi masjid Indonesia di Berlin.
Kedatangan saya ke sana bukanlah sebagai peserta turnamen tersebut. Saya hanya berniat silaturahim dengan warga Indonesia yang jarang atau belum pernah saya temui di masjid atau tempat-tempat lainnya sejak hampir tiga tahun kami tinggal di Berlin.
Semakin siang, orang-orang mulai memenuhi gedung. Ternyata yang hadir memeriahkan kejuaraan itu sangat beragam mulai dari balita, anak-anak, remaja, pemuda-pemudi sampai orang yang sudah lanjut usia. Tak hanya orang Indonesia, orang Malaysa, Jerman dan India pun turut serta.
Di tengah suasana pertandingan bulutangkis yang seru, saya berkenalan dengan seorang wanita keturunan Cina berdarah Manado. Perkenalan yang unik, karena wanita tersebut awalnya ingin tahu siapa mama dari balita yang melintas di hadapannya yang tak lain adalah putri saya yang sedang bermain-main bersama kakaknya di tepian gelanggang. Kemudian seorang sahabat memperkenalkannya pada saya.
Setelah berjabat tangan dan saling menyebutkan nama, kami pun terlibat obrolan. Tiba-tiba saja pembicaraan kami menjurus pada keingintahuannya pada Islam.
Dia bertanya banyak hal tentang ajaran Islam, citra Islam yang buruk di mata orang Barat, peristiwa tahun 1997 di Jakarta yang menyebabkan trauma sebagian warga Indonesia keturunan juga peristiwa terkini seperti ayat-ayat fitnah.
Sekalipun sedikit kaget dengan semua pertanyaan yang dilontarkannya dengan begitu antusias, saya berusaha tenang dan memohon pertolongan Allah agar bisa memenuhi rasa ingin tahunya.
„Mba…sebenarnya masih ada sedikit ragu, tapi sekarang saya sekarang tertarik pada Islam. Saya pun ingin seperti mba memakai jilbab. Boleh enggak mba, saya memakainya sekalipun belum banyak tahu tentang Islam?“
Tiba-tiba saja berondongan kata-kata itu meluncur, rasanya saya tak percaya mendengar semua itu. Saya tatap mata sipitnya dalam-dalam. Ada kesungguhan di sana. Rasa haru tiba-tiba menyeruak hati, hingga tak keluar sepatah kata pun. Pertanyaan yang satu ini sungguh di luar dugaan. Kugenggam tangannya erat-erat…“Benar nih?“ tanya saya untuk meyakinkan hati atas apa yang baru saja didengar. „Ya, saya akan berusaha belajar lebih dalam tentang Islam!“ ujarnya mantap.
Tanpa menunggu komentar saya, dia kemudian bertanya lagi.
„Aneh enggak ya Mba kalau orang-orang lihat saya pakai jilbab? Soalnya di sini yang biasa pake kan yang berwajah Arab, Turki atau Melayu, padahal kan mata saya sipit?“
Saya tersenyum mendengar pertanyaannya, … „Lihat sahabat saya yang Jerman tadi kan, aneh enggak lihatnya? “…Saya coba mengingatkan dia pada sahabat kami dari Jerman yang juga berjilbab. „Semua orang tentunya akan merasa aneh melihat siapapun saat pertama kalinya berjibab atau melihat orang-orang yang berasal dari kalangan bukan pemeluk Islam seperti orang-orang Eropa, Jepang atau Cina, “ ujar saya panjang lebar.
Dia tercenung lama, sesaat kemudian panitia mengumumkan waktu shalat Dzuhur telah tiba. Saya pamit sementara padanya dan bergegas mengambil air wudhu.
Seusai shalat, wajah dan kata-katanya tiba-tiba melintas kembali dalam benak saya. „Ya Allah, mudahkanlah jalan baginya untuk mengenalMu, limpahkanlah hidayahMu padanya, hanya Engkaulah yang dapat memeberikannya petunjuk“ pinta saya kepada Sang penggenggam hati.
„Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk“(QS. Al-Qashash:56)
Saat berpamitan hendak pulang, dia kembali menghampiri dan memeluk saya begitu lama. Dia meminta saya agar menyempatkan waktu ke rumahnya. „Insya Allah!“ jawab saya sambil membalas pelukannya dengan penuh rasa sayang. ***