"Selamat siang Bu… Selamat siang Pak… " sapa lelaki karyawan hotel berseragam batik itu ramah menyambut setiap orang yang masuk ke hotel. Kutaksir usianya sekitar 40-an tahun. Selain menyapa dengan ramah, dia juga tak segan menanyakan "ada yang bisa saya bantu?" dan kemudian dengan membungkukkan badan, melipat keempat jari kanan dan mengacungkan jempolnya mengarahkan tamu ke resepsionis, "silakan Bu, monggo Pak.." Intonasi kata, gerak tubuh serta mimik wajah yang dibungkus dengan senyuman pertanda bahwa keramahan khas Solo itu disampaikannya dengan tulus.
Pagi itu selesai sarapan aku duduk di lobby hotel menunggu rekan yang berjanji menjemputku untuk mengunjungi beberapa pelanggan di kota itu. Mata ini tertarik memperhatikan gerak dan sikap karyawan hotel tersebut yang tidak berhenti menyapa ramah siapapun yang lewat di hadapannya… Terus saja begitu tanpa berhenti melepas senyum. Kemaren saat check-in hotel inipun aku mendapat perlakuan dan sapaan ramahnya. Empat bulan yang lalu, setahun yang lalu, dan sudah sekian kali aku ke sini, tetap kulihat keramahan karyawan hotel itu.
Ingin rasanya aku berbincang dengannya untuk mengorek cerita tentang kebiasaannya itu. Apakah karena diwajibkan pihak hotel (tapi kenapa senyum & keramahan karyawan lain tidak se-spontan dia), apakah memang kebiasaan saja, ataukah karena ada pemilihan karyawan teladan tiap bulan di hotel ini, atau mungkin berharap uang tip dari tamu…. Akh aku tidak mau berprasangka buruk lebih jauh.
Dan sebetulnya aku juga ingin meng-apresiasi kebiasaan baiknya itu sembari bercerita padanya bahwa hotel-hotel besar semacam Ritz Carlton, Four Season, dll memang mewajibkan karyawannya seperti itu, selain juga harus mencatat apa yang tamu sukai dan tidak. Setiap karyawan sudah memiliki data si tamu sehingga ketika ngobrol dengan tamu, terkesan sang karyawan seperti sudah kenal lama dengan si tamu.
Akhirnya kesempatan itu datang juga saat dia mau melintas di depanku setelah mengantarkan welcome-drink buat tamu di resepsionis. Seperti dugaanku, dia menyapaku duluan, “apa kabar Pak pagi ini, sampun sarapan, atau ada yang bisa saya bantu?” Sambil berbasa-basi, dengan hati-hati aku mengarahkan pembicaraan ke kebiasaannya mengumbar keramahan itu.
Diapun mengungkapkan alasan, “nyuwun sewu Pak, kulo awam, tapi pernah denger kanjeng ustad bilang kalau senyum itu ibadah, gratis tur gampang. Lha wong Gusti Allah memberi kita peluang & kemudahan untuk dapat pahala kenapa ndak dipake, nggih tho Pak?”
Serasa kesejukan menerpaku mendengar penjelasan yang sederhana tapi bermakna. Kuurungkan niat menceritakan kewajiban di hotel besar tadi. Bukankah segala sesuatu akan tulus ikhlas dilakukan jika sudah diniatkan untuk beribadah….