Sudah bertahun-tahun saya menyandang status sebagai pelajar, bahkan sampai umur yang sudah dewasa sekarang ini, kebanyakan status profesi resmi saya adalah sebagai pelajar (mahasiswa) ketimbang pekerja. Meski demikian, ternyata saya baru menyadari bahwa selama ini saya tidak – atau setidaknya belum – sungguh-sungguh “belajar”. Bukan saja belajar dalam posisi saya yang memang sebagai pelajar, tetapi lebih dari itu, belajar dalam setiap bagian kehidupan saya sebagai manusia dan terutama lagi sebagai seorang muslim.
Semua ini bermula siang itu ketika saya yang hendak menuju ke sebuah komputer di sebuah warnet. “Assalaamu’alaikum, Sari ya?” sebuah suara memanggil saya. Saya menoleh ke arah suara tersebut. Seorang wanita muda berkerudung tersenyum ke arah saya. Saya pun menjawab salamnya dengan muka bingung karena saya merasa tidak mengenal wanita tersebut.
“Aku Ayu, temanmu di SMP dan SMA, ” sambungnya lagi. Saya pun terperangah tak kuasa berkata apa-apa selain menyebut “Subhanallah” berkali-kali. Betapa tidak, teman yang dulu saya kenal sebagai penganut Hindu yang taat itu siang itu berdiri di depan saya dengan balutan busana panjang lengkap dengan jilbabnya yang rapi. Acara nge-net siang itu pun berganti menjadi temu kangen setelah bertahun-tahun berpisah karena kami melanjutkan pendidikan ke universitas yang berbeda.
Merasa penasaran, saya pun segera menanyakan alasan mengapa dia memilih menjadi seorang muslimah. Mulailah dia bercerita bahwa sejak SMA, saat pelajaran agama Islam berlangsung dia memilih untuk tetap tinggal di kelas daripada keluar. Ternyata dari acara mendengar tidak sengaja, dia mulai berpikir dan menganalisa sampai akhirnya dia berkesimpulan, bahwa Islam is not only a bunch of ritual teachings, begitu dia menyebutnya, tapi lebih dari itu adalah sebuah jalan hidup. Ia pun tergerak untuk mencari tahu apa dan bagaimana Islam, meski hidayah benar-benar menjemputnya ke pangkuan Islam setelah dia menikah dengan seorang pemuda muslim di tahun pertama kuliahnya. Saya pun hanya bisa manggut-manggut kagum mendengarnya.
Apa yang saya dengar berikutnya membuat saya lebih terperangah. Bagaimana dia akhirnya berjuang dengan ujian hidup yang teramat berat, yaitu terpaksa bercerai di usia muda, serta menjadi muslim seorang diri di keluarga besarnya. Merasa belum puas, saya kembali bertanya sejak kapan dia memakai jilbab. Dia pun meneruskan ceritanya, akan keinginannya untuk menunjukkan bahwa dia menjadi muslim bukan karena pernikahan semata. Berstatus muallaf membuat dia merasa berkewajiban mengetahui benar-benar apa yang dipilihnya dan belajar mencari apa yang belum diketahuinya. Memakai jilbab adalah salah satu hasilnya. Tak berhenti sampai di situ, statusnya sebagai janda di usia muda pun tak menghalangi langkahnya untuk belajar Islam lebih serius di berbagai kesempatan meski pandangan masyarakat yang miring kerap menjadi penghalang besar.
Apa yang saya saksikan siang itu – lima tahun setelah dia mengucap syahadat – adalah hal yang sangat jauh berbeda. Kini ia adalah seorang muslimah yang rapi berkerudung, fasih membaca Al-Qur’an, fasih pula mengutip hadits-hadits shahih sebagai hujjahnya dalam memandang setiap persoalan, dan juga penuh optimisme memandang dunia dengan keyakinan hati yang begitu kuat bahwa ada hikmah di balik setiap kejadian, bahwa ada kekuatan dalam setiap untaian do’a, kekuatan untuk mengubah langit sekalipun.
Bertemu dengannya membuat saya seperti pelajar kesiangan. Bukan tentang keputusannya untuk memeluk Islam, bukan pula jalan hidupnya, melainkan pada bagaimana ia begitu cepat belajar. Hanya dalam rentang waktu lima tahun, apa yang diketahuinya tentang Islam mungkin lebih baik dari apa yang saya ketahui setelah lebih dari dua puluh tahun mengklaim diri sebagai seorang muslim. Saya pun hanya bisa bertanya pada diri sendiri tentang apa saja yang sudah saya lakukan selama ini yang seperti tanpa hasil yang berarti.
Satu hal yang terus saya ingat adalah ketika dia mengatakan bahwa dia telah berhenti dari pekerjaan yang baru saja didapatnya karena dia merasa banyak hal dalam pekerjaannya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sekali lagi saya hanya bisa terperangah. Bukan, bukan karena alasannya yang memang sangat mengagumkan, tetapi pada bagaimana dia telah melangkah lebih jauh menjadi muslim penuntut ilmu sejati, yang bukan sekedar mencari tahu tetapi telah menerapkan apa yang telah diketahuinya, memegang teguh prinsip amal setelah ilmu, meski dihadapkan pada pilihan yang tidak selalu mudah.
Jikalau dahulu para sahabat tak berani mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an yang lainnya sebelum betul-betul mengamalkannya, kini teman saya begitu tekun mencari tahu dalam setiap ketidaktahuannya. Sementara, saya masih berkutat dengan sedikit peduli dan sedikit mencari. Saya masih berputar-putar pada mencari ilmu tetapi akhirnya hanya kembali tersimpan menjadi tumpukan buku yang berdebu.
Apa yang dituturkannya siang itu betul-betul membuka mata saya bahwa saya belum pernah menjadi seorang pembelajar sejati seperti dirinya. Pembelajar sejati adalah seorang yang dengan segala kerendahan hati mengakui kesalahan dan kebodohan diri, seseorang yang mempergunakan seluruh kapasitas yang ada dalam dirinya untuk mengejar ketertinggalannya, dan terus menerus memperbaiki kesalahannya. Pembelajar sejati bukan terletak pada banyaknya koleksi buku yang dimiliki, bukan pula pada rentetan gelar sebagai bukti banyaknya ilmu yang dikuasai, tetapi lebih dari itu, pembelajar sejati adalah sesorang yang selalu membuka mata membuka hati untuk melihat sekelilingnya dan mencari jawaban pasti terhadap apa masih gelap bagi dirinya. Seorang yang selalu bersungguh-sungguh mencari tahu sebagai konsekuensi logis status ketidaktahuannya, yang pada akhirnya bermuara pada perubahan cara berpikir dan berperilaku yang lebih baik, sebagai buah atas segala apa yang telah diketahuinya.
Menjelang pagi di kaki Semeru, ikesari_2304@yahoo. Com