Angkot ini hampir penuh, mungkin hanya tersisa tempat duduk untuk satu orang lagi. Tepat dihadapan saya, seorang gadis kecil berbaju lusuh dan berambut kusam duduk dengan tenang. Umurnya sekitar 10 tahunan. Rinjing hitam yang dibawanya lumayan besar. Saya menduga dia hanya sendirian saja. Ya, tipe gadis cilik desa yang terbiasa mandiri.
Angkot masih enggan melaju, berharap masih ada penumpang yang akan naik. Saya sedang memburu waktu dari Pandeglang menuju stasiun Kereta Api Rangkas. Syukurlah dua orang penumpang kemudian naik. Seorang pria sekitar 27 tahunan meminta gadis cilik menggeser duduknya. Karena ruang duduk tidak memadai untuk tambahan dua orang lagi, maka pria tersebut dengan sukarela mengambil inisiatif untuk memangku gadis kecil itu.
Beberapa waktu melaju, saya menikmati pemandangan rimbun pohon hijau dan persawahan. Subhanallah, tempat ini selalu menimbulkan pesona dan gairah bagi saya. Saya merasa hidup dalam kedamaian ketika berada di desa ini. Sampai kemudian seketika saya menyadari. pandangan saya berpapasan pada lelaki yang memangku gadis cilik tersebut. Tatapan pria itu tidak biasa. Entah karena berita tentang pelecehan yang akhir – akhir begitu membetot perhatian, atau karena memang saya tengah mengalami paranoid akan hal itu, saya mencoba membaca wajahnya dengan lebih detail dan seksama lagi. Saya melihat tatapan matanya adalah tatapan kurang ajar.
Senyumnya adalah seringai pelecehan. Darah saya langsung berdesir hebat, saya ingin marah tapi saya tidak bisa menumpahkannya langsung. Karena pelecehan yang dilakukannya bukan ditujukan untuk saya, tapi kepada gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Sekilas tidak akan tercium gelagat aneh tersebut, namun saya melihat gadis kecil itu risih, sebentar-sebentar dia bergerak memperbaiki posisi duduknya. Laki–laki kurang ajar itu leluasa menjalankan aksinya, rinjing besar yang dipangku gadis kecil membuat dia merasa aman. Saya sungguh merasa murka, amarah saya sudah berada dipuncak ubun-ubun, sementara penumpang yang lain tidak menyadari akan kejadian ini. Dalam hati saya berdo’a dan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan untuk menghentikannya. Karena sungguh gadis ini tidak berdaya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Dengan keberanian yang saya kumpulkan, akhirnya saya tarik lengan anak gadis itu. “Kadieu Neng, calik sareng teteh.”
Beberapa detik kemudian gadis itu telah berpindah berada dipangkuan saya. Laki-laki dihadapan saya kaget, matanya menatap tajam. Saya tak henti berdo’a. “Memangnya anak ini siapanya kamu?” Dia bertanya dengan setengah nada gusar dan kasar. “Ini adik saya, kamu mau apa?” Suara saya tidak kalah galak, berusaha menepis rasa takut. Tak lama pria itu meminta turun, padahal dia telah membayar ongkos penuh menuju Rangkas. Saya bernafas lega, plong rasanya. Kemudian gadis kecil itu menceritakan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan pria tadi. “Kalau adik bertemu orang seperti itu lagi, teriak aja ya, gak apa – apa pasti banyak yang menolong. Jangan mau kalu dipegang – pegang, kamu harus berani”. Saya mencoba memberikan pemahaman kepadanya. Saya tidak ingin haknya terlanggar. Dia mengangguk tanda mengerti. “Hati – hati di jalan ya” ada kekhawatiran yang terus menyergap. Sebelum dia turun, saya membekali dia dengan uang ala kadarnya.
Sepanjang sisa perjalanan saya begitu sedih, merasakan betapa rentannya anak – anak tak berdaya itu mengalami tindakan pelecehan. Seringai dan kerendahan moral yang dilakukan pria tersebut membuat hati saya tercabik-cabik. Kemudian berita dimedia tentang tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak membuat saya luka dan pedih.
Saya teringat gadis kecil saya yang tengah tumbuh meniti hidup dengan berjuta harapan. Namun sakit ini tidak hendak saya biarkan bersarang dan membuat lemah adanya. Saya ingin melahirkan generasi yang berani dan tahu bagaimana mempertahankan dan membela harga dirinya.
Saya harus dapat memberi pengarahan yang terbaik dan yang paling penting adalah saya tak hendak melepas setiap kesempatan dengan untaian do’a agar anak – anak kami terselamatkan dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan, saya mengingatkan gadis kecil saya agar tak lupa terus berdzikir, ketika bermain, ketika diperjalanan menuju pulang dan pergi sekolah, ketika dirumah dan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Kemudian, saya menitipkan kepada yang maha menguasai setiap mahluk agar Allah yang maha perkasa menjaganya dengan kasih dan sayangNYA yang tak berbatas..
20 Juli 2006
[email protected]